Spirit Mudik dan Idul Fitri di Hari Kartini

Notification

×

Iklan

Iklan

Spirit Mudik dan Idul Fitri di Hari Kartini

Jumat, 21 April 2023 | 10:07 WIB Last Updated 2023-04-27T03:09:33Z

 




Sopaat R Selamet, pemerhati sosial budaya


NUBANDUNG.ID—Di tengah suasana jelang lebaran ini, sempat penulis menerima kiriman meme: “NU dan Muhammadiyah” sama merayakan tanggal 21 April 2023 sebagai Hari Kartini.


Insyaallah, Jumat 21 April 2023 merupakan hari Idul Fitri–bagi kalangan Muhammadiyah berdasarkan hisab hakikinya. Sementara itu, penganut tafsir mutlak rukyat akan merayakannya (kemungkinan) pada Sabtu 22 2023.


Artinya, Muhammadiyah, NU, dan lainnya berlebaran Idul Fitri sama yakni pada 1 Syawal–menurut keyakinan masing-masing.


Terlepas dari itu, mudik dan Idul Fitri memiliki spirit yang sejatinya punya hikmah yang bisa diresapi. Meskipun berbeda hari lebaran Idul Fitri, mereka tetap menjalankan mudik. Mereka sama-sama pula sangat merindukan bertemu keluarga, sanak saudara, sahabat, dan tetangganya.


Idul Fitri 1444 Hijriah atau 21 April 2023 Masehi ini ada kejadian unik. Pertama, Kamis 20 April didahului dengan peristiwa besar kekuasaan Allah: Gerhana Matahari hybrid.


Tanggal 21 April–bagi yang merayakannya–Idul fitri berbarengan dengan peringatan Hari Kartini. Atau bersamaan dengan masa-masa H-1 mudik bagi yang ber-Idul Fitri hari Sabtu.


Marilah kita sejenak menenangan hati dan pikir. Sekilas merenung antara Hari Kartini, Idul Fitri, dan budaya mudik. Tampaknya tiga kata kunci, Kartini, Idul Fitri, dan mudik memiliki spirit saling berkait.


Kartini yang diperingati 21 April merupakan sosok yang luar biasa kontribusinya bagi bangsa ini. Pemikiran dan sikapnya sebagai sosok emansipatoris, penggerak gerakan emansipasi yang cukup diperhitungkan sejak akhir abad 19 dan awal abad 20.


Pertama, Kartini bagi penulis, bukan sekedar penggerak emansipasi kaum wanita, melainkan emansipatoris rakyat Jawa (Nusantara) yang terjajah kolonial Belanda.


Pada usia remaja 17 tahun, pikiran dan suaranya lantang mengkritik kebijakan kolonial Belanda yang membiarkan rakyat bodoh terbelakang dalam aspek pedidikan. Terlebih kaum perempuan.


Kedua, aspek kebijakan politik ekonomi kolonial dikritisinya pula. Kartini mengkritik cara kolonial yang membiarkan rakyat rusak karena politik Candu (madat)–semacam peredaran narkoba di masa kini–sementara kolonial menikmati pundi-pundi uang emas (gulden) yang hasilnya melimpah.


Ketiga, kebijakan politik kolonial yang membiarkan rakyat petani tetap miskin khususnya di Pantura (pesisir utara Jawa Tengah) mendapat kecaman kritikan dari Kartini.


Bayangkan, usia Kartini masih 17 tahun (usia remaja), tetapi pemikiranya luar biasa. Jangan heran, Kartini meski dipingit justru menimba ilmu.


Beraktivitas literasi menyerap buku-buku yang mencerdaskannya. Keunggulan pemikiran dan sikap Kartini ini mendobrak dan mengkhawatirkan pemerintah kolonial Belanda.


Keempat, Kartini mengorbankan dirinya dan cita-citanya untuk studi ke Nederland. Bahkan rela dipoligami oleh suaminya yang bupati itu.


Penggerak emansipasi wanita, yang dianggap gerakan feminis ini, tetapi justru mau hidupnya dimadu (dipoligami).


Bukan untuk menikmati kesenangan dirinya, tetapi demi memuluskan cita-citanya supaya kaum wanita berdaya menerima pendidikaan layaknya kaum pria.


Kelima, Kartini berpikir progresif untuk mencerdaskan umat Muslim di Jawa (Nusantara). Sebagai santrinya KH Saleh Darat, Semarang, Kartini berani “mengkritik” kiai yang juga guru ngajinya KH Ahmad Dahlan dan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari ini.


Kartini mengkritik bahwa Kiai Saleh Darat membiarkan rakyat Muslim tetap bodoh karena membiarkannya tidak memahami Al-Quran.


Bagaimana rakyat Muslim cerdas memahami ayar-ayat Al-Quran jika kitab sucinya tidak bisa dipahami karena tidak diterjemahkan?


Kritik Kartini ini menggugah Kiai Saleh Darat. Beliau pun menerjemahkan Al-Quran bahkan beberapa juz sudah diterjemahkannya dan dipersembahkan sebagai hadiah saat Kartini menikah.


Tepatnya sampai pada kalimat “…minazzulumati ilannuur.” Dari ujung ayat yang diterjemahkan inilah kemudian dikutip oleh kalangan sastrawan Indonesia dari buku suntingan bahasa Belanda, kemudian populer dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”.


Seolah-olah makna “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu merujuk pada nasib perempuan yang berada dalam kegelapan kemudian beralih kepada terang benderang cahaya keilmuan (pendidikan).


Sebuah penafsiran yang benar, tetapi keliru, tidak tepat. Makna “Habis Gelap Terbitlah Terang” tersebut merujuk kepada emansipatoris bagi kaum Muslim di Jawa yang sebelumnya berada dalam kebododohan. Pasalnya mereka tidak paham ayat-ayat Al-Quran berganti kepada alam cahaya terang benderang karena penerjemahan Al-Quran.


Itulah esensi makna Hari Kartini. Makna kesejatian manusia beriman (umat Islam) yang tercerahkan karena esensi cahaya Al-Quran.


Spirit berbagi

Kepedulian Kartini pada orang lain, kehidupan sosial rakyat, dan umat pada zamannya menunjukkan memang manusia itu makhluk sosial yang harus berjiwa peduli sosial dan berjiwa filantrofi.


Sikap demikian ini pula yang terkandung dalam makna terdalam “tradisi mudik”. Ya, mudik bukan sekedar ritus budaya kosong makna. Mudik bukan sekedar bermakna unjuk kesuksesan hidup di perantauan kepada keluarga, saudara, dan temannya di kampung.


Namun, mudik bermakna spirit berbagi terhadap sesama, bukankah hadis Nabi SAW menyatakan “khairukum anfa’uhum linnasi“ (orang terbaik di antaramu adalah yang paling bermanfaat bagi sesama).


Itulah hikmah di balik puasa satu bulan Ramadan yakni melahirkan manusia yang mampu berbagi kepada sesama. Manusia yang mampu meruntuhkan mental egois (nafsu serakah).


Puasa sejatinya dilakukan setiap hari di luar bulan Ramadan. Kemampuan mengendalikan diri dari hawa nafsu keserakahan, baik nafsu syahwat perut, seksual, ataupun syahwat kekuasaan.


Puasa menumbuhkan kesadaran spiritual bahwa kehidupan material itu harus dikendalikan seperlunya saja. Karena hakikat hidup harus naik ke langit mentalitas jiwanya (sebagai makhluk langit), tetapi tetap bisa membumi dengan berbagi pada sesama.


Mudik adalah simbol kerinduan untuk kembali kepada akar mula diri. Bersilaturahim dan “sungkem” kepada orangtua khususnya ibu adalah sejatinya. Karena ridha Allah bergantung pada rida orangtua–khususnya bunda tercinta.


Mudik pula bermakna berbagi menebar rezeki kepada sesama–menghidupkan nilai ekonomi sekitar. Mudik pun bernilai kepedulian penuh kasih sayang kepada anak-anak dan saudara.


Dengan mudik dan berbagi mengajarkan bahwa materi hanyalah kesementaraan dalam hidup. Sebab hidup hakikatnya mencari nilai semata. Semua materi akan ditinggalkan pada saatnya.


Hidup hanyalah seperti perantauan saja. Oleh karena itu, kembali kepada Allah sejati harus menggembirakan karena kesiapan diri dengan bekal yang cukup.


Tentu hal ini bisa diraih kembali kepada Sang Mahasuci, Sang Parading Dumadi, Allah, Dialah yang awal dan akhir. Jika sebagai makhluk langit yang membumi ini–kita bisa mensucikan diri.


Karena yang Mahasuci hanya bisa didekati dengan kesucian diri. Apalagi penyatuan diri. Kembali kepada kesejatiaan inilah yang diajarkan selama sebulan puasa Ramadan.


Ämpunan atas dosa-dosa membuat manusia jadi suci kembali. Ya, kembali kepada sunatullah, keterbukaan, dan kesucian diri (fitrah).


Bukankah itu yang diajarkan selama Ramadan? “Man shama ramadhana imanan wahtisaban ghufira lahu maa taqaddama min zhanbihi“ (siapa yang puasa Ramadan dengan dasar iman dan perhitungan [ilmu] niscaya diampuni dosa-dosa masa lalunya).


Kesucian diri dampak spirit Ramadan hanya bisa diperoleh jika sudah mampu mengendalikan diri. Memupus karakter nafsu serakah (individualis).


Naik derajat hidup untuk memberi dan mengabdi pada Allah dengan wujud menghapus rasa lapar hamba-Nya. Memberi pakaian menutupi aurat hamba-Nya. Memberikan kegembiraan dan senyuman hamba-hamba-Nya.


Bagaikan ulat yang semula menjijikan mengandung racun bermetamorfosis mengubah karakter dirinya menjadi makhluk kupu-kupu yang indah dan bermanfaat bagi penyerbukan: memberikan kontribusi bagi kesuburan kehidupan. Wallahuálam bishawab.