Makna Hijrah: Pertobatan Sungguh-Sungguh dari Maksiat dan Dosa

Notification

×

Iklan

Iklan

Makna Hijrah: Pertobatan Sungguh-Sungguh dari Maksiat dan Dosa

Selasa, 11 Oktober 2022 | 10:43 WIB Last Updated 2022-10-11T03:45:20Z

 


Syaikh Ibn Aththaillah dalam kitab Al-Hikam berujar, “Ketahuilah, dalam maksiat terkandung sikap ingkar janji, memutuskan tali kasih, mengutamakan makhluk tinimbang Allah, ketaatan penuh pada hawa nafsu, tiadanya rasa malu, dan menentang Allah dengan melakukan sesuatu yang dibenci-Nya.”


Perbuatan maksiat yang sering kita lakukan, tentunya melahirkan dosa dan akan mengotori jiwa. Sebab, ketika kita bermaksiat, Allah dilupakan, dicuekin, dianggap sepele, dan seolah-olah tiada di dunia.


Seorang manusia memang kerap lupa dan banyak melakukan kesalahan. Tak heran, di dunia banyak sekali maksiat yang dilakukan, aturan Allah dilanggar, dan akhlak Rasulullah dicampakkan. Kita pun, dengan gagah dan sombong terus-menerus berkubang dengan perbuatan maksiat yang menyisakan kenikmatan sesaat.


Sebagai seorang mukmin, sejatinya kita harus kembali mengingat Allah dan aturan-Nya; mengingat kembali bahwa kita diciptakan ke muka bumi ialah hanya untuk beribadah kepada-Nya. 


Karena itu, ketika kita telah melakukan perbuatan maksiat, ada rasa suci mengalir yang memicu keinginan untuk membersihkan diri dari kemaksiatan. Dan, tobat ialah salah satu sarana yang mampu mengembalikanmu untuk kembali kepada kusucian atau kebersihan diri. 


Bertobatlah, kawan, seperti yang dilakukan oleh seorang sahabat Rasulullah Saw. dalam kisah di bawah ini, ketika tanpa sengaja di dalam hatinya terbersit niat untuk melakukan kemaksiatan. 


Seorang pemuda dari kalangan Anshar bernama Tsa’labah Ibn Abdurahman, diutus Nabi Muhammad Saw. untuk menyelesaikan suatu urusan. Di tengah perjalanan, dia melewati sebuah rumah. Tanpa sengaja, dia melihat seorang wanita Anshar yang sedang mandi.


Tsa’labah ketakutan dengan dosa ketika melihat seorang wanita tengah mandi, dan turun wahyu kepada nabi menyangkut perbuatannya itu. Maka dia pun kabur. Dia menuju sebuah gunung yang berada di antara Makah dan Madinah, dan terus mendakinya.


Selama 40 hari Nabi Saw. kehilangannya.


Lalu Jibril as mendatangi Nabi Saw. dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam buatmu dan berfirman kepadamu,” Sesungguhnya seorang laki-laki dari umatmu berada di gunung ini sedang memohon perlindungan kepada-Ku.”


Maka kemudian Nabi Saw. berkata,“Wahai Umar dan Salman! Pergilah cari Tsa’labah Ibn Abdurahman, lalu bawa kemari.”


Keduanya pun lalu pergi menyusuri perbukitan Madinah. Dalam pencariannya, mereka bertemu dengan salah seorang penggembala Madinah bernama Dzufafah.


Umar bertanya, “Apakah engkau tahu seorang pemuda di antara perbukitan ini?”


Pengembala itu menjawab, “Jangan-jangan yang engkau maksud seorang laki-laki yang lari dari neraka Jahannam.”

“Bagaimana engkau tahu bahwa ia lari dari neraka Jahannam?” tanya Umar.


Pengembala menjawab, “Karena apabila malam telah tiba, dia keluar kepada kami dari perbukitan ini dengan meletakkan tangannya di atas kepala sambil berkata, “Kenapa tidak cabut saja nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menantikan keputusan!”.


“Ya, dialah yang kami maksud.” Ujar Umar. 


Akhirnya mereka bertiga pergi bersama-sama. Ketika malam menjelang, keluarlah Tsa’labah dari perbukitan itu dengan meletakkan tangannya di atas kepalanya sambil berkata, “Kenapa tidak cabut saja nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menantikan keputusan!”.


Lalu Umar menghampirinya dan mendekapnya.


Tsa’labah berkata, “Wahai Umar! Apakah Rasulullah telah mengetahui dosaku?”


“Aku tidak tahu, yang jelas kemarin beliau menyebut namamu, lalu mengutus aku dan Salman untuk mencarimu.”


Tsa’labah berkata, “Wahai Umar, jangan kau bawa aku menghadap beliau, kecuali ia dalam keadaan shalat.”


Ketika mereka menemukan Rasul tengah melakukan Shalat, Umar dan Salman segera mengisi shaf. Tatkala Tsa’labah mendengar bacaan Nabi Saw, ia tersungkur pingsan. Setelah Nabi mengucapkan salam, beliau bersabda, “Wahai Umar! Salman! Apakah yang telah engkau lakukan terhadap Tsa’labah?”


Maka Rasulullah berdiri dan menggerak-gerakan Tsa’labah yang membuatnya tersadar. Rasul Saw berkata kepadanya, “Mengapa engkau menghilang dariku?”

Tsa’labah menjawab, “Dosaku, ya Rasulullah!”


Beliau mengatakan, “Bukankah telah kuajarkan kepadamu suatu ayat yang dapat menghapus dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan?”


“Benar, wahai Rasulullah!”


Rasulullah Saw bersabda, “Katakan ya Tuhan kami, berikanlah kami sebagian di dunia dan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa api neraka.”


Tsa’labah berkata, “Dosaku wahai Rasulullah sangat besar.”


Beliau bersabda, “Akan tetapi kalamullah lebih besar.”


Kemudian Rasul menyuruh Tsa’labah agar pulang ke rumahnya. Di rumahnya ia pun jatuh sakit selama delapan hari.


Mendengar Tsa’labah sakit, Salman pun datang menghadap Rasulullah dan berkata “Wahai Rasulullah, masihkah engkau mengingat Tsa’labah? Dia sekarang sedang sakit keras.”


Singkat kata, Rasulullah datang menemuinya dan meletakkan Tsa’labah di pangkuannya. Akan tetapi Tsa’labah menyingkirkan kepalanya dari pangkuan beliau.


“Mengapa engkau singkirkan kepalamu dari pangkuanku?” tanya Rasulullah.


“Karena penuh dengan dosa, “jawabnya.


Beliau bertanya lagi, “Bagaimana yang engkau rasakan?”


“Seperti dikerubuti semut pada tulang, daging dan kulitku,” jawab Tsa’labah.


Beliau bertanya, “Apa yang engkau inginkan?”


“Ampunan Tuhanku, “ Jawabnya.


Maka turunlah Jibril dan berkata, “Wahai Muhammad. Sesungguhnya Tuhanmu mengucapkan salam kepadaku, dan berfirman kepadamu, “Kalau saja hamba-Ku ini menemui aku dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, niscaya Aku akan ampuni dia dengan ampunan sepenuh itu pula.”


Maka segera Rasulullah memberitahukan hal itu kepadanya. Begitu mendengar berita itu, terpekiklah Tsa’labah dan langsung ia meninggal dunia.

Lalu Rasulullah memerintahkan agar Tsa’labah segera dimandikan dan dikafani. Ketika selesai dishalatkan, Rasul berjalan sambil berjingkat-jingkat. 


Setelah selesai pemakamannya, para sahabat bertanya, “Wahai Rasul, kami melihat engkau berjalan ambil berjingkat-jingkat.”


Beliau bersabda, “Demi Zat yang telah mengutus aku sebagai seorang nabi yang sebenarnya, aku berbuat seperti itu karena banyaknya malaikat yang menziarahi Tsa’labah.”


Kisah Tsa’labah tadi memberikan pelajaran berharga bagi kita. Betapa sosok pemuda yang di dalam hatinya dipenuhi keimanan akan merasa bersalah dan berdosa ketika dia mendapatkan kesempatan untuk berbuat maksiat.  


Seorang mukmin, dirinya takut akan terjatuh ke dalam lembah maksiat dan dosa. Dia tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya di akhirat kelak, bila sebuah kesalahan yang terjadi karena kelalaiannya itu mendapat murka Allah.


Tsa’labah ialah generasi muda yang hatinya dipenuhi keimanan sehingga dia merasa ketakutan akan apa yang telah diperbuatnya. Dia merasa malu bila kesalahannya diketahui nabi dan mendapatkan teguran Allah lewat wahyu. 


Sikapnya merupakan contoh yang baik untuk kita teladani dalam menjalani kehidupan yang serba individualis, modern, dan bebas tanpa aturan saat ini. 


Kadang menilai buruk perbuatan orang lain lebih mudah kita lakukan. Sebab, sebagai manusia, kita seringkali tidak terbiasa mengoreksi diri sendiri secara objektif. 


Kita lebih lihai mencari kelemahan dan kesalahan orang lain dibandingkan melakukan muhasabah atas diri sendiri seperti dikatakan pepatah lama, “Semut di sebrang lautan mudah kelihatan, tetapi Gajah di pelupuk mata tak kelihatan.”


Setiap perbuatan maksiat bisa mengotorimu dengan noda dan dosa. Ketika kita nggak bertobat, maka dosa tersebut akan menumpuk sehingga sangat sulit dibersihkan. Alhasil, kita akan dimasukkan sebagai seorang manusia yang mendapatkan murka Allah di akhirat nanti. ***[SAB]