Menulis, Memantik Cahaya Peradaban!

Notification

×

Iklan

Iklan

Menulis, Memantik Cahaya Peradaban!

Rabu, 21 April 2021 | 23:41 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:40Z

Sekira tahun 2007, Pak
 Jacob Sumardjo dalam koran Pikiran Rakyat menulis, bahwa kalau mau miskin menulislah buku. Kalimat ini tentu saja bikin hati saya menciut, mandeg mayong menulis. Sebab, waktu itu saya masih kacangan memaknai hidup: siapa, sih yang tidak ingin kaya? 

Meski secara pribadi saya tidak mau dong, kaya raya tapi tidak bahagia. Hahaha

Semenjak saya suka menulis, tidak terbesit sedikit pun keinginan untuk punya "banda pakaya" dari menulis. Tapi jujur saja, saya pernah dong dapet projek ratusan juta dari sebuah penerbitan di Kota Bandung. Dan, eee...ternyata saya hanya merasakan kekayaan luar biasa (dalam arti kaya raya secara finansial) hanya bertahan 4 tahun. Setelah itu, saya harus menerima lagi sulitnya mencari kebutuhan finansial. 

Dulu, waktu pertama kali saya menulis, sudah terpampang nama saya di media cetak pun itu sudah memuaskan aspek eksistensial saya.

Memang betul jika penulis -- sebagai profesi -- di Indonesia belum menjanjikan secara material. Apalagi jika sudah berhubungan dengan perusahaan penerbitan. Sebab, penerbit (publisher) lebih mengambil keuntungan dengan menggencet para penulis. Royalti yang diperoleh saya sebagai penulis "kacangan" pun hanya sekitar 7 persen. Meskipun ada yang memberi 10 persen, sampai sekarang buku karya saya itu tidak jelas rimba penghasilannya. Mungkin, tidak laku ya...wkwkwkwk!

Bahkan, kalau kita hitung, lebih gede pajaknya dari penghasilan penulis yakni sekitar 15 persen dan itu dibebankan kepada penulis. Belum lagi pembayaran royalti yang hanya menyerahkan laporan, sementara itu pembayarannya tiada kabarnya. Mereka seakan tidak memahami bahwa untuk menghasilkan karya dibutuhkan pelbagai penunjang.

Pertama, penunjang sisi intelektual seperti buku, browsing di internet, dan melakukan riset kecil-kecilan untuk bikin buku se-seksi siapa ya...banyak deh! 

Kedua, penunjang sisi biologis seperti makan, minum, dan rehatkan tubuh kala kita kecapekan. 

Ketiga, penunjang mental seperti stabilitas emosi, psikologis, ataupun tersedianya modal berupa keuangan -- yang pasti dibutuhkan para penulis untuk membeli penunjang intelektual dan penunjang biologis. Sebab, tanpa kekuatan fisik (daya tahan tubuh), akan berpengaruh pada kekuatan mental hingga memengaruhi produktivitas dan kualitas karya tulis seseorang.

Ketika penunjang tersebut tidak terpenuhi, kualitas sebuah tulisan tentunya akan kalah dibandingkan dengan buku-buku dari negara lain. Apalagi ketika internet telah merambah negara Indonesia, hanya demi kepuasan eksistensial, seseorang sudah bisa menerbitkan tulisannya di Website, web blog, dan koran online. 

Jadi, saya pikir tak perlu repot ketika tulisan kita ditolak oleh media cetak. Kita bisa memampangnya di media blog secara berkala. Kalau sudah mapan dan kaya dengan konten tulisan yang berisi, kita bisa mengajukan adsense, iklan digital atau sekadar menerbitkannya. 

Bahkan, jalur penerbitan oleh perusahaan juga bisa kita lalui. Sebab, dengan terus menulis tanpa memikirkan material -- meskipun ini kebutuhan penunjang -- kualitas penulisan kita akan terasah. Dan, akhirnya nama kita tidak akan diragukan lagi dalam belantika tulis-menulis.

Alhasil, dengan popularitas nama yang kita sandang, para pembaca sudah tidak asing lagi dengan nama kita, dan ini akan memberikan keuntungan masa depan. Kita dikenal, karyanya dibaca, dan dibeli oleh orang lain. 

Nah, kalau kita masih "gregetan" dengan dunia tulis-baca, mari kita bangun tradisi keberaksaraan di tubuh bangsa Indonesia. Tujuannya agar tercipta bangsa Indonesia mendatang yang cerdas dan bisa menanggulangi persoalan-persoalan yang mengimpit dengan kepala cerdas. Bukan dengan nafsu keserakahan (kapitalistik) yang banyak dipraktikkan penerbit-penerbit yang berada pada narasi-narasi besar.

Bagaimana mau terbebaskan dari buta aksara, kalau toh bangsa kita susah membeli buku karena harganya mahal. Ya, mahal karena ongkos produksi dikalikan lima kali lipat, enam kali lipat, bahkan pemerintah tidak mau mensubsidi untuk memurahkan kertas.

Jadi, kalau masih seperti itu, betul juga Pak Jacob Sumardjo mengakhiri tulisannya dengan nada sinis, kalau mau miskin menulislah buku!

Itu logis, karena kekayaan bagaikan fatamorgana. Semakin kita kejar, maka akan semakin menjauh, bahkan sampai-sampai menghilang dari pandangan mata. Kalau dibandingkan dengan saya, mungkin Pak Jacob Sumardjo secara material lebih kaya. Tapi, saya yakin beliau juga memiliki kekayaan intelektual dan spiritual karena telah malang melintang bergelut dengan dunia yang dipenuhi cahaya peradaban. Buku tea