Narasi yang Menyudutkan NU dan Pentingnya Objektivitas dalam Menilai ////]]>

Notification

×

Iklan

Iklan

Narasi yang Menyudutkan NU dan Pentingnya Objektivitas dalam Menilai

Jumat, 17 Oktober 2025 | 10:11 WIB Last Updated 2025-10-17T03:14:11Z
Affiliasi

 


NUBANDUNG.ID -- Akhir-akhir ini, ruang digital kita kembali ramai oleh narasi yang seolah menyudutkan Nahdlatul Ulama (NU). Polemik demi polemik muncul, mulai dari pernyataan tokoh, isu sosial-keagamaan, hingga pemberitaan media yang kadang lebih menonjolkan sensasi daripada substansi. 


Jika kita perhatikan secara kritis, gejala ini bukanlah fenomena baru, melainkan bentuk framing media yang mencari atensi publik di tengah derasnya arus informasi. Kasus framing pesantren oleh Trans7 menjadi contoh nyata bagaimana media dapat membentuk persepsi publik secara sepihak, dan memantik reaksi emosional tanpa analisis yang matang.


Dalam konteks ini, reaksi masyarakat sering kali bersifat reaksioner dan tidak proporsional. Banyak orang langsung mengaitkan isu-isu tersebut dengan organisasi keagamaan tertentu tanpa melakukan verifikasi. Padahal, ketika wacana publik kehilangan ketenangan analitis, yang muncul adalah perpecahan wacana bukan solusi. 


Di sinilah literasi digital menjadi hal yang amat penting. Literasi digital tidak hanya soal kemampuan menggunakan media sosial, tetapi juga kemampuan menganalisis, memilah, dan menilai informasi secara kritis serta objektif.


Fenomena perbandingan antara NU dan Muhammadiyah dalam isu-isu keagamaan pun tak jarang muncul akibat rendahnya kemampuan analisis ini. Padahal, kedua organisasi besar ini memiliki akar sejarah, orientasi perjuangan, dan pendekatan dakwah yang sama-sama penting namun berbeda arah fokusnya.


Secara historis, Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926 dengan orientasi kuat pada pelestarian tradisi keilmuan Islam berbasis pesantren. Fokus utamanya adalah pembangunan karakter, spiritualitas, dan moralitas umat melalui sistem pendidikan yang mengakar di masyarakat pedesaan. Dari sinilah muncul ribuan pesantren yang menjadi benteng moral bangsa, membentuk santri-santri yang tidak hanya berilmu agama tetapi juga berjiwa nasionalis.


Sementara itu, Muhammadiyah, yang berdiri lebih dulu pada tahun 1912, menempuh jalur yang berbeda namun saling melengkapi. Gerakan ini berfokus pada modernisasi pendidikan dan pelayanan sosial. Muhammadiyah menekankan pentingnya rasionalitas, pembaruan pendidikan, serta pengembangan amal usaha seperti sekolah, rumah sakit, dan universitas. Dalam konteks ini, Muhammadiyah memperkuat basis umat lewat pemberdayaan struktural dan kelembagaan yang modern.


Dua arus besar ini tradisionalisme NU dan modernisme Muhammadiyah sejatinya tidak perlu dipertentangkan. Keduanya adalah pilar penting bangsa Indonesia yang telah berkontribusi besar terhadap pembentukan karakter, moral, dan kemajuan sosial umat Islam di Indonesia.


Sayangnya, di era media digital, perbedaan arah perjuangan ini justru sering dijadikan bahan perbandingan yang tidak produktif. Masyarakat seolah lupa bahwa baik NU maupun Muhammadiyah memiliki tujuan yang sama, yakni mencerdaskan dan memajukan umat Islam dengan cara masing-masing.


Oleh karena itu, masyarakat seharusnya lebih objektif dalam menilai sesuatu hal. Objektif berarti tidak hanya melihat dari sudut pandang emosional atau sentimen kelompok, tetapi juga menimbang data, konteks, dan sejarah secara utuh. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, open-mindedness dan literasi digital yang kuat adalah kunci untuk menghindari polarisasi akibat framing media.


Sudah saatnya kita berhenti memperdebatkan siapa yang lebih benar atau lebih unggul di antara dua organisasi Islam terbesar ini. Sebaliknya, kita perlu melihat bagaimana sinergi nilai-nilai tradisional NU dan semangat modern Muhammadiyah dapat menjadi fondasi kuat bagi masa depan Indonesia yang moderat, beradab, dan berkemajuan.


Dziki Fajar Alfian Ramadhani, Alumnus Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.