Oleh Budhiana Kartawijaya, Ketua Pembina Odesa Indonesia
NUBANDUNG.ID - Ketika Friederich Wilhelm August Fröbel (atau Froebel; 21 April 1782 – 21 Juni 1852) melahirkan istilah Kindergarten (Taman Kanak-Kanak), itu bukan tanpa alasan.
Fröbel melihat anak sebagai bibit baik. Pada diri anak, ada potensi unik yang harus dieksplore. Fröbel menyebutnya “ngaji diri” atau swakaji. Yaitu pendidikan bertujuan menghubungkan potensi jiwa anak dengan dunia di luar dirinya.
Ada 5 bentuk swakaji:
1. Bermain, mencakup pemberian (gift) dan kerajinan tangan di samping tugas belajar yang dipilih, karena anak menikmatinya. Melalui bermain Fröbel, melatih kekuatan dan keterampilan jasmani yang dinikmati anak. Latihan melalui gerak badan cenderung berporos pada pengungkapan gagasan dan perasaan anak secara bebas. Pendidikan ini yang menjadi dasar pendidikan taman kanak-kanak.
2. Menyanyi, merupakan cara pokok untuk belajar.
3. Menggambar. Melalui menggambar anak sedang mengungkapkan gagasannya secara kelihatan dan lisan.
4. Memelihara tanaman atau binatang kecil dan beranjangsana.
5. Kesinambungan, dalam arti guru mengembangkan tugas belajar baru yang sesuai dengan pengalaman belajar sebelumnya.
Saya tak tahu apakah Ki Hajar Dewantara menganut metode Fröbel atau tidak. Tapi sebagai alumni Taman Siswa, saya menikmati sekolah yang menyenangkan.
Ki Hajar tidak menggunakan istilah sekolah, tapi menggunakan nama Taman: Taman Indria (TK), Taman Muda (SD), Taman Madya (SMP), Taman Dewasa (SMA/U) dan Taman Karya (STM/SMK).
Ki Hajar memakai istilah taman Indria untuk Kindergarten. Indria atau indera merupakan alat penghubung/kontak selang jiwa dalam wujud kesadaran rohani diri dengan material sekeliling yang terkait. Panca indera adalah lima alat penghubung diri dengan alam sekitar.
Fröbel dan Ki Hajar tampaknya punya semangat sama: pendidikan harus menyenangkan. Pendidikan adalah interaksi potensi diri dengan alam. Ngaji diri dan swakaji adalah metode efektif.
Ngaji diri adalah learning (belajar) tapi sekarang direduksi jadi schooling (sekolah). Schooling adalah bagian kecil dari learning. Tapi schooling lebih dihargai dalam kehidupan sekarang.
Dalam schooling swakaji kurang. Anak seperti narapidana. Dibebani tugas. Tidak dieksplorasi keunikan dirinya. Dipaksa menghafal. Siswa diseragamkan, bahkan di negara otoriter sangat diseragamkan.
Di Afrika Selatan zaman Apartheid, anak seperti bahan baku, sekolah adalah pabriknya. Produknya harus sama: menghamba rezim apartheid.
Grup band rock Pink Floyd mengritik keras apartheid. Mereka menulis lagu berjudul We don’t need no education. Albumnya bernama “The Wall”. Ada lagu “Brick in the Wall” yang mengumpamakan anak bagai batu bata yang membentuk dinding kepalsuan yang kokoh.
Kembali ke kindergarten kita.
Ibu saya (sekarang usia 84), pernah jadi kepala sekolah Taman Siswa. Sekarang masih aktif sebagai ketua yayasan yang di antaranya membawahi belasan taman kanak-kanak di Jawa Barat, adalah penentang keras calistung dan pemaksaan hafalan.
Dia juga tak suka peniruan gaya wisuda-wisudaan. Ibu ingin agar TK betul-betul jadi taman bermain ngaji diri a la Fröbel.
Apakah taman kanak-kanak kita betul merupakan taman? Atau penjara kecil yang memaksakan kehendak kita orang dewasa tentang sosok orang pintar?
Apakah anak kita akan jadi another brick in the wall?
Teman-teman pendidik yang tahu.
Yang jelas, Sekolah Samin Odesa mau berjalan ke arah cita-cita ki Hajar dan Fröbel: ngaji diri sambil bermain, mengenal lebah, capung, bunga matahari.
Setiap anak adalah bibit unik yang harus tumbuh baik. Jangan sampai bibit ini layu karena orang yang lalu lalang tak peduli untuk menyiramnya. []
Sumber: odesa.id