Oleh: Budhiana Kartawijaya, https://budhiana.id
SERINGKALI saya meminta para pakar di kampus, atau kaum profesional untuk menulis di media massa. Ada yang menyambut ajakan ini. Namun ada juga yang skeptis.
Nah yang skeptis ini biasanya bertanya:
1.”Berapa sih honornya?”
Ketika saya ceritakan bahwa menulis di media massa memang ada honornya, akan tetapi jangan berharap bahwa honor ini akan besar. Mendengar penjelasan ini, tidak sedikit yang menolak.
2. “Ah menulis di koran itu bobot akademisnya (KUM) kecil.
3. “Menulis di koran itu membuang-buang waktu, dan tidak bergengsi dibandingkan menulis di jurnal ilmiah.”
Betul, menulis di koran itu tidak bisa memenuhui ketiga hal di atas, karena memang ketiga hal di atas bukan tujuan utama penulisan artikel opini.
Menulis opini adalah bagian dari menulis populer. Seseorang bisa menulis populer dengan menulis buku populer, atau menulis di media massa.
Menulios populer adalah sarana seseorang untuk menjadi intelektual publik. Inilah filosofi dasar itu!
Menulis Opini di Media Massa
Menulis opini di media massa adalah bagian dari menulis populer. Menulis populer adalah salah satu cara untuk menjadi intelektual publik. Tentu menulis populer lain dengan menulis akademis.
Tradisi menulis populer di Amerika baru berumur 40 tahunan. Sebelum itu, para intelektual kampus/akademis tidak mau sharing opini dengan publik. Mereka menganggap tugas suci mereka adalah menyingkap rahasia-rahasia alam, bukan berurusan dengan publik yang tingkat "intelektualitasnya" lebih rendah dari pada mereka.
Menulis populer bagi mereka adalah kegiatan membuang-buang waktu. Menurut mereka, menulis populer adalah sebuah soft activity, bahkan feminine activity. Menara gading adalah tempat mereka.
Namun, pada akhir tahun 1950-an atau menjelang 1960, beberapa ilmuwan terkenal menulis buku-buku ilmiah secara populer. Mereka itu antara lain Steven Weinberg dengan bukunya "The First Three Minutes," yang menceritakan tiga menit setelah terjadinya Big Bang. Buku lain adalah "The Double Helix" karya James D. Watson, yang bercerita tentang DNA manusia. Juga ada Richard Feynman dengan "The Character of Physical Law," yang membahas tentang fisika modern. Buku lainnya, "Silent Spring" karya Rachel Carson yang mengupas bahaya penggunaan DDT (dichloro diphenyl Trichloretan).
Weiberg, Feyman, Watson, maupun Carson bercerita secara ringan, tidak banyak mengemukakan notas-notasi matematika atau notasi reaksi kimia. Publik pun tersadarkan dan segera mendapat horison baru. Nama-nama intelektual publik lainnya pun muncul, seperti Carl Sagan, misalnya.
Maka, sejak tahun 1960-an itulah tradisi menara gading di Amerika runtuh. Para pakar akademis pun mulai memperkenalkan diri kepada publik. Apalagi ada sindiran-sindiran bahwa mereka menjadi orang besar di dunia akademi karena dibayar oleh pembayar pajak (taxpayer).
Akhirnya, media massa dibanjiri artikel-artikel populer para akademisi ini. Media pun kerap mewawancarai para akademisi untuk memberikan perspektif terhadap berita aktual. Para dosen dan ilmuwan kemudian memperluas jangkauannya dengan mengirim artikel ke media massa. Mereka tidaklagi hanya sharing opini dengan kalangan terbatas melalui jurnal ilmiah (scholar journals). Mereka tidak hanya ingin terbatas sebagai intelektual akademis saja, tetapi juga ingin menjadi intelektual publik.
Tradisi intelektual publik di Indonesia sebetulnya sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka. Para pemimpin politik seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Yamin dan lain-lain, sejak kuliah sering memberikan pencerahan kepada publik. Jadi, mungkin tradisi intelektual publik kita tidak ketinggalan.
Apa Itu Intelektual Publik?
Jadi, apa itu intelektual publik?
Saya ambilkan definisi New York Times tentang intelektual publik (public intellectual).
"Intelektual publik adalah seseorang yang memiliki pengetahuan (knowledge), otoritas (authority), tentang isu-isu aktual (issues of the day), dan memiliki kemampuan menyampaikannya kepada publik."
Jadi ada empat hal yang menyebabkan seseorang menjadi intelektual publik: pengetahuan, otoritas, isu aktual, dan bahasa populer!
Pengetahuan dan otoritas
Seorang lulusan fakultas ilmu politik, mungkin saja punya pengetahuan (knowledge) tentang kedokteran, misalnya karena lingkungan keluarga atau teman-temannya adalah dokter.
Namun, ketika dia berbicara di depan publik, atau menulis di ruang publik, adalah tidak etis berbicara soal kedokteran, sebab dia tidak punya latar belakang kedokteran. Dia punya pengetahuan, tapi tidak punya otoritas.
Jadi, Anda harus fokus menulis apa yang menjadi otoritas Anda. Banyak penulis pemula yang ingin terlihat cerdas dan menguasai masalah. Dia menulis apa saja, mulai dari krisis kacang kedele, astronomi, pilkada, hingga persoalan Timur Tengah. Mungkin tulisannya bagus dari segi materi. Namun tetap saja dia melanggar etika intelektual publik.
Pada diri seseorang mungkin saja melekat berbagai otoritas. Dewi Lestari (Dee) misalnya. Dia adalah novelis, dia seorang ibu rumah tangga, dan dia seorang penyanyi. Maka Dee boleh berbicara soal novel, soal rumah tangga, atau soal dunia entertain. Namun etika intelektual publik membatasi seseorang untuk tidak mengumbar otoritasnya. Biasanya makasimal dua otoritas. Tiga masih sopan, tapi sudah agak abu-abu.
Tidak perlu merasa terpenjara dengan otoritas. Sebab, dengan otoritas malah kita bisa melihat persoalan dari sisi yang lain.
Pernah seorang perempuan mengeluh kepada saya betapa latar belakang dia sebagai guru taman kanak-kanak membatasi dia untuk mengupas kota Bandung. Saya minta dia memeras otak untuk meninjau kota Bandung dari segi perkembangan anak. Lumayan, dia bisa menulis kota Bandung dengan baik, dan dia bisa menyimpulkan betapa kota kembang ini bukan sebuah children-friendly city. Bandung ternyata kota yang tidak ramah kepada anak-anak.
Setiap keluar rumah menuju sekolah, anak-anak Bandung "menggadaikan" nyawanya ke jalan-jalan besar. Kasihan, ketika menyeberang menuju sekolah, anak-anak kita senantiasa terancam tertabrak oleh kendaraan.
Jadi, tidak perlu merasa terbelenggu oleh otoritas.
Otoritas diperlukan agar seseorang menjadi rujukan publik untuk isu-isu tertentu. Seseorang menjadi intelektual publik, jika publik secara otomatis mengaitkan isu tertentu dengan namanya.
Misalnya, ketika ada persoalan ekonomi, tiba-tiba publik teringat kepada Faisal Basri. Ketika ada isu lingkungan hidup, publik tiba-tiba ingat nama Otto Soemarwoto, dst. Maka Faisal Basri dan Otto telah menjadi rujukan publik untuk isu terkait.
Seseorang menjadi rujukan publik karena dia sering menulis satu bidang yang menjadi spesialisasinya, selama bertahun-tahun.
Karena itu, sekali lagi, menulislah apa yang menjadi otoritas Anda. Jangan menulis banyak hal, karena menulis seperti ini akan menjadikan Anda lebih sebagai intelektual selebriti. Mungkin nama Anda sering muncul, tapi publik semakin mengetahui betapa pengetahuan Anda ternyata dangkal (the more public he is, the less intellectual).
Nah...kalau pun Anda sudah mulai fokus pada otoritas, perhatikan pula frekuensi kemunculan Anda di media massa. Jangan terlalu sering. Dua bulan sekali di media massa yang sama sudah cukup.
Dari reference ke simbol
Kapan seseorang secara etika boleh keluar dari otoritas dia?
Sebelum itu, saya ingin memperkenalkan hierarki intelektual publik, menurut Alan Lightman.
Level I : Intelektual publik berbicara tentang disiplin ilmunya. Dia belum mengaitkan disiplin ilmunya dengan realitas sosial di sekitarnya.
(Catatan: mungkin level ini cocok dalam penulisan buku ilmiah populer, tidak cocok untuk media massa karena artikel di media massa selalu dikaitkan dengan persoalan aktual masyarakat. Artikel di koran adalah newspeg atau terkait dengan berita.)
Kawan saya, Dr. T. Djamaluddin adalah ahli matahari di LAPAN. Beliau banyak menulis buku soal astronomi, matahari dsb. Ini adalah level 1.
Level II: Si intelektual publik mulai menggunakan disiplin ilmunya untuk menganalisis persoalan sosial kemasyarakatan.
Setiap menjelang Idulfitri, umat Islam selalu berbeda pendapat tentang jatuhnya hari suci itu. Nah...di sini Dr. T. Djamaluddin mulai membahas soal ini dengan pendekatan astronomi. Maka di sini disiplin ilmu dia diterapkan untuk menjawab persoalan kemasyarakatan.
Level I dan II tetap menuntut otoritas. Level I dan II mendorong si penulis menjadi rujukan publik (public reference).
Kapan seseorang boleh keluar dari disiplin ilmunya?
Menurut Alan Lightman, seseorang secara etika boleh keluar dari dispilin ilmunya, kalau ada permintaan publik!! (by invitation only)
Dan berarti dia memasuki Level III:
Setelah menjadi rujuan publik sekian lama, publik mungkin ingin mengetahui apa pandangan si intelektual publik tentang hal lain. Ini terjadi pada Albert Einstein. Sekian puluh tahun orang mengenal Einstein sebagai jenius fisika. Lama kelamaan, orang ingin tahu apa pandangan Einstein tentang agama, etika dan pendidikan.
Maka Einstein banyak diundang menulis dan berbicara soal-soal di luar fisika, seperti etika, seni, budaya dan agama. Bahkan setelah pensiun, Einstein tidak banyak berbicara soal fisika, dia lebih banyak bicara tentang filsafat, etika dan agama.
Nah...ketika ada permintaan publik seperti ini, seseorang boleh keluar dari disiplin otoritasnya. Seseorang yang sudah melewati Level III ini sudah bukan lagi hanya referens publik. Dia sudah menjadi simbol masyarakat. Dia menyuarakan susah dan gembiranya masyarakat.
Menurut saya orang-orang semacam Prof. Selo Soemardjan Almarhum, Nurcholish Madjid, dan banyak tokoh yang masih hidup lainnya sudah menjadi simbol.
Jadi, ikutilah alurnya Alan Lightman ini. Bersabarlah, dan taatlah pada otoritas, sampai suatu saat publik meminta ada keluar dari otoritas.
Banyak penulis pemula yang mengawali karir menulisnya terbalik. Mereka menulis berbagai hal. Mending kalau akhirnya menjadi satu, akan tetapi banyak yang terus menulis banyak hal.
Apakah kita harus selalu menerima setiap permintaan publik untuk keluar dari otoritas?
Beberapa koran, seperi Kompas di antaranya, membatasi kemunculan tulisan dari seseorang yang sama, selama dua minggu.
Karena itu, beberapa media mengharuskan penulsi pemula untuk menyertakan CV ringkas. Tujuannya untuk mengetahui keterkaitan latar belakang si penulis dengan tulisannya.
Seseorang yang menulis di luar otoritasnya, maka tulisan itu dikategorikan sebagai surat pembaca saja.