NUBANDUNG.ID - Penghulu Bandung Haji Hasan Mustapa (1852-1930) termasuk orang Sunda yang pertama-tama menulis kajian etnografi Sunda.
Bila melihat-lihat daftar naskah koleksi Universiteit Bibliotheek Leiden, kita dapat menjumpai beberapa naskah etnografis karangan Hasan Mustapa, yaitu Boekoe Adat-adat di Prijangan djeung salijana di tanah Djawa (Cod. Or. 6474, 1910), Boekoe Adat-adat Soenda/Bab Adat-adat Oerang Priangan djeung Soenda Lianna ti eta (Cod. Or. 7695, 1913), dan Boekoe Leutik Pertelaan Adatna Djalma-djalma di Pasoendan (Cod. Or. 7689, 1916).
Dari ketiga naskah itu, dua di antaranya sudah dibukukan menjadi Bab Adat2 Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti Eta (1913) dan Boekoe Leutik Djadi Pertelaan Adatna Djalma2 di Pasoendan (1916). Bahkan Bab Adat2 sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh R.A. Kern menjadi Over de Gewoonten en Gebruiken der Soendaneezen (1946).
Proses Haji Hasan Mustapa menulis naskah etnografi Sunda dijelaskan oleh Jajang A Rohmana dalam dua karyanya, yakni Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-surat Haji Hasan Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje dalam kurun 1894-1923 (2018) dan Melempar Jala Menangkap Berita: Surat-surat Haji Hasan Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje pada Masa Perang Aceh 1893-1895 (2022).
Dari dua buku Jajang, saya jadi tahu naskah Boekoe Adat-adat di Prijangan djeung salijana di tanah Djawa ditulis Hasan Mustapa pada 30 Saban 1328 atau 5 September 1910. Gagasan penulisannya konon terilhami saat membantu mengumpulkan data etnografis Aceh untuk Snouck Hurgronje (1857-1936) yang kemudian dibukukan menjadi De Atjehers (1893-4). Termasuk saat menemani Snouck berkeliling Jawa untuk mengumpulkan folklor dan naskah, sebelum Hasan Mustapa menjadi penghulu kepala di Aceh.
Secara rinci, penulisan Boekoe Adat-adat versi panjang dan pendek mengemuka dalam surat-surat Hasan Mustapa kepada Snouck tanggal 23 Februari 1911, 15 April 1911, 27 Januari 1912, dan 13 September 1912 (Rohmana, 2018: 82-97). Pada surat tanggal 23 Februari 1911, mengemuka tentang naskah adat istiadat Sunda setebal 550 halaman karangan Hasan Mustapa yang hendak disalin. Naskahnya di Hazeu sudah disalin ulang. Snouck menghendaki agar para penghulu memperhatikan kajian adat istiadat Sunda. Hasan Mustapa ternyata saat itu sudah menulis dua versi naskah adat-istiadat Sunda, yaitu yang panjang dan pendek. Kedua naskah akan dikirimkan kepada Snouck.
Pada tanggal 15 April 1911 Hasan Mustapa mengabarkan bahwa naskah adat-istiadat yang diminta Snouck sudah dikirimkan dan ia tidak mau menerima upah penulisannya. Dalam surat 27 Januari 1912, ia mengabarkan naskah yang diminta Snouck telah dikirimkan melalui Hazeu. Konon, versi panjangnya dapat dijadikan contoh karangan tentang adat-istiadat daerah lain. Sedangkan pada surat 13 September 1912, dapat kita ketahui bahwa karangan panjang Hasan Mustapa telah diterima Snouck di Leiden, sementara karangan pendeknya tidak dijelaskan sampai atau tidaknya, serta upahnya belum diterima.
Dari daftar karangan di atas, kita tahu versi panjang naskah Hasan Mustapa dibukukan menjadi Bab Adat2 Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti Eta pada tahun 1913 atau setahun kurang setelah naskahnya diterima Snouck di Leiden. Sementara versi pendeknya dibukukan tahun 1916 oleh anaknya, yaitu Lembana Wignjadisastra, menjadi Boekoe Leutik Djadi Pertelaan Adatna Djalma2 di Pasoendan.
Bila dibaca secara teliti, ternyata dalam Bab Adat2 Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti Eta (1913: 147) Hasan Mustapa menyertakan mitos yang dipercaya orang Bandung terkait dengan keberadaan ular yang mendiami dasar Curug Dago. Keterangan Hasan Mustapa diberikan dalam catatan kaki untuk menjelaskan tentang sebelum tahun 1860 ada geger di Garut, karena seorang gembala menceritakan tentang kerbaunya yang dapat berbicara.
Terkait Curug Dago, Hasan Mustapa menulis begini: “Tepi ka ajeuna oge tatjan eureun, anoe boga tahajoel dedengean paribasa: dina tjoeroeg anoe sanget; malem djoemaah aja sora menak anoe miwarang nabeuh gamelan, ger tatabeuhan sada noe karia; kitoe deui omongan: dina dasar Tjoeroeg Dago aja oraj keur tapa ngarengkolan inten, sagede koeroeng titiran, koe noe kawenehan sok kapanggih”.
Artinya, hingga saat ini (kepercayaan di antara kalangan penduduk) belum berhenti, yaitu terhadap takhayul (berupa) ungkapan peribahasa bahwa di curug yang seram pada malam Jum’at ada suara bangsawan yang menyuruh menabuh gamelan, kemudian terdengar tabuhan gamelan seperti orang yang punya hajatan. Demikian pula dengan omongan orang bahwa di dasar Curug Dago ada ular yang sedang bertapa dan melingkari intan sebesar sangkar perkutut. Orang (hanya) dapat menjumpainya (secara) tidak sengaja.
Dengan demikian, secara umum, orang Bandung, paling tidak antara 1860 hingga tahun 1910, saat naskah ditulis Hasan Mustapa masih menyakini bahwa ada curug atau air terjun yang mengandung kekuatan gaib sehingga dapat menimbulkan keseraman, kengerian dan kekuatannya hanya dapat dijumpai oleh orang yang secara kebetulan melihatnya. Di antara curug yang mengandung kekuatan gaib itu, menurut Hasan Mustapa, adalah Curug Dago. Konon, di dasar Curug Dago ada seekor ular yang sedang bertapa dan seakan mengerami intan sebesar sangkar perkutut.
Namun, Hasan Mustapa menegaskan bahwa setelah orang-orang (Bandung) ramai menggunakan aksara dan tulisan Arab, Belanda, dan Jawa, tidak ada yang menimbulkan anggapan yang membuat ketakutan (“Ngan ajeuna2 sanggeus rame aksara2 toelisan2 Arab, Walanda, Djawa, henteu aja noe boga djidjieunan matak sieun”).
Dengan pernyataan tersebut, Hasan Mustapa mau menyatakan bahwa melek huruf, kecakapan membaca dan menulis, atau dengan kata lain saat orang Sunda mendapatkan pendidikan, akan menyebabkan orang tersebut dapat berpikir logis sehingga bisa menangkis hal-hal yang magis atau irasional. Tidak percaya lagi kepada hal-hal yang di luar nalar.
* Peminat literasi dan budaya Sunda.
Keterangan foto: Dua karangan Haji Hasan Mustapa yang bertalian dengan adat-istiadat orang Sunda, terbitan 1913 dan 1916. Sumber: Atep Kurnia