Menyoal Eksistensi Dongeng Sunda

Notification

×

Iklan

Iklan

Menyoal Eksistensi Dongeng Sunda

Jumat, 30 April 2021 | 05:34 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:38Z


Nama Uwa Kepoh dan Mang Jaya pada tahun 90-an pasti kakoncara hampir di setiap telinga masyarakat Jawa Barat. Mereka berdua adalah juru cerita yang dimiliki warga pasundan. Penuturan kisah ceritanya yang diputar ketika pasosore adalah salah satu acara yang kerap menarik minat warga. Acara yang berdurasi 1 jam kurang itu disebut dengan dongeng.

Dongeng secara umum berarti cerita fiksi termasuk seluruh bidang sastra, seperti legenda, cerita horor, dan drama radio/teve bersambung yang banyak disajikan secara lisan (tutur) ketimbang tulisan. Maka, arti dari kata kerja “ngadongeng” adalah proses menuturkan kisah atau mengisahkan tutur (Edwin Jurriëns, Ekspresi Lokal Dalam Fenomena Global; Safari Budaya dan Migransi, 2006).

Sampai saat ini, masih ada stasiun radio, misalnya Shinta Buana, memutar dongeng tuturan seorang tukang ngadongeng yang menciptakan beberapa lakon dengan kreativitas suara yang berbeda-beda. Meskipun hanya dituturkan satu orang, namun dia dapat berperan sebagai orang yang berbeda-beda dan mampu menggambarkan kondisi riil kosmologis para pelaku. 

Alhasil, dalam imajinasi para pendengar, ceritanya ngongkolak dina soca seperti halnya ketika sedang menonton sinetron di depan televisi. Dalam bahasa lain, tukang dongeng telah berhasil menciptakan semacam teater alam pikir sehingga bayangan deskriptif para lakon fiktif seakan nyata. 

Misalnya ketika Uwa Kepoh “ngadongengkeun” ihwal kahirupan warga dalam dongeng berjudul sanca bodas, ia sangat piawai menyedot alam imajinasi pendengar hingga mereka bisa menciptakan sendiri kondisi alam hanya dengan bantuan kata tutur yang dirangkai olehnya. Tidaklah salah jika warga Sunda di pelosok pada saat itu acap kali menunggu dengan harap-harap cemas babak selanjutnya dari dongeng tersebut.

Ketika saya masih kecil, sangat suka sekali mendengarkan dongeng yang berjudul: si Rawing, Andi Jago Tutugan, Lutung Kasarung, si Kabayan dan masih banyak lagi. Hanya dengan satu lidah saja tukang dongeng seperti Uwa Kepoh dan Mang Jaya dapat memainkan berbagai lakon dalam sebuah cerita yang sangat mengharukan.

Sampai-sampai warga kampung, di mana saya lahir, setiap kala menginjak tabuh 4 sore kerap menopang dagu di depan radio butut untuk menunggu diputarnya acara ngadongeng mereka berdua.

Maka, ketika mereka menghentikan jalan cerita dengan kata-kata saktinya “urang Teundeun dihandeuleum sieum, tunda di hanjuang siam” sebagai tanda telah berakhirnya aktivitas “ngadongeng”, para pendengar pun akan kukulutus. Seakan tidak mau berpisah dengan suara imajinatif dan kreatif Uwa Kepoh atanapi Mang Jaya tea. Handeueul, istilah populer yang berkembang di masyarakat Sunda waktos harita.

Kesadaran ruang-waktu


Niti wanci nu mustari, ninggang mangsa nu sampurna; merupakan sederet kata yang keluar dari tukang ngadongeng untuk menggambarkan eksisnya ruang dan waktu. Secara eksistensial, dengan kalimat yang sarat makna ini para pendengar hampir saban hari disentuh hatena untuk memikirkan ulang gejala berputarnya ruang dan waktu. Alhasil, akan muncul kesadaran diri atas segala apa yang telah dilakukan selama sapopoe jeput.

Oleh sebab itu, aktivitas mengisahkan cerita secara lisan alias ngadongeng teh adalah sebuah produk kultural yang dapat menenangkan kepenatan-kepenatan dina ati sanubari warga. Setelah seharian timimiti beduk isuk nepi ka beduk lohor lelah bekerja, dengan mendengarkan penuturan kisah dari tukang dongeng yang kerap dibarengi dengan lantunan musik kasundaan; akan merelaksasi ketegangan urat syaraf. Apalagi pada masa-masa paceklik. Pasti setiap warga membutuhkan kreasi budaya yang memanfaatkan media modern sebagai wahana untuk mengkritisi kebijakan berat sebelah pemerintahan.

Dalam bahasa lain, dongeng adalah media perlawanan rakyat yang diciptakan secara kreatif oleh si tukang dongeng. Ini bermanfaat bagi warga pedesaan yang jarang mendapatkan akses pelayanan perpustakaan dan tingkat buta aksaranya tinggi; sehingga ngadongeng jadi alternatif pengisi waktu luang. Meskipun budaya mendengar derajatnya lebih rendah ketimbang budaya membaca dan menulis sebagai pertanda majunya suatu peradaban bangsa; dongeng dapat dijadikan sebagai alat pengembangan kesadaran warga ketika berlalu lalang dengan kondisi sosial-ekonomi yang terus meredup.

Pergantian zaman


Secara teoritis, Edwin Jurriëns (2006) memandang bahwa media modern seperti halnya radio merupakan sarana yang efektif untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan manusia tentang problem kehidupan kontemporer. Kalau ditarik benang merah dari pandangannya tersebut, eksistensi media modern dapat difungsikan sebagai penghantar tergapainya perubahan di tubuh “rahayat” yang mendiami wewengkon pasundan.

Tidaklah heran ketika acara dongeng mengudara hampir di setiap stasiun radio di Jawa Barat menjadi salah satu “acara pavorit” warga zaman 80-an dan 90-an untuk merasakan realitas objektif kehidupan pada masanya. Namun, seiring pergantian zaman ke arah yang lebih virtualistis; eksistensi radio dikalahkan oleh media audio-visual (TV) sehingga nasib dongeng Sunda kian terlupakan.

Sebelum menjamurnya televisi di masyarakat pasundan, acara “ngadongeng” adalah salah satu kreasi budaya yang bernilai secara ekonomis. Tidak heran jika Uwa Kepoh pada tahun 1996 bayarannya pernah mencapai 36 Juta sebulan dan menyandang gelar kehormatan sebagai penutur dongeng radio termahal di level nasional. Ini logis terjadi karena jumlah warga di tatar Sunda mencapai tiga puluh juta jiwa lebih.