Ihsan: Tindakan Berbasis Ketuhanan

Notification

×

Iklan

Iklan

Ihsan: Tindakan Berbasis Ketuhanan

Selasa, 31 Agustus 2021 | 14:16 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:15Z


Ingat, kebaikan bukanlah untuk Allah, melainkan untuk diri kita sendiri. Kita beribadah atau tidak, Allah tidak akan rugi. Toh, Allah Mahakaya. Dia memiliki segalanya sehingga tidak membutuhkan apapun, termasuk ibadah yang kita lakukan.


Rasul Saw telah berpesan mengenai ihsan. Beliau berkata bahwa ihsan adalah menyembah Allah seolah-olah kita bisa melihat Allah. Jika tidak mampu melihat Allah, maka berbuatlah dengan keyakinan bahwa Allah selalu melihat apa yang kita lakukan. Keyakinan seperti inilah yang akan membuat ibadah kita memiliki dampak nyata. 


Ibadah tidak hanya menjadi ritual privat, hubungan antara manusia dengan Allah semata. Tidak hanya berhenti di situ, ibadah yang kita lakukan harus dapat memunculkan kesalehan sosial. Artinya, ibadah yang dilakukan secara personal tapi memberikan efek untuk orang-orang yang ada di sekitar kita.


Itulah paket yang sempurna. Menjadi mukmin, muslim, dan muhsin. Karena bagaimanaun, menjadi seorang yang beriman tidak bisa dilepaskan dari perbuatan amal saleh. Rasul Saw pernah bersabda, sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik Ra., “Tidak sempurna iman seseorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari).


Begitulah iman. Tidak akan sempurna iman kita jika kita tidak menunjukkan rasa sayang pada sesama. Percuma saja, kita mengaku beriman kepada Allah, tetapi masih menyakiti orang lain melalui ucapan dan perbuatan. “Orang Islam adalah orang yang membuat orang lain selamat dari bahaya lisan dan tangannya, dan seorang muhajir (yang pindah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari).


Mari kita berjalan-jalan ke masa lalu.


Suatu hari, amirul mukminin Umar bin Khattab Ra. blusukan ke suatu kampung. Di kampung tersebut, dia bertemu dengan seorang anak penggembala kambing. Ratusan kambing digembalakannya.


Timbullah niat hati amirul mukminin untuk menguji si anak gembala.


“Hai, anak muda, kambing siapakah ini?” tanya Umar.


“Ini kambing milik majikanku, Tuan,” jawabnya.


“Wah, betapa banyak kambing-kambingnya,” kata Umar lagi.


Si anak gembala diam tak mengerti. “Anak muda, bagaimana kalau kambing ini aku beli?” kata Umar sambil menunjuk seekor kambing.


“Wah, Tuan. Tidak bisa,” jawab si anak gembala


“Kenapa tidak bisa? Bilang saja kepada majikanmu, seekor kambingnya hilang atau dimakan serigala saat kau sedang mengembalakannya. Kambing ini begitu banyak. Majikanmu pasti tidak akan mengetahuinya,” uji Umar.


“Memang betul, Tuan, majikanku tidak akan mengetahuinya,” kata si anak gembala.


“Ya, kalau begitu bilang saja ada seekor kambingnya yang hilang. Aku akan memberimu uang pembeliannya,” goda Umar.


“Tuan, memang benar aku bisa membohongi majikanku. Lantas, bagaimana dengan Allah?” bantah si anak gembala itu.


Begitu mendengar jawaban si anak gembala, amirul mukminin Umar bin Khattab terharu hatinya. Dia bangga memiliki rakyat yang teguh memegang keimanan, meskipun si anak itu hanya seorang budak. Dengan berkaca-kaca, Umar bin Khattab menghampiri si anak gembala. Dia pun berkata, “Karena keimananmu, aku bebaskan kau wahai anak muda. Jadilah kau orang merdeka.”


Umar bin Khattab pun menemui majikan si anak gembala dan menebusnya untuk memerdekakan si anak gembala.


Kisah tersebut memberikan sebuah pelajaran berharga kepada kita. Keimanan yang dimiliki si anak gembala tidak cukup berhenti di mulut saja. Keimanannya telah merasuk ke dalam jiwa.


Dari kisah itu, kita belajar bahwa keimanan bukan sekadar dikatakan, diumbar, atau hanya menjadi label semata. Keimanan harus diikuti dengan bukti nyata, yaitu dalam sikap kita sehari-hari. Itulah seorang mukmin sebenarnya.


Keimanan tidak hanya berhenti pada ikrar semata. Iman masuk ke dalam jiwa dan kita tunjukkan ke dalam perilaku kita sehari-hari. Menaati perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mencipta akhlak mulia, sebagai muslim sejati. 


Namun, jika kita belajar dari kisah si anak gembala tersebut, menjadi mukmin yang muslim saja ternyata tidak cukup. Si anak gembala menyadari bahwa keislaman yang dia miliki harus memancar dalam setiap perilakunya sehari-hari yang dikenal dengan ihsan. Maka, dia adalah seorang muhsin sejati.