Khadijah, Istri Rasulullah yang Cerdas, Tulus-Ikhlas Mencintainya

Notification

×

Iklan

Iklan

Khadijah, Istri Rasulullah yang Cerdas, Tulus-Ikhlas Mencintainya

Kamis, 12 Agustus 2021 | 12:23 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:21Z


Penulis ANA DWI ITSNA PEBRIANA, Alumnus Pendidikan Bahasa Arab (PBA) UIN Bandung


Aisyah r.a. berkata: “Belum pernah aku cemburu kepada istri-istri nabi lainnya kecuali kepada Khadijah, padahal aku belum pernah bertemu dengannya.” (HR Ahmad)


Pada masa jahiliyah, sebelum kenal dengan Rasulullah Saw., Ummul-Mu’miniin Khadijah r.a. dikenal sebagai crazy rich wanita dan pebisnis andal. Khadijah r.a. sering bekerjasama dengan kaum lelaki, karena di zaman itu, laki-lakilah yang terbiasa berniaga ke berbagai daerah. Adapun para wanita, tidak terbiasa keluar menuju tempat yang jauh.


Khadijah r.a. dididik dengan akhlak mulia dan terhormat sebagai seorang wanita. Beliau tumbuh dengan karakter yang kuat, cerdas, dan tidak manja. Tak heran, sosoknya amat disegani kalangan Quraisy saat itu. Hingga banyak lelaki yang rela antre untuk meminangnya, terlebih saat beliau menjanda untuk kali kedua. Namun, tak ada satu pun yang berhasil memikat hatinya.


Ia sangat hati-hati dalam mencari pasangan. Sempat tak ingin lagi menderita ditinggal suami tercinta, beliau memilih untuk memfokuskan diri sebagai orangtua tunggal, dan melanjutkan bisnis perdagangan yang sudah dirintisnya sejak lama. Sampai akhirnya, wanita agung nan suci ini meminta Rasulullah untuk menikahinya.


Dalam buku Khadijah: Perempuan Teladan Sepanjang Masa, Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal terbitan Mizania mengatakan bahwa bagi seorang perempuan, menawarkan diri untuk dinikahi bukanlah hal yang tabu pada saat itu. Apalagi bila lelaki yang diminta memang memiliki sifat-sifat yang mulia nan luhur, seperti Baginda Rasulullah Saw.


Sebagai sosok wanita yang cerdas, Khadijah r.a. tentunya tidak tergesa-gesa dalam memutuskan hal tersebut. Emosinya stabil. Beliau betul-betul cermat memilih calon pendamping hidupnya, apakah akhlak dan kebaikannya sama dengan yang dikatakan orang-orang atau tidak.


Nyatanya, Khadijah r.a. tak salah menjatuhkan pilihan. Cintanya pun tak bertepuk sebelah tangan seperti kebanyakan generasi 90-an yang dilanda virus perbucinan. Beliau termasuk wanita paling beruntung karena menjadi orang pertama yang menerima dakwah Islam, dan wanita pertama yang dinikahi Rasulullah Saw.


Ketika putra Abdullah tersebut menerima wahyu pertama kali, Khadijah r.a. pandai menenangkan hati sang suami. Bagaimana tidak, pada saat itu kondisi Rasulullah amat terguncang. Raut wajahnya tak seperti biasanya. Pucat. Tubuh gemetar. Napas tak keruan.


Khadijah r.a. sudah merasakan bahwa ada yang tak biasa dengan suami tercintanya. Ditatapnya orang terkasih itu. Dengan kecerdasan, ketajaman berpikir, iman yang kukuh, dan pemahaman mendalam tentang kehidupan, Khadijah r.a. mencoba menghibur Rasulullah dengan mengatakan bahwa apa yang menimpanya adalah kebahagiaan yang dianugerahkan bukan pada sembarang orang.


Setiap respons yang beliau lontarkan selalu berhasil menenangkan baginda Rasulullah. Khadijah r.a. tak pernah berdiam diri, apalagi berpikir macam-macam tentang berbagai peristiwa yang dialami sang suami. Sungguh nalar yang sangat lurus dan cerdas.


Khadijah r.a. wafat setelah berakhirnya pemboikotan dan embargo yang dilancarkan kaum Musyrikin Quraisy saat itu. Dengan langkah yang berat dan tubuh yang lemas, beliau tetap memikirkan nasib kaum Muslimin. Rasulullah amat terpukul dengan kepergiannya. Khadijah r.a. adalah satu-satunya wanita yang dengan segenap jiwa dan raganya rela membantu dakwah Islam.


Khadijah r.a. selalu memberikan penghasilannya kepada orang miskin, anak yatim, para janda, dan orang yang sakit. Beliau juga membantu gadis-gadis miskin untuk menikah dan memberikan mas kawin pada mereka. Seluruh hidupnya betul-betul untuk kebaikan.


Bahkan, Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Cukuplah bagimu empat perempuan terbaik sedunia; Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Fir‘aun, Khadijah binti Khuwailid, dan Fatimah binti Muhammad. (Riwayat Al-Hakim dari Anas ibn Malik)


Jika ada yang mengatakan bahwa seorang Muslimah tidak boleh mendukung feminisme, sepertinya itu bertolak belakang dengan kiprah Khadijah r.a. Beliau justru menjadi pionir feminis di kalangan Muslimah.


Istilah “Feminisme” baru dikenal jauh setelah Khadijah wafat, tetapi nilai-nilai yang dikenalkan oleh beliau sudah sangat merepresentasikan bagaimana perempuan memiliki otoritas dan kemerdekaan atas kehidupannya. Perempuan berhak memilih dan meraih cita-citanya.


Ummul-Mu’miniin ini adalah wanita mandiri yang berhasil menjalankan bisnisnya. Beliau membuktikan bahwa wanita juga berhak mendapat kebebasan untuk ikut andil dalam menjalankan perputaran roda ekonomi, tetapi tetap mengabdikan diri sebagai seorang istri yang patuh pada suami.


Khadijah r.a. juga selalu ambil bagian dalam segala aktivitas dakwah Rasulullah Saw. Peran domestiknya sebagai seorang istri pun, tak pernah diabaikan. Setiap kali sang suami akan berkhalwat di gua hira, Khadijah r.a. selalu siap sedia mempersiapkan bekal yang mencukupi selama Rasulullah di sana. Terkadang, beliau juga ikut pergi bersama Rasulullah. Keikutsertaannya dimaksudkan agar mengetahui tempat tersebut dan mengurangi kecemasannya.


Saat Khadijah jatuh hati pada Rasulullah, apakah Rasulullah memerintahkannya untuk berhenti berbisnis dan lebih mengurus rumah tangga mereka? Sama sekali tidak. Justru Khadijah r.a. menyedekahkan hartanya demi berjihad dan membantu perekonomian umat Islam. Sepenuh jiwanya betul-betul untuk agama Allah dan Rasul-Nya.


Mari kita telaah kembali sejarah yang mungkin sempat kita lupakan. Pahami kembali istilah-istilah kebaruan yang cukup asing di telinga, sebab bisa jadi itu pernah ada sebelumnya. Terkhusus para Muslimah, semoga kita semua bisa meneladani sosok Khadijah sehingga kita tidak hanya menjadi wanita yang maunya bersandar, tanpa tahu nikmat dan lelahnya berjuang.