Mang Koko, Maestro Kecapi Sunda yang Legendaris

Notification

×

Iklan

Iklan

Mang Koko, Maestro Kecapi Sunda yang Legendaris

Sabtu, 26 Maret 2022 | 12:21 WIB Last Updated 2022-03-26T05:22:15Z


NUBANDUNG.ID
– Kaum milenial apakah mengenal atau minimal pernah membaca sekilas informasi mengenai seniman kahot nan cerdas dalam menciptakan kreasi musik kecapi Sunda yang satu ini? Mang Koko namanya? Sepertinya belum mengenal.


Mang Koko adalah seniman Sunda yang keren dan terkenal karena mampu menciptakan lagu kecapi Sunda yang sangat berkesan di hati orang yang mendengarkannya.


Dikutip dari laman unpad.ac.id, Sabtu (26/03/2022), seniman karawitan Sunda ini lahir pada 10 April 1917 dan wafat 4 Oktober 1985. Mang Koko mulai aktif menulis lagu pada medio 1940-an. 


Hingga akhir hayatnya, Mang Koko menghasilkan 1.000 lagu. Namun, yang berhasil diarsipkan sebesar 500 judul lagu. Hal ini menandakan bahwa sebagai seniman, Mang Koko merupakan seniman yang produktif.


Koko Koswara atau lebih dikenal dengan Mang Koko, seperti dikutip dari ensiklopedia bebas Wikipedia, punya ayah bernama Ibrahim alias Sumarta. Ayahnya masih keturunan Sultan Banten (Maulana Hasanuddin).


Ia mengikuti pendidikan sejak HIS (1932), MULO Pasundan (1935). Selepas masa pendidikan ia bekerja sejak 1937 berturut-turut di Bale Pamulang Pasundan, Paguyuban Pasundan, De Javasche Bank; surat kabar harian “Cahaya”, dan harian “Suara Merdeka”.


Lalu bekerja di Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat dan menjadi guru yang kemudian menjadi Direktur Konservatori Karawitan Bandung (1961-1973). Karier yang tak kalah mentereng yakni menjadi Dosen Luar Biasa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung (sekarang Institut Seni Budaya Indonesia [ISBI]) sampai ia wafat.


Abdi seni dan karya


Bakat seni yang dimilikinya berasal dari ayahnya yang tercatat sebagai juru mamaos Ciawian dan Cianjuran. Kemudian ia belajar sendiri dari seniman-seniman ahli karawitan Sunda yang sudah ternama dan mendalami hasil karya bidang karawitan dari seorang ahli musik Sunda, yakni Raden Machjar Angga Koesoemadinata.


Ia juga tercatat telah mendirikan berbagai perkumpulan kesenian, di antaranya Jenaka Sunda Kaca Indihiang (1946), Taman Murangkalih (1948), Taman Cangkurileung (1950), Taman Setiaputra (1950), Kliningan Ganda Mekar (1950), Gamelan Mundinglaya (1951), dan Taman Bincarung (1958).


Mang Koko juga mendirikan sekaligus menjadi pimpinan pertama dari Yayasan Cangkurileung pusat, yang cabang-cabangnya tersebar di lingkungan sekolah-sekolah seprovinsi Jawa Barat.


Ia juga mendirikan dan menjadi pimpinan Yayasan Badan Penyelenggara Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Bandung (1971). Pernah pula ia menerbitkan majalah kesenian “Swara Cangkurileung” (1970-1983). Karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa naskah-naskah.


Misalnya “Resep Mamaos” (Ganaco, 1948), “Cangkurileung” (3 jilid/MB, 1952), “Ganda Mekar” (Tarate, 1970), “Bincarung” (Tarate, 1970), “Pangajaran Kacapi” (Balebat, 1973), “Seni Swara Sunda” atau “Pupuh 17” (Mitra Buana, 1984), “Sekar Mayang” (Mitra Buana, 1984), “Layeutan Swara” (YCP, 1984), “Bentang Sulintang” atau “Lagu-lagu Perjuangan” dan sebagainya.


Lagu-lagu hits Mang Koko


Karya-karyanya bukan hanya dalam bidang kawih, melain dalam bidang seni drama dan gending karesmen.


Dalam hal ini tercatat misalnya “Gondang Pangwangunan”, “Bapa Satar”, “Aduh Asih”, “Samudra”, “Gondang”, “Samagaha”, “Berekat Katitih Mahal”, “Sekar Catur”, “Sempal Guyon”, “Saha?”, “Ngatrok”, “Kareta Api”, “Istri Tampikan”, “Si Kabayan”, “Si Kabayan jeung Raja Jimbul”, “Aki-Nini Balangantrang”, “Pangeran Jayakarta”, dan “Nyai Dasimah”.


Saat membaca riwayat kehidupan Mang Koko, akan ditemui seorang manusia yang telah memasrahkan jiwa dan raganya demi kehidupan dan kelestarian seni, khususnya seni Sunda.


Namun ia merasa sudah cukup bila ia disebut sebagai seorang penghalus jiwa, sebab seperti diungkapkan dalam salah satu kawihnya, seni adalah penghalus jiwa.


Di antara lagu-lagunya Mang Koko yang terkenal misalnya “Kembang Tanjung Panineungan”, “Kembang Impian”, “Demi Wanci”, “Anggrek Japati”, dan sebagainya.


Bahkan lagu “Kembang Tanjung Panineungan” sangat menyayat hati. Lagu ini mengisahkan dengan begitu pilu bagaimana ceceran cerita dari masa-masa ketika revolusi dahulu. Bagi Anda orang Sunda ketika mendengarkan lagu ini, bisa-bisa Anda menangis. Luar biasa memang.