Fake Spirituality, Spiritualitas Palsu Sepalsu-Palsunya

Notification

×

Iklan

Iklan

Fake Spirituality, Spiritualitas Palsu Sepalsu-Palsunya

Rabu, 13 Juli 2022 | 08:20 WIB Last Updated 2022-07-13T01:20:01Z


Oleh: Tedi Taufiqrahman
 


NUBANDUNG.ID - Dulu sekali, sewaktu mahasiswa, tulisan teman saya dimuat di koran Pikiran Rakyat, judulnya Narsisme Religiusitas.


Sekarang, saya ingat lagi tulisan teman saya itu ketika membaca statusnya Coach Fahmi yang menyebutkan tentang fake spirituality. 


Saya sudah tidak ragu lagi mengenai agama sebagai sebuah komoditas. Itu sudah tampak nyata. Namun spritualitas? Sebentar, bagaimana? 


Sesungguhnya, saya tidak ingin percaya, karena secara arti spiritual dan religi jauh berbeda. 


Spiritual tidak berkaitan dengan agama sedang religi erat kaitannya dengan agama (dalam bahasa Inggris religion diartikan sebagai agama). 


Singkatnya, sependek pemahaman, seseorang bisa mengalami pengalaman spritual sekalipun tidak beragama atau bahkan tidak benar menjalankan perintah agamanya. 


Sebaliknya, bisa jadi—sekali lagi bisa jadi—orang yang dalam kehidupan sehari-hari giat melaksanakan ibadah namun malah jarang atau bahkan belum pernah merasakan pengalaman spritual. Itu bisa terjadi. 


Sekarang, saya begitu tercengang karena kemudian ada istilah fake sprituality? Betul, itu bukan istilah baru. Saya yang baru mendengar dan masih tidak ingin percaya kalau itu memang benar nyata. 


Saya bertanya-tanya, untuk alasan apa seseorang berbohong mengenai pengalaman spritualnya? 


Saya mengumpulkan sedikit informasi dari internet. Ini yang saya dapatkan. Fake spirituality adalah tindakan menggunakan spiritualitas untuk mengeksploitasi orang lain. Ini adalah ketika seseorang mengaku mendapatkan pengalaman spritual guna mendapatkan otoritas atau popularitas. 


Menurut saya, ini lebih mengerikan ketimbang apa yang telah teman saya tulis mengenai narsisme religiusitas yang kurang lebih artinya setara dengan riya—membanggakan ibadahnya. Namun, fake spirituality ini lebih halus, bukan hanya sebatas membanggakan perilaku ibadah, namun juga mengaduk-aduk batin orang lain dengan pengalaman spiritual yang ia peroleh—untuk tujuan tertentu. 


Ini jelas lebih berbahaya. Dan untuk apa orang melakukannya? Untuk tujuan apa saja—selain tujuan spiritulitas itu sendiri—mungkin saja keuntungan materi. 


Saya masih tidak percaya sampai saya ingat bahwa ego mampu mengubah apa pun untuk mencapai tujuannya bahkan spiritualitas. Seperti halnya filantropi yang bisa dijadikan angle copy untuk mendapatkan profit. Spritualitas juga kurang lebih sama. 


Menyesakkan memang. Namun begitulah adanya. Kita harus lebih waspada bukan pada orang lain, tapi pada diri sendiri.