Sunda, Sopan Santun, dan Sentimen SARA

Notification

×

Iklan

Iklan

Sunda, Sopan Santun, dan Sentimen SARA

Rabu, 19 Januari 2022 | 15:20 WIB Last Updated 2022-01-19T08:20:55Z


Oleh: Ace Somantri, 
Ketua LP3K Universitas Muhammadiyah Bandung dan Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Bandung


NUBANDUNG.ID - "Beda suku beda budaya", itu adalah sebuah harta kekayaan bangsa dan negara. Jangan sesekali menciptakan kepongahan diri seolah punya adat kebudayaan, tetapi kenyataannya hanya seorang pengkhianat bangsa. 


Peristiwa kecaman kepada pejabat untuk memperkarakan kata dan kalimat suatu budaya adalah bentuk sikap yang ternoda. Bahaya sekali ketika seorang masyarakat yang selama ini hidupnya dibayar uang Rakyat namun berprilaku sangat hina. 


Memang betul satu bahasa dan satu bangsa, namun kekayaan budaya adalah dasar utama historisitas suatu negara dimana berada. Nasionalisme warga bukan dipengaruhi komitmen bermacam ragam budaya yang parsial dan subjektif, melainkan yang komprehensif dan holistik, saling menghormati dan menjaga satu budaya lainnya sesuatu yang harus dipelihara. 


Ketika kita jumawa dengan satu budaya tertentu itu bentuk sikap seorang warga yang hina yang penuh noda budaya. Siapapun mereka ketika bertutur kata bernada penuh sentimen SARA, sudah dipastikan dia seseorang tidak punya adab dan tatakrama.


Kasus seorang legislator yang sedang viral di dunia maya, ungkapannya cukup menghebohkan jagat raya Indonesia dan membuat malu lembaga negara yang mulia. Ungkapan yang sentimen primordial kesukuan telah membutakan mata hati akan kekayaan budaya bangsa. 


Suku Sunda salah satu suku bangsa yang terbanyak penduduknya dan tidak sedikit suku Sunda merantau tersebar di berbagai daerah di Indonesia, cukup terkenal di telinga dengan sebutan paguyuban pasundan, di manapun berada tetap menjunjung tinggi adat istiadat setempat. 


Bahkan punya catatan besar di berbagai konflik sosial yang terjadi di Nusantara yang langsung di tangani negara melalui TNI selalu mengirim pasukan dari kodam III Siliwangi, hal itu cukup efektif dalam komunikasi dan pendekatan harmonisasi antar warga di daerah konflik. 


Peristiwa viral sentimen SARA kerap kali sering menyinggung harga diri pada setiap komunitas warga masyarakat di Indonesia, hal itu bukan suatu reaksi tanpa alasan dan tidak berlebihan apabila dipermasalahkan. 


Persoalannya diungkapkan dengan massage bernada sentimen kesukuan. Sikap tersebut sangat bertolak belakang dengan nilai - nilai pancasila sebagai dasar negara. Patut di duga perbuatan tersebut bagian dari perbuatan yang tidak menyenangkan dan membuat suasana persatuan dan kesatuan bangsa tercoreng, tidak menutup kemungkinan ada indikasi pelanggaran konstitusi ketika ungkapan tersebut secara sengaja dan di rencanakan. 


Sekalipun tidak, pada ungkapan tersebut bisa masuk ranah primordial antgonistik yang berpotensi memecah belah bangsa. 


Kesatuan dan persatuan bangsa digagas atas dasar moralitas berbagai suku, ras dan juga agama masing-masing daerah termasuk suku Sunda. Untung saja, sikap lembut suku Sunda senantiasa memberi ruang harmonisasi dalam suasana kebangsaan dan kerakyatan di Indonesia. 


Di manapun berada, suku Sunda selalu memberi kontribusi persaudaraan selama satu nafas agama, bangsa dan juga negara. Hal itu sebagai implementasi ajaran Islam yang memerintahkan untuk saling kenal dan saling menyayangi satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya. Moralitas bangsa ada dalam keanekaragaman budaya yang tersebar di seluruh nusantara. 


Semoga kita semua tetap menjaga hubungan dengan sikap ka cai jadi sa leuwi, ka darat jadi salogak.