Pewarta Sipil dan Semangat Konvergensi

Notification

×

Iklan

Iklan

Pewarta Sipil dan Semangat Konvergensi

Rabu, 14 April 2021 | 05:03 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:50Z


Bagi dosen dan mahasiswa meninggalkan aktivitas membaca dan menulis adalah sebentuk pengkhianatan eksistensial. Sebab, tanpa kedua aktivitas tersebut kapasitas intelektual mereka dipertanyakan. 

Dulu, ketika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak semaju seperti saat ini, orientasi para penulis hanya tertuju pada satu tekad. Artikel atau tulisannya harus dipublikasikan di media cetak seperti Koran, majalah, bulletin, tabloid dan penerbitan buku.

Namun, ketika zaman mulai bergulir ke arah virtual, masyarakat membutuhkan kecepatan arus informasi. Maka di era cyber atau era internet ini banyak cara agar ide-gagasannya bisa diakses masyarakat. 

Tidak hanya di media cetak saja. Sekarang telah hadir media konvergensi yang disediakan oleh perusahaan media yang bergelut di dunia jurnalistik. Zaman sekarang, seperti yang diramalkan beberapa tahun lalu, telah ada gadget yang berfungsi sebagai komputer, HP, Televisi, MP3, Video, Radio, dan lain-lain. 

Kemudian dengan kemudahan akses internet dan tersedia hosting layanan web gratisan, setiap individu mampu menciptakan, mencari, mengelola, dan menyebarkan pelbagai informasi. 

Melaui perangkat yang disediakan internet, misalnya aktivitas ngeblog. Setiap individu mengelola media secara mandiri. Dia menjadi seorang reporter, sekaligus menjadi pemilik media dan editor. Alhasil dirinya memiliki dua fungsi, yakni sebagai media yang dimassalkan dan media yang dikelola secara personal.

“Me media” menuju “We media”


Seorang dosen atau mahasiswa berkeinginan kuat ide-gagasannya bisa dikritisi, direspon, dan dikonsumsi secara cepat oleh individu yang lain. Lantas, bagaimana caranya? Dengan cara memiliki website personal (blogging), baik yang gratis (blog) atau yang menggunakan domain berbayar (website). 

Dengan model media yang memanfaatkan akses internet ini mereka sudah bisa mempublikasikan artikel, makalah, dan curahan ide lainnya secara cepat. Meskipun, kita tidak bisa menafikan bangsa Indonesia masih memelihara kultur mencetak karya tulisnya, sehingga tiras penjualan media cetak tidak mengalami penurunan yang drastis. 

Akan tetapi, kemajuan teknologi komunikasi terutama internet sebagai media komunikasi pada paruh awal abad 21 ini memang terasa pesat.

Kemajuan teknologi komputer, kemudahan akses internet, dan kecanggihan teknologi seluler, membuat media massa mengarah pada satu konvergensi. Sehingga menghadirkan bentuk media secara online di internet yang lebih interaktif dan demokratis. 

Dengan teknologi internet nirkabel, berupa teknologi mobile yang menggunakan frekuensi dalam bentuk Wimax, menjadikan respon media semakin mengarah pada bentuk media yang portable dan interaktif.

Ketika alamat website atau blog yang berisi postingan artikel yang diketik sendiri itu dikunjungi dan membuat link alamat webnya, itu adalah wujud dari berubahnya Me media menuju We media. Dari yang tadinya hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, menjadi bisa dinikmati oleh puluhan orang. Apakah ini merupakan ancaman bagi kelangsungan media massa cetak? Ataukah pangsa pasar potensial yang bisa dimanfaatkan untuk menanggulangi kesenjangan lalu-lintas informasi di tubuh masyarakat? 

Di abad konvergensi ini media massa (cetak) memiliki pesaing utama dari personal media (Me Media), dan ketika personal media melakukan networking dengan personal media lain (misalnya saling memasang link di weblog) dia menjadi media yang dimassalkan (We Media). 

Meminjam bahasa Haji Budhiana, maka untuk konteks abad konvergensi istilah media massa (mass media) ternyata sudah usang (obsolote), karena yang terjadi adalah the masses of media. Individu “melek internet” tiba-tiba saja posisinya tidak lagi (hanya) menjadi konsumen infromasi (information consumer) yang pasif, akan tetapi aktif sebagai produsen informasi (information producer). Istilah dalam lidah bangsa Indonesia “prosumen” atau produser plus konsumen.

Individu yang memiliki Me media dan menuju We media, ia bisa melakukan digital social networking. Semacam aktivitas menyebarkan ide-gagasan atau informasi ke belahan pelosok sehingga bisa diakses oleh subjek yang memiliki perhatian sama. 

Aktivitas ngeblog (blogging), umpamanya, merupakan praktik seorang individu yang mengelola Me media dan ketika ia melakukan jejaring sosial dengan individu lain dalam sebuah komunitas, tentunya hal itu telah menciptakan suatu We media. 

Maka, ketika fenomena kuatnya ikatan hypersectoral di dunia cyber tidak bisa diakomodasi oleh media cetak, akan menjadi semacam ancaman. Di masa depan, diramalkan tak ada lagi yang peduli dengan Koran-koran cetak yang berjejer di jalanan.

Menghidupkan “kultur keberaksaraan”


Beberapa media cetak di Indonesia, telah membuat versi online sehingga bisa diakses oleh masyarakat menengah yang “melek internet”. Hal ini tentunya bisa menjembatani kesenjangan informasi antara dua lintas generasi. Satu generasi yang masih mencari informasi dari media cetak, dan satu lagi adalah generasi yang mencari pelbagai informasi aktual dari dunia “maya” atau internet. 
Antargenerasi satu visi!

Ya, satu visi yakni menghidupkan “kultur keberaksaraan” di tubuh masyarakat kendati berbeda generasi (tua-muda). Apalagi, hampir setiap media cetak yang telah di-online-kan melalui internet memfasilitasi para penulis lepas dan pewarta sipil (citizen journalism) untuk menghadirkan informasi, opini, pendapat dan berita yang tidak diperoleh wartawan media cetak. 

Maka, dengan memberikan ruang kepada pewarta sipil dan penulis lepas mengisi rubrik yang disediakan di versi online, ini akan menghidupkan tradisi keberaksaraan di Indonesia. Sebab, ketika seseorang harus mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi untuk publik atau komunitasnya secara online, ia harus sudah terbiasa dengan tradisi membaca dan menulis.

Apalagi di dunia jurnalistik, sekarang pencari berita tidak hanya yang memperoleh kartu pers dari media cetak saja. Seluruh warga dari berbagai profesi bisa aktif menulis isu-isu hyperlocal sehingga bisa menerobos kerumunan ruang dan waktu. Mereka disebut sebagai citizen journalism atau participatory journalism. 

Citizen journalism atau participatory journalism, seperti yang dikatakan haji Budhiana, merupakan upaya penyajian informasi atas isu-isu hyperlocal yang dilakukan oleh individu (Me media dan We Media) karena tidak bisa dijangkau oleh media massa. 

Mereka menantang dan menggugat nilai-nilai jurnalistik lama, bahwa news atau opini harus diselaraskan dengan visi-misi media cetak karena posisi redaktur dan pemilik modal adalah the man who know much.

Ketika mereka (pewarta sipil) tidak diberikan ruang untuk berekspresi saya pikir akan menjadi ancaman bagi eksistensi perusahaan pers yang mengandalkan kekuatan media cetak.