"Kesadaran Profetik" Perspektif Iqbal

Notification

×

Iklan

Iklan

"Kesadaran Profetik" Perspektif Iqbal

Minggu, 18 April 2021 | 06:28 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:42Z

Bila membincangkan ikhwal intelektual Muslim abad 20, serasa tidak komplet jika menafikan Muhammad Iqbal. Meminjam bahasa Annemarie Schimmel – ia (Iqbal) tidak akan ada yang menyebutnya seorang nabi karena bertentangan dengan dogma ajaran Islam, tapi kita boleh menerima bahwa Iqbal ternyata telah disentuh sayap Jibril (Gabriels Wing). 

Sosok Iqbal dalam perspektif Annemarie Schimmel bagai seorang manusia bergelar "nabi" yang mendapatkan wahyu dari hantaran Malaikat Jibril sehingga melahirkan karya yang bersifat kewahyuan.

Namun, Iqbal sadar betul akan keterbatasannya, hingga bersyair, "Jika saya meninggi sehelai rambut lagi/Maka kemahabesaran Tenaga Gaib akan membakar sayapku habis." Dengan kebrilianan pemikiran, kala napasnya masih menempel di gelegak motivasi hidup, tidak serta merta merasa ia harus bersikap dan berlaku sombong. Sehingga mengangkangi kekuasaan Tuhan yang Absolut.

Sehelai rambut lagi – begitu kata Iqbal – maka yang Mahakuasa akan menghilangkan hikmah di dalam dirinya. 

Sir Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab, 22 Februari 1873, dan ada yang menyebut ia lahir 9 November 1877. Terlepas dari perdebatan itu, secara eksistensial ia telah mengalami pergulatan intelektual dari penganut panteisme dan sering disebut sebagai neoplatonisme hingga berubah menjadi intelektual yang aktif, tidak lagi asyik menonaktifkan diri dari realitas sosial yang profan.

Ia juga dikategorikan sebagai filsuf Muslim yang tidak alergi terhadap pemikiran Barat, dan seolah mengajak bangsanya untuk menilai secara objektif pemikiran Barat. Ia seolah menjadi juri "Indonesian Idol" yang di satu sisi mengkritisi dan di lain sisi memuji atau menghargai pemikiran Barat. 

Akan tetapi, kendati sering berinteraksi dengan filsafat Barat, tidak menjadikan dirinya tenggelam dengan "arus globalisasi" pemikiran. Iqbal tetap mengangkat kearifan lokal India pada waktu itu yang berkaitan erat dengan tradisi pemikiran Persia yang banyak mewariskan keberagamaan asketisme, mistisisme, dan skeptisisme.

Ia berusaha menafsirkan ketiga jenis keberagamaan itu dengan semangat profetik yang tidak melupakan realitas profan. Bukti dari keteguhannya terhadap tiga landasan itu adalah dengan menulis karya filsafat Timur – yang berasal dari disertasinya bertajuk, The Development of Metaphysics in Persia -- A Contribution to The History of Muslim Philosophy. Di Indonesia karya beliau ini diterbitkan Mizan dengan judul, Metafisika Persia -- Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam.

Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat). 

Ketika Iqbal meramu postulat, "Saya berbuat, karena itu saya ada (I act, therefore I exist)", membedakannya dengan pemikir Muslim terdahulu yang banyak terjebak kenikmatan "asketisme di sana ".

Menyatukan diri dengan Tuhan, tetapi ego kreasi dalam diri terkikis habis. Gejala tersebut oleh Iqbal diistilahkan dengan "kesadaran mistis" dan tentunya sangat bertentangan dengan "kesadaran profetik"

Kesadaran mistik adalah istilah yang digunakan Iqbal untuk mengategorikan konsep wahdah al-wujud sebagai salah satu usaha yang dilakukan manusia dengan menafikan kehendak pribadi ketika mengidentifikasikan diri dengan Tuhan. Maka, aktivitas kreatif menjadi tidak terlihat dalam hidup keseharian. 

Sedangkan, kesadaran profetik adalah sebuah cara mengembangkan kesadaran melalui aktivitas kreatif yang bebas dan melalui kesadaran bahwa aktivitas kreatif manusia adalah aktivitas Ilahi.

Konsep wahdah al-wujud dalam perspektif Iqbal adalah identifikasi keinginan pribadi dengan kehendak Tuhan melalui cara penyempurnaan diri, bukan penafian diri. Kehendak manusia pada posisi demikian menjadi otonom, tetapi tetap dalam koridor bimbingan Ilahi. 

Iqbal tidak serta merta mengakui kedaulatan postulat milik Descartes, cogito ergo sum, karena eksistensi manusia tidak mengada hanya dengan melakukan kegiatan berpikir untuk mengeksiskan diri an sich. Intelektualisme yang hanya mendewakan rasionalitas tidak akan eksis tanpa ada aktivisme yang berdimensi praksis.

Begitulah gagasan yang dicoba dikembangkan Iqbal dalam pelbagai karya kritis kreatif yang selama ini ia permenungkan. Dan dituliskan melalui lembaran puisi profetik yang monumental. Iqbal menjadi seorang sastrawan dan filsuf Muslim abad ke-20 yang memberikan kado berharga untuk tetap mengeksiskan suara kreatif umat, yang terbungkam pemikiran jumud, rigid, serta kaku atau kikuk.