Belajar Persaudaraan dari Sajadah

Notification

×

Iklan

Iklan

Belajar Persaudaraan dari Sajadah

Kamis, 29 April 2021 | 22:28 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:38Z

SETIAP kali hari Jumat tiba, ada peristiwa rutin dan unik yang memuat pelajaran berharga bagi kita. Betapa tidak, tatkala kita tidak membawa sajadah, orang disamping kiri atau kan an akan siap membeberkan sajadah miliknya untuk alas sujud (pangsujudan). Meskipun kita baru bertatap muka dengannya hari itu.

Bahkan, meskipun orang itu adalah atasan kita, pegawai pemerintahan, sekedar tukang becak atau orang yang tak dikenal sekalipun. Tidak ada sedikit juga “jurang perasaan” yang membeda-bedakan. 

Tatkala sajadah itu terbentang dihadapan kita, apalagi tanpa menawarkan terlebih dahulu, adalah bukti dari kesamaan derajat, harkat dan martabat sesama manusia. Sebab,“Walaqad karramna bani Adama”, Sungguh Allah telah memuliakan semua keturunan Adam (manusia).

Uniknya lagi, jika dihadapan tanpa sepengetahuan tiba-tiba sehelai sajadah terbentang, kita tidak lantas marah. Sebaliknya, kita akan segera melemparkan senyuman sembari mengucapkan:“hatur nuhun” kepadanya. 

Dalam konteks ini, sajadah bagaikan tali-temali yang mengikat rasa persaudaraan di antara kita. Bahkan bisa juga disebut sebagai media perekat perpecahan di tubuh umat dan bangsa.

Oleh karena itu, untuk merekatkan rasa di antara keberbagaian pemahaman, misalnya, kita harus bersedia membentangkan sajadah untuk disujudi orang lain tanpa melihat latar belakang. Sebab, tidak pernah ada rasanya orang yang membentangkan sajadah ketika hendak menunaikan salat, terlebih dahulu mengajukan pertanyaan seperti halnya wartawan yang sedang mewawancarai narasumber.

Siapa pun orangnya dan dari mana asalnya, tak menghalangi orang yang berjamaah di kala hari Jumat untuk sudi membagi alas sujud dengan oran g disisinya. Sikap dan tindakan mulia, bukan? Ya, mulia saya pikir, karena ketika salat tak ada orang yang mesti berstatus khusus, tak ada pemilahan kelas, dan tak ada istilah kaya-miskin. Semuanya sama, sejajar dan sederajat, meskipun tata-cara ibadahnya secara fiqhiyah berbeda-beda.

Itulah sikap yang bisa menumbuhkan “benih-benih” rasa persaudaraan dalam diri di tengah keolengan relasi sosial saat ini. Rasa persaudaraan adalah semacam penghantar bagi terwujudnya kerukunan di tubuh bangsa dan umat. Karena dengan membentangkan sajadah untuk siapa pun oran gnya, merupakan cermin dari aktualisasi menghargai perbedaan di tubuh umat.

M. Quraish Shihab (2002) berpandangan bahwa kerukunan adalah pokok dari ajaran Islam yang bisa dilihat dari: 1). Ukhuwah fi al-‘ubudiyah (persaudaraan seluruh makhluk), 2). Ukhuwah fi al-insaniyah (persaudaraan seluruh umat manusia), 3). Ukhuwah fi al-wathaniyah (persaudaraan dalam kebangsaan), dan 4). Ukhuwah fi din al-islam (persaudaraan antar sesama muslim). Inti dari membentangkan sajadah yang kerap dipraktikkan oleh sebagian umat (Islam) ini adalah perlunya menghargai perbedaan demi terwujudnya bangunan bernama kerukunan.

Jika saja sikap dan tindakan kita cenderung mengingkari dan tak mau menghargai perbedaan, sama saja dengan mendobrak sendi-sendi persatuan. Di dalam al-quran dijelaskan bahwa “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang mengurai benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali” (QS. An-Nahl: 92). Artinya, ketika sebuah kerukunan yang telah terbangun di negeri ini kita hancurkan, posisinya bagai seorang manusia yang sedang merusak sesuatu yang telah diciptakannya.

Indah rasanya kalau perbedaan mesti disikapi sebagai rahmat dari Allah SWT yang tak bisa kita mungkiri, bahkan untuk sekedar dikhianati dengan tindakan diskriminatif. Sebab, ada satu tekad dan visi hidup yang mendesak untuk kita jabarkan dalam hidup keseharian. Ya, kalau bukan persatuan dan kebangkitan umat, lantas apa lagi? Bukankah Al-ikhtilafu rahmatun, perbedaan adalah rahmat?

Sederet kata mengandung petatah-petitih luhung yang jarang kita renungkan bersama-sama dalam hidup. Karena mulai lekang dari hati sanubari. Namun, saya optimis, di hari esok dan seterusnya akan banyak orang yang membentangkan sajadah untuk berbagi alas sujud dengan orang lain. Tentunya tanpa mencurigai latar belakang seseorang tatkala beribadah kepada-Nya ataupun ketika penerimaan staf pegawai di suatu institusi sedang berjalan.

Mengapa? Sebab, semua hal dilakukan secara kolektif untuk menggapai cita-cita ideal kebangkitan umat, bukan kebangkitan kelompoknya an sich. Karena itu, yang dibutuhkan kita saat ini adalah kemampuan, bukan latar belakang orang tersebut tatkala hendak menggeliatkan bangsa ini yang sedang jatuh terlentang akibat keterpurukan. Terutama keterpurukan dalam budaya persatuan umat dan bangsa.

Semoga saja dengan sajadah yang selalu dibentangkan orang lain atau kita, tatkala hendak menunaikan salat adalah perkakas tepat dalam mewujudkan persaudaraan. Baik pada setiap hari Jumat tiba atau juga di hari-hari berikutnya saat salat berjamaah.