K.H.R. Ahmad Dimyati: Tokoh NU dan Mufasir Sunda, Pengasuh Pesantren Sukamiskin Bandung

Notification

×

Iklan

Iklan

K.H.R. Ahmad Dimyati: Tokoh NU dan Mufasir Sunda, Pengasuh Pesantren Sukamiskin Bandung

Kamis, 21 Oktober 2021 | 23:30 WIB Last Updated 2021-10-22T01:31:53Z



NUBANDUNG – Berbicara tentang sejarah tafsir al-Quran dalam bahasa Sunda telah muncul pada awal abad ke-20 Masehi hingga saat ini. Semua tafsir al-Qur’an berbahasa Sunda tersebut banyak yang ditulis dalam aksara Arab (Sunda Pegon) dan terhitung sedikit menggunakan bahasa latin. 


Pun demikian tidak ada tafsir al-Quran yang ditulis dalam bahasa Sunda yang beraksara Sunda Kuno ataupun Jawa Kuno. Hal ini dibuktikan pada tahun 1931 dengan lahirnya Tafsir al-Quran yang berjudul al-Tabyin al-Ajla wa al-Ahla karya K.H.R. Ahmad Dimyati (w. 1946 M).


Lahirnya Tafsir al-Tabyin al-Ajla bersamaan dengan lahirnya kitab tafsir al-Quran berbahasa Sunda karya Ahmad Sanusi Sukabumi, Raudhat al-‘Irfan Fi Ma’rifat al-Quran. 


Menurut Jajang Rohmana dalam bukunya Sejarah Tafsir al-Quran di Tataran Sunda menjelaskan bahwa dalam tafsirnya menjelaskan tafsir dari Surat al-A’la berbahasa Sunda yang beraksara Arab (Sunda Pegon). 


Lantas siapakah K.H.R. Ahmad Dimyati? Bagaimana pengaruh pemikirannya yang ia curahkan dalam Tabyin  al-Ajla?


K.H.R. Ahmad Dimyati lahir pada 10 Januari 1910 di Babakan Ciparay, Kewedanaan Tegalega, Bandung. Sekarang daerah ini resmi menjadi wilayah kota Bandung. Pengabdian Dimyati dalam bidang pendidikan membuatnya terjun dan berkiprah sebagai pengajar di berbagai sekolah Islam. 


Menurut Budi Sujati dalam bukunya Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama di Jawa Barat mengatakan Dimyati pernah menjadi guru Agama/kyai di pesantren Babakan Ciparay yang berada di daerah Kopo 415 Bandung pada 1933-1956. Beliau juga pernah menjadi Direktur SMP Lembaga Islam di Bandung pada 1954-1956.


Dimyati dikenal dengan sebutan Mama Gedong. Hal ini mengacu pada kediaman rumahnya yang saat zaman penjajahan telah dibangun dengan dinding tembok. Keadaan rumah seperti itu menunjukan status sosial dan kepemilikan harta kyai tersebut. Memang dari silsilah keluarganya, ia adalah keturunan bangsawan yang kaya. 


Ayahnya, K.H. Muhammad Alqo putera Daeng Daud yang berasal dari Kampung Pulo, Jakarta. Bersama ayahnya, Dimyati mendirikan pesantren Sukamiskin pada tahun 1881.


Sebelum mendirikan pesantren, Dimyati pernah mengenyam pendidikannya di pesantren Kresek Garut dan bermukim di Mekkah selama sembilan tahun bersama K.H. Ahmad Sanusi (pendiri Pesantren Gunung Puyuh). 


Menurut Ginanjar dalam tulisannya tersebut menjelaskan bahwa keduanya memang terjalin hubungan persahabatan yang sangat dekat. Pun keduanya terkoneksi dalam sebuah jaringan intelektual ulama Sunda pada abad ke 20 M. Keduanya sama-sama menjadi murid dari Syaikh Mukhtar Atharid Bogor (w. 1930 M). 


Menurut M. Nandri Prilatama dalam wawancaranya bersama K.H. Abdul Azis (pengasuh pesantren Sukamiskin) saat ini mengutarakan bahwa Pesantren Sukamiskin awalnya merupakan lembaga yang meningkatkan ilmu Thariqah.


Sejak masa K.H.R. Ahmad Dimyati (1910-1946 M/1329-1365 H), ia merubah sistem pengajaran Sukamiskin dan diadakannya penerapan klasifikasi, kurikulum, dan pesantren wajib delapan tahun. 


Uniknya, sosok Dimyati yang aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama wilayah Bandung, namun sistem pendidikannya tidak terhimpit dalam wawasan pembelajaran tidak seperti Madrasahmadrasah lainnya yang berbasis NU. 


Ia tidak mewajibkan para santrinya untuk berorganisasi di NU, sebagian mereka banyak yang menjadi tokoh di organisasi Persis dan PSSI. Salah satu tokoh NU yang mewarisi Ahmad Dimyati adalah K.H. Zainal Mustafa Tasikmalaya.


Sejak diasuhnya, pesantren Sukamiskin menjadi harum dan menjadi sorotan masyarakat. Menurut Azis selaku pimpinan pondok Pesantren Sukamiskin saat ini mengutarakan bahwa pesantren ini telah berinjak menuju 136 tahun. Ia mengakui tentang pesantren Sukamiskin  dilapisi  banyak rintangan dan hambatan. Seperti peristiwa tahun 1942, terjadi pengeboman oleh Belanda yang membuat pondok ini luluh lantak dan menyisakan puing-puing. KH.Ahmad Dimyati pun terpaksa untuk mengasingkan diri ke daerah Ciparay,Kabupaten Bandung. 


Menurut Azis, diasingkannya Dimyati tidak menghalanginya untuk menulis beberapa karya  meliputi ilmu Fiqh, Tauhid, Tasawuf, dan Syair (sastra) ditulis  dalam bahasa Sunda. Ia pun terkenal sebagai peletak dasar “Ngalogat Sunda” (metode memaknai kitab dalam bahasa Sunda).


Menurut Ahmad Ginanjar dalam artikelnya yang berjudul al-Tabyin Ajla wa Ahla: Tafsir al-Quran Sunda oleh KH.R.Ahmad Dimyati Sukamiskin (1931) menjelaskan secara rinci isi dari kitab tafsir ini. 


Menurutnya, gaya penafsiran yang dilakukan oleh Dimyati dalam al-Tabyin Ajla wa Ahla menggunakan model purwakanti (sastra prosa berima,yang terdiri dari penggalan-penggalan kalimat yang kaya akan rima dan irama). 


Sebenarnya, gaya yang dipakai Dimyati dalam penafsirannya memiliki kesamaan dan melengkapi tafsir al-Quran berbahasa Sunda yang pernah ada sebelumnya. Salah satunya tafsir Quranul Adhimi karangan Haji Hasan Mustapa Garut yang menafsirkan al-Quran dengan model danding (sejenis puisi Sunda).


Pada halaman sampul naskah kitab tertulis keterangan seperti berikut:


“Kitab al-Tabyinul Ajla wa Ahla fi Tafsir Surat al-A’la, basa Sunda nganggo rindik purwakanti saban opat rindik didamel hiji candek, kenging ngaracik Raden Haji Ahmad Dimyati Sukamiskin Bandung, dicetak ku Zarkasyi Sindanglaya”


Kitab al-Tabyinul Ajla wa Ahla fi Tafsir Surat al-A’la bahasa Sunda menggunakan model purwakanti setiap empat bait dibuat menjadi satu kalimat, dibuat oleh Raden Haji Ahmad Dimyati Sukamiskin Bandung, dicetak oleh Zarkasyi Sindanglaya.


Kitab ini dicetak oleh KH.Ahmad Zarkasi Sindanglaya pada tahun 1350 H/1931 M. Adapun keseluruhan tebal kitab tersebut sebanyak 24 halaman. Kitab karya K.H.R. Ahmad Dimyati ini menjadi pelengkap dari beberapa koleksi kitab-kitab tafsir al-Quran lainnya dalam bahasa Sunda seperti yang ditulis oleh Ahmad Mustapa Garut (Quranul Adhimi), R.A.A.Wiranatakoesoemah (Tafsir Soerat al-Baqarah), A.Hassan Bandung (Tafsir al-Foerqan Basa Soenda) dan lain sebagainya.


[Penulis: Rifa Tsamrotus Saadah Sumber: BincangSyariah.Com]