Global Village: Sawah, Wifi dan Civic Journalism

Notification

×

Iklan

Iklan

Global Village: Sawah, Wifi dan Civic Journalism

Senin, 30 Agustus 2021 | 11:30 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:16Z


Penulis: Budhiana Kartawijaya (budhiana.id)

 

Sabtu sore 21 Agustus cuaca cerah. Masih dalam suasana kemerdekaan, saya bekerja menjalankan tugas sebagai orang Yayasan Odesa. Duduk di meja putih, di belakang sawah membentang. Secangkir kopi panas menghangatkan sore. Cuaca cerah, suara tonggeret dan kodok, kopi panas dan wifi adalah mood buster untuk menjalankan perkhidmatan. 


Sore itu saya harus berdialog dengan Gabby Natasha, orang Odesa yang juga reporter dan penyiar RCTI Jakarta yang hari itu sedang libur di rumahnya di Bogor. Juga dengan Adit dan Syauqi, dua mahasiswa S-2 yang tinggal di Odesa, dan sudah dua tahun lebih berkhidmat melayani warga desa.


Kami membicarakan soal Civic Journalism, yaitu aliran jurnalisme yang tidak memperlakukan audiens sebagai penonton atau pembaca pasif. Tapi juga sebagai audiens yang ikut aktif bermedia mengabarkan persoalan komunitasnya. Nyaris semua orang di Indonesia punya gadget alias smartphone, tapi apakah semua sudah menggunakan gadget itu secara smart dan bertujuan?


Sejak awal Odesa yang dibangun oleh wartawan, penulis, sastrawan dan dosen ini meraskan bahwa literasi adalah bagian yang tidak boleh terpisahkan dari gerakan sosial. Setiap warga komunitas bisa mengabarkan kondisi sosialnya. Karena itu, untuk melengkapi kepemilikan gadget, para netizen juga harus. belajar peka pada lingkungan, dan mengabarkan masalahnya dengan memperhatikan etika bermedia: tidak nyinyir, tidak memproduksi hoax, tidak merisak orang lain.


Dengan gadget yang dimiliki, sebetulnya setiap orang kini usah menjadi media dan setiap orang sudah menjadi reporter. Civic journalism adalah jurnalisme yang memperjuangkan hak-hak dasar kewarganegaraan. Memperhatikan soal air, kesehatan, demokrasi, pendidikan, pangan dan aktif mendialogkan kebijakan pemerintah dengan kondisi lokal. 


Dengan gadget yang dimiliki, maka warganegara bisa menjadi jurnalis komunitas. Mereka bisa berfungsi sebagai kekuatan check and balance terhadap kebijakan-kebijakan negara. Mereka bisa memperhatikan bagaimana penerapan kebijakan negara pada tingkat akar rumput. Kadang kebijakan pemerintah tidak tepat, atau kebijakan itu bagus namun ada hambatan pelaksanaan di bawah.


Dalam soal vaksinasi misalnya, niat pemerintah itu mulia. Yaitu untuk menciptakan kekebalan bersama (herd immunity) dari serangn Covid-19. Namun Odesa menemukan bahwa di kampung-kampung program vaksin masih mendapat tentangan keras. Semuanya itu karena komunikasi pemerintah yang belum menjangkau akar rumput. Penduduk desa masih termakan rumor adanya orang-orang yang menjadi sakit bahkan meninggal pasca divaksin. Alasan lain, vaksin menimbulkan reaksi panas dingin berhari-hari. 


“Kalau kami sakit, siapa yang mengurus kebun, atau yang kasih makan ternak? Kami bakal kehilangan upah harian,” kata seorang warga.


Soal Kartu Indonesia Sehat (KIS) itu juga ada hambatan. Negara menjamin biaya kesehatan warga miskin gratis dengan program jaminan kesehatan itu. artinya kalau warga miskin terserang sakit, tinggal menunjukan KIS, biaya puskesmas dan rumah sakit gratis. Tapi relawan Odesa menemukan, masih banyak yang tidak mau menggunakan KIS. 


Jadi lebih baik sakit di rumah, menunggu sembuh dengan mengkonsumsi obar warung atau herbal. Tapi ada juga yang sampai meninggal.


“Bukan tak mau ke rumah sakit pak. Tapi biaya sewa mobil nya kami tak punya. Terus kalau saya harus menjaga ayah di rumah sakit, saya kehilangan pekerjaan. Upah saya harian. Terus siapa yang kasih makan anak dan istri?” ujar seorang warga.


Banyak juga yang belum punya KIS, karena mereka belum punya kartu keluarga, KTP dan dokumen-dokumen kependudukan lainnya. Atau ada yang sudah punya kartu keluarga, tapi nama yang tercantum di di KK dan KTP berbeda. Ada yang di KK bernama Wawang, tapi di KTP ditulis Wawan. Ada yang di KK tertulis lahir pada tahun 1970, di KTP tertulis 1976, dan banyak masalah lagi.


Persoalan-persoalan ini bisa cepat ditemukan bila wartawan media mainstream lokal, atau netizen komunitas menjalankan civi journalism. Temuan-temuan di akar rumput ini bisa jadi masukan bagi pemerintah untuk lebih merapikan lagi kebijakan-kebijakannya.


Civic journalism bukan hanya mencari apa yang salah (what’s wrong) pada suatu komunitas, akan tetapi juga apa yang menjadi modal kuat (what’s strong) di komunitas ini. Temukan keunikan-keunikan di desa. Mungkinkeunikan alam, satwa, tumbuhan, makanan, budaya dan lain-lain. Maka dengan kekuatan media, keunikan-keunikan ini bisa dibaca oleh dunia.


Di zaman digital ini, kita lebih sulit mencari colokan listrik dari pada mencari wifi. Jadi, teman-teman bisa bercerita kekuatan desa, mengetik di pinggir sawah, ditemani kopi panas dan pisang goreng. Maka kampung kita akan jadi kampung dunia alias global village tea…


Bagi teman-teman pengkhidmat pelayanan sesama, kalau ingin belajar (civic) journalisme dalam rangka memperkuat desa atau komunitasnya, silakan datang ke Odesa…kita bisa ngobrol-ngobrol santai sambil belajar jurnalisme, kita tukar pikiran mengenai apa yang boleh (the do) dan apa yang tidak boleh (the don’t) di dunia jurnalisme.