Kontekstual Memaknai Istilah Jihad, yang Pasti Bukan Qital, Lho

Notification

×

Iklan

Iklan

Kontekstual Memaknai Istilah Jihad, yang Pasti Bukan Qital, Lho

Jumat, 28 Januari 2022 | 10:23 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:01Z

 


Kematian memang benar adanya. Seateis apa pun seorang manusia, dia pasti memercayai bahwa mati adalah nyata. Dari kematian inilah, seperti dibilang M. Quraish Shihab – dalam kata pengantar buku Psikologi Kematian – menumbuhkan optimisme dan pesimisme. 

Para pelaku teror, saya pikir masuk ke dalam kategori orang-orang yang pesimis. Hidup yang sedemikian berharga diakhiri dengan ledakan bom bunuh diri. Pesimis karena tidak mau atau bosan atau tidak menganggap hidup sebagai lahan menuai pahala.

Saya bertanya pada diri sendiri, apakah pepatah Nabi, “Hayatuna kulluha ibadatun” (Hidup di dunia adalah ladang beribadah kepada-Nya) tidak mereka simak baik-baik? 

Ahmad Fuad Fanani, di harian Kompas memberi pemahaman ada kesalahan memahami istilah jihad. Padahal, lanjutnya, jihad berbeda dengan perang fisik. Jihad, lebih dekat dengan pengerahan potensi pikir.

Maka, di dalam khazanah keilmuan Islam kita mengenal istilah “ijtihad” dan “mujtahid”. Kedua istilah ini seakar kata dengan jihad dari wajan jahada. Ja-ha-da arti dasarnya adalah sungguh-sungguh. Jadi kalau diartikan perang fisik itu tidak tepat. 

Perang fisik tepatnya menggunakan istilah “qital” dan dalam Islam si qaatil (pembunuh) dengan si maqtul (yang dibunuh), mereka masuk neraka (fi al-nar). Ini bukan berarti yang menjadi korban ledakan masuk neraka. Tidak, mereka tidak akan pernah masuk neraka. Karena saya bukan Tuhan, yang berhak memasukkan ke surga dan neraka.

Maksud si qaatil dan si maqtul itu masuk neraka adalah ada pesan perdamaian yang diusung agama Islam. Kita, sesama manusia jangan pernah berperang. Adapun soal peperangan zaman nabi, itu adalah usaha defensif dari serangan musuh. 

Dan, di zaman kini peperangan adalah cara kuno alias barbar, apalagi melihat ledakan bom bunuh diri. Itu bentuk pesimisme yang agresif dan tak manusiawi. Dan, sekali lagi itu bukan jihad.

Lagi-lagi kejadian teror bom itu membentuk si Muslim menjadi pesimis tentang masa depannya. Dari 100 persen penduduk muslim Indonesia, yang memahami jihad sebagai qital; saya pikir tidak lebih dari satu persen. Namun, meskipun kecil, suaranya seperti kendaraan bajaj di Jakarta. Kecil, tetapi brisik!!!.

Tuhan memberikan kepada manusia keberagaman untuk mengarifi kehidupan: berdamai dengan sesama manusia, bukan berperang dan saling menghancurkan. 

Terorisme adalah penghancur peradaban, yang sempat jadi alasan malaikat memprotes Tuhan, kenapa menciptakan manusia.