Muhammad SAW: Dia Nabi, Dia Manusia

Notification

×

Iklan

Iklan

Muhammad SAW: Dia Nabi, Dia Manusia

Sabtu, 08 Oktober 2022 | 13:34 WIB Last Updated 2022-10-08T08:40:00Z


Oleh: HUSEIN JA’FAR AL HADAR, Kreator konten keislaman, Magister Tafsir-Qur’an UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


NUBANDUNG.ID - Tanggal 12 Rabiulawal adalah hari kelahiran manusia bernama Muhammad bin Abdullah yang kelak menjadi nabi dan rasul di usia 40 tahun. Maulid Nabi Muhammad ini kemudian kerap kali menjadi momentum pengisahan dan perenungan tentang Nabi Muhammad dalam perspektif teosentris-esoterik. 


Bahwa dia hamba sekaligus utusan Tuhan yang dikaruniai berbagai keagungan batin yang memukau, wahyu dari Tuhan, hingga kemukjizatan yang suprarasional. Termasuk tentang momentum kelahirannya yang monumental hingga kehidupannya yang penuh keajaiban. Cerita-cerita itu mengisi mimbar-mimbar Maulid Nabi Muhammad di kampung-kampung hingga gedung-gedung.


Itu tentu menarik dan signifikan untuk meneguhkan posisi Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan. Namun, ia cenderung bersifat subjektif, yakni bagi kita yang mengimaninya.


Oleh karena itu, dalam tradisi sarjana Barat, seperti Will Durant hingga Karen Armstrong, ketika berbicara atau menulis tentang Nabi Muhammad, mereka menggeser perspektifnya pada ranah antroposentris-eksoterik agar eksplorasi dan elaborasinya bisa lebih objektif. Yakni tentang dia yang manusia biasa dengan capaian yang luar biasa dalam peradaban dan kemanusiaan.


Aspek ini tak kalah menarik dan penting. Sebab, memang begitulah Tuhan memperkenalkan Nabi Muhammad dalam surah Al-Kahfi ayat 110 bahwa dia bukan hanya utusan Tuhan yang menerima wahyu, tapi juga manusia biasa seperti kita. 


"Muhammadun basyarun laa kal-basyar; (Nabi) Muhammad itu manusia biasa meski tak seperti manusia biasa,” tulis para penyair dan ulama tentang Nabi Muhammad.


Aspek antroposentris-eksoterik ini signifikan lantaran, pertama, tentu untuk melengkapi khazanah tentang Nabi Muhammad agar tak hanya teosentris-esoterik seperti telah dieksplorasi secara masif dalam tradisi ulama dan sarjana muslim. 


Ini sekaligus meneguhkan posisi Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi semesta alam), yakni dengan diperkenalkan juga sosok Nabi Muhammad dalam aspek yang bisa diterima secara universal, bukan hanya oleh seorang muslim.


Kedua, sebagaimana diurai oleh para penafsir dan sejarawan, seperti Ibnu Katsir dan lain-lain, bahwa hal itu sebagai peneguhan bahwa yang diterimanya tersebut memang adalah wahyu dari Tuhan, bukan karangan dia sendiri. 


Sebab, meski manusia biasa, dia mampu berbicara tentang apa yang ada di atas langit dan kedalaman samudra, yang saat itu belum dijamah oleh manusia mana pun yang karenanya mustahil itu dari diri Nabi Muhammad sendiri, melainkan informasi dari Tuhan.


Ketiga, untuk meneguhkan posisi Nabi Muhammad sebagai teladan bagi seluruh manusia sebagaimana menjadi salah satu visi utamanya yang diteguhkan dalam surah Al-Ahzab ayat 21. Bahwa apa yang diajarkannya adalah relevan untuk manusia biasa seperti kita. 


Dan tak ada alasan bagi kita untuk tak meneladaninya dengan dalih bahwa Nabi Muhammad bisa lantaran dia seorang nabi dan kita manusia biasa.


Keempat, bahwa Islam adalah ajaran kemanusiaan, bukan hanya ketuhanan. Islam tidak hanya mengajarkan bagaimana menyembah Tuhan (hablum min-Allah), tapi juga bagaimana menjadi manusia yang baik di muka bumi (hablum min-annas).


Oleh karena itu, sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad, ’pun ketika seorang Arab datang kepada Nabi di Makkah saat masa awal dakwah Nabi dan mempertanyakan identitas Sang Nabi, maka Nabi menjawab dengan pesan yang cenderung antroposentris-eksoterik, bukan hanya teosentris-esoterik. 


”Siapa engkau?” kata orang Arab itu. 


”Saya pembawa pesan Tuhan,” jawab Nabi. 


”Siapa yang mengirimmu?” tanyanya lagi.


”Allah Yang Mahakuasa,” jawab Nabi kembali. 


”Pesan apa yang kaubawa dari-Nya?” tanyanya terakhir. 


Nabi menjawab, ”Menjunjung ikatan kekeluargaan, mencegah pertumpahan darah, memberikan rasa aman, menghancurkan berhala, dan mengajak menyembah Tuhan Yang Maha Esa.” 


Pesan Nabi tersebut memosisikan nilai antroposentris-eksoterik lebih dominan dan disebutkan lebih awal. Lalu kemudian dua pesan teosentris-esoterik.


Secara praktis juga Nabi memang meneladankan diri bukan hanya sebagai utusan Tuhan, tapi juga pribadi yang sempurna sebagai manusia (insan kamil) dalam berbagai aspeknya. Bahkan, Nabi sebagai manusia biasa yang luar biasa ini lebih dulu dikenal oleh khalayak Arab pada saat itu dengan gelar ”Al-Amin” (Yang Dipercaya).


Diriwayatkan, bahkan musuh dan pembencinya pun kalau menitipkan harta kepada Nabi karena terjamin amanahnya. Sehingga dikisahkan bahwa saat harus hijrah karena desakan musuhnya di Makkah, Nabi masih menitipkan amanah titipan orang-orang Arab yang bahkan sebagian mereka adalah pengusirnya itu kepada Sayidina Ali untuk dikembalikan amanah itu kepada pemiliknya masing-masing.


Dalam isu keluarga, riwayat Imam Turmudzi, Nabi katakan bahwa yang terbaik di antara kita adalah yang paling baik pada keluarganya dan ia adalah yang terbaik pada keluarganya. Terkait isu buruh, Nabi memperkenalkan dirinya sebagai orang yang pernah mencium telapak tangan buruh sebagai bentuk apresiasi, menyebut kerja buruh sebagai jihad, serta mewajibkan muslim memberikan gajinya sebelum keringatnya kering. 


Pada aspek lingkungan, Nabi dikenal sebagai orang yang begitu bijaksana pada lingkungan. Misalnya melarang merusak lingkungan meski dalam keadaan perang sekalipun dan mengajak menanam meski andai besok pun akan kiamat.


Terkait isu perempuan, Nabi berkhotbah di haji terakhirnya bahwa kesetaraan hak perempuan adalah salah satu visi utama Islam yang harus terus dijaga dan diperjuangkan dalam peradaban manusia. Dan, dalam kemanusiaan, Nabi dikenal sebagai orang yang berdiri ketika mayat seorang Yahudi lewat di depan masjidnya sebagai bentuk penghormatan kepada mayat Yahudi itu. 


Dan ketika salah seorang sahabatnya memberi tahunya bahwa itu mayat seorang Yahudi, Nabi katakan bahwa bukankah ia juga manusia yang harus kita hormati. Karena siapa yang bukan saudara dalam satu agama, maka ia adalah saudara dalam satu kemanusiaan.


Daya tawar agama, dalam hal ini Islam, sebagai pandangan dunia (world view) bagi pembangunan peradaban masa kini dan ke depan inilah yang kian perlu didorong untuk dieksplorasi dan dipromosikan semakin kuat di tengah tantangan besar terhadap peradaban dunia oleh isu-isu lingkungan, teknologi, hak asasi manusia, dan sebagainya. 


Di mana posisi agama masih cenderung dicurigai dan pada aspek serta level tertentu memang masih terlihat sebagai sumber masalah karena ulah para oknumnya, alih-alih agama menjadi solusi bagi masalah.


Oleh karena itu, Maulid Nabi Muhammad sudah sepatutnya menjadi titik perenungan dan pemberangkatan kita untuk memosisikan Nabi sebagai inspirasi dan teladan bagi kerja-kerja konkret bagi peradaban dunia. 


Seorang muslim tidak hanya tepersonifikasi sebagai pribadi dengan kesalehan ritual yang baik, tapi juga kesalehan sosial yang revolusioner. Agar Sang Nabi terasa hadir di sini dan saat ini, bukan hanya di sana dan saat itu. 


Sumber, Jawa Pos  7 Oktober 2022