Desa Siaga Pendidikan Upaya Futuristik

Notification

×

Iklan

Iklan

Desa Siaga Pendidikan Upaya Futuristik

Sabtu, 10 April 2021 | 20:43 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:52Z

Setiap keluarga - khususnya dari kalangan miskin – hampir tiap tahun resah dan gelisah menyaksikan anaknya yang menangis ketika sudah masuk sekolah. Pasalnya, tak ada biaya untuk membayar uang pendaftaran, uang bangunan; atau membeli seragam, tas, alat tulis dan buku. 

Kalau dulu sekolah negeri (milik pemerintah) murah karena diperuntukkan bagi warga miskin. Sekarang berbalik haluan. Sekolah negeri hanya dihuni orang-orang mampu secara ekonomi. Meminjam judul buku Eko Prasetyo - orang miskin dilarang sekolah.

Keinginan seorang anak untuk bersekolah kerap terganjal persoalan biaya. Kejadian seperti ini juga menimpa anak-anak di kampung saya - tepatnya di Kabupaten Garut - karena alasan mahal, mereka merelakan keinginannya untuk menuntut ilmu pengetahuan secara formal di lembaga pendidikan (setingkat SMP dan SMA) terbuang percuma. 

Untung saja, sejak beberapa tahun yang lalu di daerah saya berdiri lembaga pendidikan SMP Islam (Darul Mu’minin) yang menggratiskan uang SPP dan bangunan.

Saya tidak begitu tahu seluk-beluk lembaga pendidikan tingkat menengah pertama (SMP Islam) ini, akan tetapi bersyukur bahwa masih ada segelintir orang yang peduli terhadap dunia pendidikan rakyat. Apalagi di Ds. Binakarya, Kec. Banyuresmi, Kab. Garut; kehadiran SMP dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) belum begitu representatif menjawab kebutuhan edukasi warga. 

Maka, dengan hadirnya lembaga pendidikan rakyat ini merupakan solusi praktis dalam menjawab suara-suara sumbang masyarakat miskin yang jarang didengarkan.

Gambaran suram pendidikan itu juga pasti terjadi di beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), di mana antara keinginan terpendam seorang anak dengan kenyataan ekonomi keluarga sangat bertolak belakang. 

Selain untuk menjadi orang pintar, dengan bersekolah, tentunya mereka hendak mengeluarkan diri dari pendefinisian sosiologis bahwa mereka adalah komunitas yang minim ilmu pengetahuan. Akan tetapi, cita-cita terpendam itu banyak dijawab lembaga pendidikan dengan mewajibkan calon siswanya memegang segepok uang.

Membunuh penantian futuristik


Semangat belajar anak bangsa merupakan “daya gugah” yang mampu menciptakan stamina kebudayaan kita hingga peradaban di Indonesia akan menggeliat bangkit. Apalagi untuk anak-anak. Tentunya harapan dan keinginannya melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi mesti diakomodasi dan diaplikasikan secara praksis. 

Sebab, mereka adalah bagian dari bangsa yang sangat mengidamkan kebahagiaan hidup dan dihujani aneka penantian futuristik. DR. Ali Syari’ati mengatakan bahwa “penantian” adalah keyakinan pada masa depan, dengan maksud menolak masa kini. Orang yang puas dengan masa kini tidaklah menanti. 

Sebaliknya, ia malah terkategori konservatif. Sebab, ia takut akan masa depan dan khawatir atas segala peristiwa yang terjadi. Ia - tentunya - lebih menyukai status quo dan mencoba untuk mempertahankannya.

Maka, anak-anak miskin di pedesaan yang berkeinginan melanjutkan sekolah - dalam perspektif Ali Syari’ati - memiliki keyakinan akan masa depan yang cerah. Dalam konteks ini mereka seakan sedang mengejar kehidupan masa depan yang lebih baik. 

Membiarkan mereka hanya memandang kekayaan alam (SDA) di daerahnya tanpa bisa menikmatinya, saya pikir adalah kejahatan terselubung.

Semestinya pemerintah (Pusat dan Daerah) mulai mengaji diri (evaluasi) ketika gejala ketidakmerataan hak memeroleh pendidikan di desa menyeruak ke permukaan. Dalam konteks keindonesiaan tentunya masih banyak anak ndeso yang mengharapkan belas kasih yang tidak hanya tersimpan di racauan mulut. 

Fenomena seperti ini juga bagaikan gunung es, karena hanya terlihat bagian kecilnya saja. Padahal, jika ditelisik sampai ke seluruh wilayah di Indonesia, anak-anak yang bernasib sama sangatlah banyak.

Andai saja pemerintah tidak mempasilitasi mereka dengan sarana dan prasarana sekolah yang representatif dan pelbagai alat penghantarnya, sama saja membunuh penantian futuristik untuk mengangkatnya dari jurang keterpurukan harkat dan martabat di masa mendatang.

Menyiagakan desa


Kalau betul vox vopuli vox dei (suara rakyat, suara Tuhan) sebagai landasan berpijak perilaku politik, mengapa kita tidak mengusahakan agar anak-anak desa dapat mengakses pelayanan publik (salah satunya sekolah murah atau gratis) secara berimbang? Bukankah ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan adalah suara rakyat juga? Lantas, bagaimana dengan munculnya ketidaksemangatan sebagian warga untuk menyekolahkan anaknya karena alasan biaya sekolah mahal ?

Untuk memompa semangat warga agar kesadaran menyekolahkan anaknya muncul ke dalam praktik kehidupan, diperlukan sosialisasi ke setiap desa bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan oleh sebuah lembaga pendidikan. Tapi, oleh kualitas life skill anak didik. 

Sebab, kecenderungan masyarakat desa ketika anaknya tidak diterima di sekolah negeri seakan tidak bersemangat. Padahal, secara kalkulatif, biaya di sekolah swasta dengan sekolah negeri tidak jauh berbeda (itu terjadi di daerah saya), bahkan SMP Islam Darul Mu’minin juga menggratiskan biaya sekolah. Meskipun bukan sekolah negeri (swasta).

Dengan demikian, konsep “desa siaga” bukan hanya sebatas mewaspadai bencana alam saja, tapi menyertakan kewaspadaan terhadap bencana kemanusiaan. Salah satunya mengawasi wabah kemiskinan yang banyak dideterminasi oleh minimnya latar belakang pendidikan sehingga berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. 

Menggagas “desa siaga pendidikan” untuk setiap daerah dalam mendongkrak Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) ke titik aman adalah sebuah keniscayaan. “Desa siaga pendidikan” adalah langkah praktis untuk mewujudkan cita-cita wajar dikdas 9 tahun. Syukur-syukur setiap anak di pedesaan bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi.

Sebab, pemerintah yang bijaksana adalah yang mampu mengedepankan kepentingan publik bukan dalam rentang waktu temporer semata (saat gegap gempita pemilihan sedang berlangsung). Ya, karena kita dititahkan Tuhan untuk siaga full time bukan part time. 

Caranya menyiagakan warga desa dari ancaman kemiskinan dengan menghidupkan kembali gagasan pendidikan untuk rakyat.