Filosofi Hidup Si Kabayan

Notification

×

Iklan

Iklan

Filosofi Hidup Si Kabayan

Kamis, 29 Oktober 2020 | 11:31 WIB Last Updated 2022-09-09T01:43:06Z

Si Kabayan dalam cerita folklore Sunda acap kali direpresentasikan secara unik dan beragam. Ia menjelma jadi sosok manusia yang berbeda ketika diceritakan orang yang berbeda pula. Sangat mengasyikkan tentunya tatkala kita menikmati sajian cerita si Kabayan dalam pelbagai bentuk variasi cerita yang me-multi dan tidak membikin kita jenuh.

Sosoknya seakan tak pernah mati, karena mampu “minda rupa” atau berganti peran secara eksistensial. Menyesuaikan diri dengan perkembangan horizon masyarakat Sunda yang kian kompleks. Ia bisa mancala putera, mancala puteri – dalam artian mampu meragamkan pribadi – menjadi sesosok manusia multi-fungsi yang mengasyikkan, menghibur dan menuntun.

Ketika ceritanya dipublikasikan lewat televisi, kepribadian Si Kabayan layak menjadi tontonan sekaligus tuntunan. Di suatu waktu, dirinya akan menjelma jadi orang bodoh, lugu, lucu dan polos. Namun di waktu lain, ia jadi sesosok manusia yang cergas, pintar, arif, dan bijaksana. Kadang-kadang licik. Unik bukan?

Konstruk kepribadian

Si Kabayan akan terus hidup sesuai gelegak realitas sosial yang kontekstual dengan cara menyelaraskan diri bersama rumusan hukum keabadian yang tidak terbunuh waktu kecuali dunia ini berakhir (baca: kiamat). Tergantung pada kekayaan intelektual si pengarang dan kritikus cerita Si Kabayan (dengan pelbagai pendapatnya), konstruk kepribadian tokoh ini akan menjadi beragam menyesuaikan diri.

Tak berlebihan jika saya memberi judul artikel ini dengan Tafsir “Minda Rupa” Si Kabayan, karena kefleksibelan Si Kabayan yang bebas diintrepetasi, dirumuskan dan didefinisikan menurut selera pengarang. Maka, sosoknya pun seolah tak pernah berhenti dan mati. Dengan corak pribadi yang tak pernah “mati” ini, intelektual Sunda bisa melakukan apa saja untuk mengkritisi irama hidup sumbang yang dimainkan warga di tatar Sunda. Ya, dapat digunakan sebagai alat kritik sosial !

Dari abad ke-20 sampai abad ke-21 ini, bahkan jika Tuhan menyisakan beberapa abad untuk urang Sunda, Si Kabayan akan tetap hidup. Si Kabayan merupakan pribadi yang tepat untuk dijadikan bahan dasar ramuan yang menghasilkan teurah guna mengobati meranggasnya keberbagaian masalah yang dihadapi urang Sunda. Tentunya secara lucu, cerdas dan cergas.

Karena itu, pekerjaan rumah bagi pengarang – tulisan atau lisan – yang mengonstruk pribadi Si Kabayan, dalam konteks saat ini adalah mampu merumuskan tokoh (imajinatif) ini hingga menjadi sosok manusia Sunda yang pro-kerakyatan. Misalnya, menulis atau mendongeng cerita berjudul: Si Kabayan dan Para Koruptor. Isi ceritanya memuat kekesalan-kekesalan kritis Si Kabayan atas kinerja pemerintahan secara atraktif, lucu dan mengasyikkan.

Sebab, kita juga tahu bahwa angka korupsi di tubuh birokrat Jawa Barat atau Indonesia sempat bertengger di puncak klasemen. Jadi, tak berlebihan jika Si Kabayan kontemporer tampil sebagai urang Sunda yang “minda rupa” menjadi pengusung humanisme-kerakyatan berbingkai spiritualitas khas kesundaan. Bukan malah menjadi koruptor akibat “setan minda rupa” ke dalam pribadi urang Sunda, khususnya para pejabat publik.

Maka, dalam konteks ini, cerita Si Kabayan akan berposisi sebagai wakil yang terus merepresentasikan tata nilai, etika-moral, sikap dan perilaku urang Sunda yang beraneka ragam serta mengikuti keniscayaan perputaran ruang dan waktu (baca: zaman). Posisinya juga bagaikan Nashruddin dan Abu Nawas di dalam cerita-cerita Sufi khas Timur Tengah.

Imbangi zaman

Ketika Si Kabayan telah begitu akrab dengan tradisi tulisan, maka pribadinya akan terus hidup mengimbangi derasnya arus zaman yang mengalir tanpa henti. Landasan filosofis dari “Minda Rupa”-nya Si Kabayan tidak hanya sekadar kegiatan tanpa maksud, akan tetapi sebuah upaya menyelaraskan diri dengan konteks sosial yang terus berjalan-beriringan. Sosoknya dalam konteks kekinian mesti bisa “minda rupa” (atau berubah) menjadi urang Sunda yang selalu memberikan nasihat-nasihat politik bagi para birokrat.

Bahkan mampu berposisi sebagai media pendobrak kesadaran masyarakat yang terhijabi kesadaran palsu (seperti menggejalanya derealisasi tanda). Sebab, sosok Si Kabayan sangat bebas diintrepetasi oleh siapa pun, bahkan oleh warga cacah kulicah seperti petani gurem sekalipun. Saya kira kebudayaan Sunda yang kaya warna akan tetap lestari ketika setiap orang bebas menginterpretasi Si Kabayan. Ia akan menjadi kalangan kiri, tengah atau kanan; tentunya tergantung siapa yang mengarang.

Dengan sosok yang beragam juga akan menguatkan bahwa Sunda itu kaya kebudayaan. Maka, hidup dan matinya tokoh ini ditentukan oleh keinginan dan kehendak pengarang atau kemauan urang Sunda sendiri. Keinginan untuk menulis buku-buku cerita – baik novel ataupun hanya sekadar cerita pendek – tentang Si Kabayan dan kemauan dari urang Sunda untuk mengambil hikmah-tuntunan dari inti cerita tokoh ini. Ya, kendatipun tokoh ini masih terus dalam perdebatan keyakinan masyarakat. Antara fakta dan fiktif.

Tapi, belajar merefleksikan hidup pada sesuatu sefiktif apa pun merupakan keniscayaan hidup yang tak pernah nisbi. Kalau pun cerita ini fiktif, ajaran etika-moral dari sang juru pewarta dan penyampai pesan-pesan dibalik sebuah fenomena kehidupan mesti mewujud dalam bentuk fakta sosial yang transformatif serta meruang dan mewaktu. Lebih hebat lagi jika si Kabayan dapat ditafsir secara emansipatoris.

Sekadar intermezo, suatu ketika Si Kabayan ditangkap oleh aparat desa dan ia didakwa telah mencuri ayam milik si Abah. Ketika proses persidangan di kantor desa sedang berlangsung, ia melakukan pembelaan dan mengkritisi laku lampah para birokrat.

Kira-kira begini bunyi pembelaannya: Saya mencuri ayam satu saja dihukum, kenapa koruptor di luar sana dibiarkan berkeliaran? Moal aya sajarahna nagara bangkrut alatan urang maling hayam. Mun nagara bangkrut kusabab tingkah polah koruptor eta aya sajarahna. Butkina Indonesia. Komo deui ieu mah hayam si Abah. Pan saur Abah oge kumaha nu make bendo (pajabat). Mun nu dibendo maling…urang oge? Montong maling atuh! Pak Lurah marah dan merah wajahnya.

Artikel ini telah dimuat di Kompas Jawa Barat, 23 Juni 2007