Hakikat Mudik Saat Pandemi

Notification

×

Iklan

Iklan

Hakikat Mudik Saat Pandemi

Rabu, 12 Mei 2021 | 03:18 WIB Last Updated 2021-05-11T20:18:45Z


Oleh: SUKRON ABDILAH
(bincangkata.com)  


NUBANDUNG - Mudik atau pulang kampung menjelang Lebaran ialah aktivitas kebudayaan milik Indonesia. Bukan hanya milik masyarakat di pulau Jawa semata; melainkan hampir segenap warga Nusantara yang merantau di Kota selalu mudik ke kampungnya meski kesulitan mengadang.


Kemacetan yang mengular, misalnya, meski menjadi soal klasik; tidak menyurutkan para pemudik untuk pulang ke kampung asal muasalnya. Jadilah prosesi mudik sebagai puncak pengalaman religi bangsa Indonesia, sekaligus sebuah kebudayaan yang digerakkan hari raya Idulfitri.


Bahkan hebatnya, kini, mudik bukan hanya milik orang Islam. Banyak juga saudara kita dari kalangan non-muslim yang ikut menjadikan kebudayaan mudik sebagai aktivitas pulang kampung tahunan.


Dengan aktivitas mudik ini, suasana jalanan kian ramai dan meriah. Para pemudik via kapal laut, motor, mobil pribadi, bus, bahkan ada yang mudik bersama keluarga menggunakan kendaraan roda tiga, Bajaj; menjadikan "arus mudik" pemandangan yang mengharu biru.


Mudik memberdayakan


Almarhum Koentjaraningrat dalam bukunya, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1990:25) menulis suatu sistem nilai budaya (cultural value system) berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi aktivitas manusia. Di mana dalam sistem kebudayaan itu, masyarakat menganggap bahwa laku kebudayaan amat bernilai dalam hidupnya. Hal ini serupa dengan mudik bagi masyarakat muslim Indonesia.


Ia (mudik) menjadi suatu keniscayaan aktus kebudayaan hingga menyebabkan Islam di Nusantara menjadi unik. Dalam bahasa lain, mudik telah menjadi kebudayaan yang memiliki sistem nilai di jiwa umat Islam.


Bagi orang yang mengadu nasib di perantauan, aktivitas mencari nafkah ditujukan untuk merayakan hari lebaran bersama keluarga di kampung halaman sebagai tempat kelahirannya. Meminjam analisis Koentjaraningrat tentang sistem nilai budaya (cultural value system), sejatinya budaya mudik jelang lebaran dapat membentuk mental dan mentalitas kita ke arah yang berperadaban dan manusiawi.


Singkatnya, aktivitas mudik dapat berperan bagi pembangunan kampung tempat muasal para pemudik.


Penghasilan dari kota berupa pemikiran, uang, dan semangat mestinya dapat mengangkat kehidupan warga di tempat muasalnya untuk membangun peradaban ke arah yang lebih baik.


Koentjaraningrat mengatakan cultural value system – apabila dipegang secara kukuh – akan melahirkan mentalitas yang mengacu pada nilai kebudayaan tersebut.


Ini artinya, ketika mudik menjadi kebudayaan yang sarat dengan nilai, tentunya akan melahirkan semangat yang tak sekadar wacana. Melainkan semangat yang mewujud dalam aktus transformatif sehingga bermanfaat bagi lingkungan sekitar, yakni memberdayakan tempat muasalnya secara hakikat.


Gerak kembali


Larangan mudik dari Presiden Jokowi, tidak menghalangi gerak kembali ke asal (baca:mudik) bagi rakyat Indonesia. Sebab secara hakikat, mudik adalah proses mengembalikan diri ke arah kebeningan hati, kedamaian laku, dan kepedulian terhadap realitas sosial.


Apalagi di saat kita tengah bertarung dengan pandemik; menjadi keniscayaan untuk memahami mudik secara hakikat. Mudik yang tak hanya diartikan sebagai gerak jasad; namun diartikan sebagai gerak jiwa.  


Itulah yang disebut dengan "kesadaran balik yang hakiki". Para pemudik dapat melakukan upaya membalikkan kesadaran manusiawi untuk menanam empatisme sebagai perilaku “udik” yang tidak berani mengambil hak milik orang lain.  


Di dalam kata "mudik" dan “udik” juga terkandung kesamaan arti bahwa perilaku asali manusia mesti mencerminkan keaslian diri seperti kolektivisme, kejujuran, dan peduli terhadap sesama sebagai ciri khas warga di tempat asal kita.


Socrates, The Father of Philos pernah berbisik, "hidup yang tak diperiksa tidak layak diteruskan." Kenapa? Sebab ketika tidak diperiksa atau direfleksikan, tiada bedanya dengan hewan dan tumbuhan.


Mudik 1422 Hijriyah ini, alangkah baiknya menumbuhkan kembali “sense of crisis” terhadap kondisi bangsa. Dengan tidak bermudik dulu di tahun ini, harapan korban penyintas Covid-19 akan kembali menguat.


Akhirulkalam, Martin Luther King, pernah berujar, “We must accept finite dissappointment, but never lose infinite hope.” Artinya, kita boleh menerima kekecewaan sementara, namun jangan sampai kehilangan harapan yang tak berbatas.


Di era pandemik ini, jangan bermudik dulu ya! Semoga tradisi kembali ke tempat asal ini jadi awal memulai aktivitas hidup dengan kejujuran, amanah, transformatif, konstruktif, dan paling utama bisa meringankan beban penderitaan bangsa akibat pandemik Covid-19 ini.