Menag tanam Matoa saat launching Gerakan Penanaman Sejuta Pohon. foto: pendis
NUBANDUNG.ID -- Di tengah berbagai isu perubahan iklim, deforestasi masif, dan krisis keanekaragaman hayati, dunia dihadapkan pada kenyataan bahwa pendekatan teknokratis semata tidak cukup untuk menyelamatkan bumi. Krisis lingkungan bukan hanya soal teknologi, tetapi lebih dalam : soal nilai, spiritualitas, dan relasi manusia dengan alam. Di sinilah pentingnya pendekatan ekoteologi sebuah perspektif yang memadukan nilai-nilai keagamaan dengan etika lingkungan hidup.
Salah satu gerakan yang layak diapresiasi sebagai wujud nyata dari ekoteologi adalah Gerakan Menanam Satu Juta Pohon Matoa, yang tidak hanya ditujukan untuk tujuan ekologis semata, melainkan juga sebagai bagian dari transformasi nilai spiritual ke dalam praktik nyata keberlanjutan. Gerakan ini menjadi relevan, kontekstual, dan sekaligus strategis ketika diletakkan dalam kerangka kebijakan Asta Protas Kementerian Agama Republik Indonesia, yang digagas oleh Agh. Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A Menteri Agama RI.
Ekoteologi : Menghijaukan Iman, Memanusiakan Alam
Ekoteologi merupakan pendekatan yang mencoba memahami krisis ekologi dari sudut pandang teologis. Menurut teolog seperti Sallie McFague dan Leonardo Boff, krisis ekologi adalah konsekuensi dari hilangnya pemaknaan spiritual terhadap alam. Bumi dipandang sebagai sumber daya (resources), bukan sebagai ciptaan Tuhan (creation) yang sakral dan harus dihormati. Dalam perspektif Islam, misalnya, manusia adalah khalifah fil ardh (QS. Al-Baqarah: 30) pemelihara bumi, bukan perusaknya.
Dengan pendekatan ini, menanam pohon bukan sekadar kegiatan lingkungan, tapi juga ritus ekologis ibadah dalam wujud kepedulian terhadap sesama makhluk. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad SAW, “Jika hari kiamat datang dan di tanganmu ada bibit pohon, maka tanamlah ia” (HR. Ahmad). Hadis ini bukan sekadar metafora, melainkan pesan transendental bahwa merawat kehidupan adalah perintah agung dalam agama.
Matoa : Antara Simbol Lokalitas dan Harapan Ekologis
Pemilihan pohon matoa (Pometia pinnata) sebagai ikon gerakan ini bukan hanya karena nilai ekologisnya yang tinggi, tetapi juga makna simboliknya. Matoa adalah tanaman asli Indonesia Timur yang kini mulai terpinggirkan oleh tanaman komoditas asing. Dengan menanam matoa, gerakan ini tidak hanya menghijaukan bumi, tetapi juga melestarikan identitas ekologis dan keanekaragaman hayati lokal.
Secara ekologis, matoa adalah tanaman yang adaptif, berumur panjang, dan mampu menyediakan keteduhan serta meningkatkan kualitas udara. Akar-akar matoa yang kuat berfungsi mencegah erosi, sementara kanopinya menyerap karbon dioksida (CO2) dan menyumbang oksigen (O2). Secara ekonomi, buahnya bernilai jual tinggi dan bisa menjadi sumber pendapatan masyarakat sekitar. Dengan kata lain, menanam matoa adalah investasi jangka panjang: ekologis, sosial, dan ekonomi.
Asta Protas dan Ekoteologi: Sinergi Spiritualitas dan Kebijakan Publik
Kementerian Agama RI di bawah kepemimpinan Ag. Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A telah meluncurkan Asta Protas delapan program prioritas transformasi layanan keagamaan. Salah satu dimensi penting dari Asta Protas adalah penguatan moderasi beragama, integrasi nilai agama dengan pembangunan berkelanjutan, dan pengarusutamaan green religiosity dalam pelayanan publik.
Gerakan menanam pohon matoa dapat dibaca sebagai bentuk operasionalisasi dari Asta Protas, khususnya dalam konteks green religion movement. Artinya, keberagamaan tidak hanya berbicara tentang dimensi doktrinal, tetapi juga menyentuh praktik nyata dalam melindungi ciptaan Tuhan. Asta Protas memberi legitimasi dan arah strategis agar institusi keagamaan tidak abai terhadap isu lingkungan.
Dalam jangka panjang, gerakan seperti ini dapat menjadi bagian dari eco-policy berbasis spiritualitas, yaitu kebijakan publik yang mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dalam perencanaan lingkungan, pendidikan agama, serta penguatan kapasitas umat. Hal ini penting karena akar dari krisis ekologi juga terletak pada cara berpikir manusia yang materialistik dan antroposentris. Spiritualitas ekologis mampu mereformasi cara pandang tersebut.
Gerakan Lintas Sektor : Menanam Harapan Bersama
Keunggulan gerakan ini juga terletak pada sifatnya yang kolaboratif. Gerakan menanam pohon matoa tidak berjalan di ruang kosong, melainkan melibatkan beragam pihak seperti pesantren, sekolah, perguruan tinggi keagamaan, komunitas lintas iman, tokoh adat, pemerintah daerah, bahkan sektor swasta. Model kolaboratif ini membuktikan bahwa ekologi adalah isu lintas batas bukan milik satu agama, satu komunitas, atau satu lembaga.
Dengan semangat partisipatif tersebut, gerakan ini tidak hanya menghasilkan penghijauan fisik, tetapi juga membangun kesadaran ekologis kolektif. Nilai inilah yang menjadi fondasi penting untuk memastikan keberlanjutan program. Sebab, yang lebih penting dari menanam pohon adalah menanam kesadaran.
Dari Bibit Menjadi Peradaban
Gerakan menanam satu juta pohon matoa adalah lebih dari sekadar aksi penghijauan. Ia adalah gerakan kultural, spiritual, dan ekologis yang menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang utuh. Melalui semangat ekoteologi dan kebijakan Asta Protas, gerakan ini memperlihatkan bahwa agama tidak pernah absen dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan.
Dalam setiap bibit yang ditanam, terkandung harapan, bahwa bumi bisa pulih, bahwa manusia bisa berubah, dan bahwa keberagamaan bisa membumi harfiah dan maknawi. Mari tanam matoa, dan tanamkan pula nilai-nilai keimanan yang menghijaukan bumi dan menumbuhkan peradaban.
Gerakan Menanam Satu Juta Pohon Matoa bukan sekadar aksi hijau ia adalah narasi baru tentang bagaimana iman dan ilmu dapat berjalan seiring untuk merawat bumi. Di tengah derasnya arus globalisasi dan degradasi lingkungan, gerakan ini menjadi pengingat bahwa agama memiliki peran strategis dalam membentuk kesadaran ekologis masyarakat.
Melalui pendekatan ekoteologi yang diarusutamakan dalam Asta Protas Kementerian Agama RI, kita melihat potensi besar integrasi spiritualitas dalam kebijakan publik. Ini bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi juga menanam nilai, membangun budaya, dan menata kembali hubungan manusia dengan alam dalam kerangka keberagamaan yang holistik.
Semoga gerakan ini menjadi teladan bagi banyak inisiatif serupa di masa depan. Karena pada akhirnya, masa depan bumi sangat ditentukan oleh sejauh mana kita, umat beragama, mampu menjadikan iman sebagai pijakan dalam menjaga kehidupan.
Ibrahim Nur A, Mahasiswa Doktoral LPDP BIB Kemenag RI