Bung Tomo: Pahlawan Nasional, Orator Mumpuni Kebanggaan Bangsa Indonesia

Notification

×

Iklan

Iklan

Bung Tomo: Pahlawan Nasional, Orator Mumpuni Kebanggaan Bangsa Indonesia

Selasa, 09 November 2021 | 13:03 WIB Last Updated 2021-11-09T06:03:55Z


NUBANDUNG
– Pada masa revolusi, sedikitnya ada tiga putra tersohor bangsa Indonesia yang dipanggil “Bung” di depan nama mereka. Soekarno dan Mohamad Hatta—keduanya proklamator, akrab dipanggil Bung Karno dan Bung Hatta.


Seorang lagi adalah Sutomo yang dikenal dan kerap dipanggil dengan nama Bung Tomo.


Ya, Bung Tomo yang lahir 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur, dikenal sebagai tokoh “pemberontak”. Keberadaannya menjadi simbol penyemangat, penggerak perjuangan sekaligus perlawanan. Namanya demikian erat dengan pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya. Dari peristiwa ini, di Indonesia tanggal tersebut diabadikan sebagai Hari Pahlawan.


Saat pertempuran yang masyhur itu, Bung Tomo berusia 25 tahun. Ia bukan hanya pejuang yang gigih memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga orator dan agitator yang piawai.


Dalam setiap orasinya, ia senantiasa membakar semangat juang rakyat yang sedang mempertahankan kemerdekaannya. Tentu saja, ia melakukan hal itu agar semangat revolusi rakyat tidak mengendur atau melemah. Seruan takbir kerap terlontar dari mulut pejuang Muslim yang taat tersebut. Allahu Akbar!


Revolusi fisik serentak terjadi di Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan Semarang. Bung Tomo adalah satu dari sekian banyak tokoh lokal dari kaum muda yang populer pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta. Ia berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanah kelahirannya.


Melalui organisasi Pemuda Republik Indonesia, nama Bung Tomo kian bersinar meski ia bukan pimpinan. Ia tetap teguh mengawal jalannya revolusi khususnya di Surabaya.


Stasiun pemancar dan Arafah


Sekembalinya dari Jakarta, 12 Oktober 1945, Bung Tomo mendirikan stasiun pemancar radio yang disebut “Radio Pemberontakan”. Stasiun pemancar ini merupakan infrastruktur peninggalan Jepang.


Lewat komunikasi dari radio ini pula, gelora semangat dan seruan Allahu Akbar dan pekik “Merdeka!” Bung Tomo dapat didengar rakyat.


Pidato dan orasi agitatifnya berhasil menggetarkan hati para pemimpin “merah” dan santri di Surabaya dan sekitarnya, baik di perkotaan maupun pelosok desa.


Pada 1950, Bung Tomo fokus dan berkarier di ranah politik. Ia duduk di jajaran kabinet sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/ Veteran dan Menteri Sosial Ad interim. Setelah Pemilu 1955, ia terpilih menjadi anggota parlemen dan konstituante.


Saat musim haji tahun 1981, Bung Tomo bersama istri dan dua putrinya menunaikan ibadah haji. Takdir, di Tanah Suci ia menderita sakit dan sempat dirawat di Rumah Sakit Kerajaan Arab Saudi.


Selama dua hari, ia tak sadarkan diri dan sempat siuman. Namun, saat menunaikan wukuf di Arafah, ia datang dengan ditandu. Selagi wukuf inilah ia mengembuskan napas terakhirnya. Jenazahnya dimakamkan di Tanah Suci kemudian dipindahkan ke Surabaya.