Visi Media Lokal

Notification

×

Iklan

Iklan

Visi Media Lokal

Sabtu, 07 Agustus 2021 | 11:47 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:23Z



Oleh: BUDHIANA KARTAWIJAYA


Awal minggu lalu, sebuah lembaga internasional  media meminta masukan kepada saya tentang profil media-media di Jawa Barat yang mengajukan proposal pendanaan. Kebetulan saya pernah dikontrak lembaga ini untuk membimbing media lokal di Myanmar  pada 2020 (sayang projek ini terhenti karena kudeta 1 Februari 2021).


Media-media ini mengklaim sebagai media lokal. Mereka sudah terverifikasi oleh Dewan Pers sebagai perusahaan media. Para wartawannya banyak yang sudah mengikuti uji kompetisi wartawan (UKW), artinya pengelolanya cukup handal. Mereka mempunyai visi ideal. Kebanyakan juga media baru dan semuanya media daring (online) yang mengklaim sebagai media digital.


Ada kelemahan mendasar dari media lokal ini:


1. Visi yang tidak jelas

2. Value Proposition yang tidak jelas.

3. Tidak memahami arti transformasi digital.

4. Poin 1 sampai 3 ini sebetulnya terkait.


Visi Media Lokal


Sebagai media lokal, pengasuh media harus punya imajinasi lokalitasnya. Misalkan, jika ada media mengklaim media Bandung, maka pertanyaannya adalah: Apa visi Anda tentang Bandung? Harus seperti apa kota Bandung ke depan?


Media lokal bisa menyusun visi-nya berangkat dari konsep Kota Layak Huni (Livable City). Kota layak huni adalah sebuah kondisi kota di mana warganya bisa menjalani hidup yang sehat, ada kemudahan mobilitas (dengan jalan kaki, sepeda, transportasi umum), fasilitas air bersih, sanitasi, dan dimensi-dimensi kualitas hidup lainnya. 


Sila search Google, banyak kriteria tentang the livable city. Para pengasuh media bisa mengamati, meniru dan memodifikasinya sesuai dengan situasi dan kondisi lokalitasnya. Yang perlu diingat adalah apa yang dikatakan Rober N. Solow, peraih Nobel ekonomi, bahwa kota layak huni adalah kota yang mempertahankan keunikannya. Dari keunikannya ini, sebuah kota bisa memonetisasinya menjadi pendapatan penduduk. Atau media bisa berpedoman pada Social Development Goals (SDG’s) yang menetapkan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan, dengan 169 target. 


Dari visi kota layak huni ini, maka pengasuh media lokal betul-betul melakukan jurnalisme yang terarah, menjangkau masa depan, dan bertujuan (purpose) alias Journalism with Purpose! 


Dia bisa membuat liputan agenda setting tentang hak-hak dasar warga kota: sanitasi, pendidikan, kesehatan, taman kota, harga pangan di pasar lokal, dan lain-lain. Media bisa memberikan award kepada individu-individu yang berjasa dalam membangun kota layak huni.


Atau bila pengasuh media ingin mendorong kotanya menjadi kota kuliner, jangan tanggung. Dorong kota Anda sebagai kota gastronomi sekalian. UNESCO sudah merumuskan 8 kriteria, 22 ukuran dan 52 indikator. 


Media bisa merencanakan liputan tentang kebersihan pasar, keunikan pasar, sejarah makanan, sejarah bumbu, industri pangan tradisional, festival kuliner, mengangkat riset-riset gizi dan lain-lain. Media juga bisa mendorong dukunganpemerintah lokal, bahkan media lokal bisa jadi event organizer festival kuliner dan gastronomi. Media bisa mendorong pasar khas gastronomi seperti pasar ikan Tsukiji di Tokyo.


Value proposition


Ketika kami membaca konten-konten media lokal, tampaknya tidak ada yang khas dari media ini. Apa yang ada di media ini bisa kita dapatkan di media-media yang sudah lama malang melintang. Tidak ada nilai (value) baru yang ditawarkan media-media lokal ini.  Value propotion ini terkait dengan poin 1 di atas. Value berangkat dari visi dan misi. 


Jika mau mendirikan media lokal, maka keunikan apa yang ditawarkan oleh media baru ini, yang membedakan dari media lain yang sudah ada? Lokalitas sebetulnya memberikan banyak peluang value. Tak ada salahnya para pengelola menggunakan pendekatan Model Bisnis Canvas (Canvas Business Model). Ada sembilan unsur yang harus dipenuhi dalam model bisnis kanvas ini.


Yang pertama adalah value propotion. Mengapa anda membuat media lokal, apa keunikannya dibandingkan media lain? Mengapa orang harus membaca media Anda? Sila pelajar Canvas Business Model (CBM) ini, CBM menantang kita juga untuk merumuskan aktivitas kunci, partner strategis, sumberdaya kunci, chanelling, costumer relation, struktur biaya. Dan CBM juga menantang kreativitas dalam hal pencarian pendapatan (revenue stream), tidak cuma mengandalkan iklan saja. 


Banyak juga media lokal yang mengandalkan pendapatannya dari kerjasama dengan pemerintah daerah dan badan usaha milik daerah (BUMD). Artinya, media lokal berebut dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).


Transformasi Digital


Media-media lokal juga umumnya mengklaim sebagai media digital, namun kecenderungannya tidak memahami arti transformasi digital. Mereka menggunakan teknologi digital, tapi masih mempertahankan proses kerja dan proses bisnis lama atau analog. Dalam meraih pendapatannya (bisnis), masih mengandalkan jualan iklan. 


Karena itu mereka mengejar hit tinggi dan berlomba-lomba mengejar ranking Alexa. Media lokal bisa terjebak dalam clikbait journalism: asal rame meski tak mendidik. Tujuannya click, karena asumsinya berita hot meningkatkan hit, dan mengundang datangnya iklan. Jadi media lokal hanya melakukan digitisasi, atau cuma digitalisasi, bukan transformasi digital. 


Transformasi digital mendorong jurnalisme ke arah baru. Tapi ruh jurnalisme itu tetap, yaitu idealisme dan meningkatkan kemuliaan manusia. Ini adalah journalism with purpose. Dalam journalisme analog, pembaca adalah subordinasi media. Mereka hanya menerima informasi searah. Dalam jurnalisme digital, audiens adalah jejaring kita karena audiens juga mempunyai sumberdaya informasi dan sumberdaya lainnya yang mungkin lebih dalam dari yang dimiliki media.


Transformasi digital juga memungkinkan kita untuk menjalin kerekatan dengan komunitas, dan bahkan kita bisa menjembatani antara komunitas dalam rangka memperkuat kehidupan warga kota. Dulu media mengontrol audiens, sekarang media memberdayakan audiens. 


Jadi from profit to purpose, from hierarchy to network, from control to empowerment. Ini adalah perubahan baru media di era transformasi digital. Ini sebuah perubahan cara pandang (mind shift) organisasi, termasuk organisasi. Silakan baca karya Aaron Sachs dan Anapum Kundu tentang mind shift ini di sini.


Bila memahami dan melakukan tiga hal di atas, saya yakin media lokal akan tetap hidup bahkan makin mengakar. Media nasional memiliki jalan hidupnya sendiri, tapi dia tidak bisa menguasai lokalitas.***


Sumber: budhiana.id