Petani Indonesia Melek Internet

Notification

×

Iklan

Iklan

Petani Indonesia Melek Internet

Selasa, 22 Juni 2021 | 10:01 WIB Last Updated 2021-09-12T06:06:29Z


Penulis Sukron Abdilah (bincangkata.com)


NUBANDUNG - Ke depan, masyarakat Indonesia secara kultural akan semakin beralih ke dunia maya ketika melakukan interaksi, komunikasi, dan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Peralihan dari masyarakat analog ke masyarakat digital akan menemukan titik puncaknya. Kini, uang pun berubah menjadi sesuatu yang tak terlihat (Koin digital). Aktivitas pemasaran pun banyak menggunakan jaringan internet. Dan, media massa rame-rame melakukan upaya konvergensi dengan menghadirkan media online kepada khalayak.


Namun, tesis di atas serasa bertabrakan dengan realitas sosial ekonomi bangsa ini. Utamanya ketika saya pulang kampung ke daerah Garut. Bagaimana nasib para petani ke depan? Ketika anak-anaknya tak mau menggarap sawah. Mereka malah asyik berselancar di dunia cyber karena telah menjadi seorang manusia digital. Akankah ada seorang manusia pada masa depan yang sanggup mengelola sawah untuk memenuhi kebutuhan fisikal manusia lain?


Kita lihat persoalan internet masuk desa. Pendidikan para petani, yang mengelola sawah dan kebun, hanya sampai tingkat menengah pertama (SMP). Dulu, ketika internet pertama kali muncul hanya segelintir orang yang memilikinya. Sekarang, tukang ojek atau pengamen jalanan pun memilikinya. Sekarang orang dari berbagai tingkat akrab dengan internet, melekat dalam kehidupan sehari-hari.


Coba bayangkan kalau setiap petani di desa bisa mengakses internet karena murah. Saya seketika itu juga berpikir pada pagi hari pak petani pergi ke sawah. Siang harinya mereka mengakses internet di rumah. Setelah hari panen tiba, mereka pun memasarkan produk di situs e-commerce. Dan, hasil panennya itu dibuka oleh calon pembeli yang berada di daerah lain. 


Si petani pada posisi itu menentukan harga sendiri sesuai pengeluaran dan kualitas hasil panen. Transaksi pembayaran juga melalui transfer elektronik dan koin digital. Hebat bukan? 


Hal itu akan mewujud jika saja kita menjadi bangsa sejahtera. Nasib petani diperhatikan dan diberi pendidikan agar melek internet. Sehingga mereka mampu menggunakan perangkat komputer yang terakses ke internet secara efektif dan efisien. Fasilitas internet murah masuk desa akan dimanfaatkan untuk kepentingan pemasaran produksi pertanian. Sedangkan sang istri di rumah memproduksi panganan yang diproduksi menggunakan bahan-bahan lokal yang khas. Misalnya, produk "ladu" yang dibikin dari beras ketan.


Hasil produk "home industri" itu dipasarkan juga lewat internet. Maka, perempuan desa harus diberi pengetahuan tentang memanfaatkan jaringan internet yang mulai dipasang hingga pedesaan. Memang asyik rasanya jika karya kreatif masyarakat desa bisa diakses melalui internet. 

 

Kemungkinan karya mereka akan dilirik oleh masyarakat melek internet lain sampai ke penjuru daerah. Global village, adalah satu kemungkinan yang akan terjadi di Indonesia ketika kita piawai memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.


Masalahnya, kapan hal itu terwujud? Mungkin saya termasuk orang gila jika menulis ada petani yang bisa memanfaatkan akses internet untuk menaikkan harkat dan derajatnya. Tapi, untuk membuktikannya saya akan menjadi petani pertama yang melakukannya. 


Itu juga kalau punya sawah, internet sudah murah, dan utamanya telah masuk ke pedesaan-pedesaan. Dalam bahasa lain, petani kita ke depan akan menjadi masyarakat "melek internet". Sebuah komunitas yang bisa menggunakan produk kemajuan teknologi dan informasi untuk menaikkan harkat dan martabatnya di dunia maya.


Menunggu empat puluh tahun lagi, ketika saya sudah sepuh dan pesakitan; memang sangat lama. Mungkin juga saya sudah berada di alam baka ketika internet banyak digunakan oleh para petani sebagai masyarakat agraris, yang berpindah menjadi masyarakat cyber.


Saya bermimpi para petani punya aplikasi mobile berbasis e-commerce, sehingga harga ada dalam kendalinya; bukan berada dalam kendali pengusaha kapitalistik.