NUBANDUNG.ID -- Kebangkitan suatu bangsa merupakan proses multidimensional yang ditandai oleh kesadaran kolektif, budaya unggul, kemajuan teknologi, pendidikan bermutu, dan kemandirian ekonomi yang berakar pada nilai-nilai religius yang mapan. Banyak teori pembangunan yang membentangkan ini, seperti Modernization Theory, Dependency Theory, dan pendekatan Human Development.
Bangkitnya suatu bangsa bukan sekadar ditandai oleh pembangunan fisik atau pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih dalam dari itu, ia menyentuh dimensi kesadaran, nilai, ilmu, dan integritas. Ketika kepemimpinan memiliki visi kolektif, budaya bangsa menjadi daya saing, ilmu pengetahuan menjadi poros kemajuan, dan religiositas menjadi kekuatan moral, maka kebangkitan sejati tengah berlangsung. Namun, bagaimana posisi Indonesia dalam lanskap global? Bagaimana kita belajar dari negara lain yang lebih dahulu bangkit?
Kesadaran Kolektif dan Kepemimpinan
Kebangkitan nasional dimulai dari collective awakening antara pemimpin dan warga. Indonesia pascareformasi mengalami lonjakan partisipasi politik, namun belum sepenuhnya terinstitusionalisasi menjadi budaya kritis dan produktif. Dibandingkan dengan Singapura yang dibangun melalui visi kepemimpinan teknokratik, Indonesia masih berkutat pada pergulatan antara kepentingan elite dan aspirasi rakyat.
Sementara itu, Jerman dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa stabilitas dan kualitas kepemimpinan membawa perubahan struktural jangka panjang. Kepemimpinan di negara-negara ini berbasis pada meritokrasi dan kapasitas kelembagaan yang kuat, bukan sekadar popularitas.
Budaya Unggul sebagai Modal Sosial
Kebudayaan bukan sekadar warisan, tetapi juga fondasi mental untuk bersaing dan bertahan. Budaya kerja keras, disiplin, dan keterbukaan pada inovasi merupakan ciri budaya unggul di negara-negara maju. Jepang dan Jerman menjadikan budaya presisi, efisiensi, dan keteraturan sebagai nilai bersama.
Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi tantangan pada nilai budaya kerja kolektif yang konsisten. Tantangan budaya korupsi, pragmatisme sempit, dan rendahnya kepercayaan sosial menghambat terciptanya budaya unggul. Hal ini menunjukkan pentingnya pembangunan karakter dan mentalitas, sejalan dengan gagasan nation character building.
Pendidikan dan Teknologi sebagai Poros Kebangkitan
Pendidikan dan inovasi teknologi menjadi motor utama dalam teori pembangunan modern. Dalam Modernization Theory yang dikemukakan oleh Rostow, pendidikan dan industrialisasi adalah prasyarat untuk mencapai tahap "drive to maturity". Negara-negara seperti Korea Selatan, Jerman, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa investasi dalam pendidikan tinggi dan riset menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Indonesia, meskipun memiliki sistem pendidikan besar secara kuantitatif, masih rendah dalam aspek kualitas, pemerataan, dan relevansi terhadap industri. Global Innovation Index menempatkan Indonesia di bawah negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Hal ini menunjukkan perlunya transformasi pendidikan berbasis riset dan teknologi lokal.
Ekonomi Mandiri dan Adil
Dalam Dependency Theory, negara berkembang seperti Indonesia sering kali terjebak dalam ketergantungan struktural terhadap negara maju, seperti ekspor bahan mentah, utang luar negeri, dan dominasi korporasi global. Ini berbeda dengan model pembangunan negara seperti Jerman dan Amerika Serikat yang menumbuhkan industri berbasis teknologi dan pasar domestik yang kuat.
Vietnam menjadi contoh sukses pembangunan ekonomi dengan tetap mengontrol arah kebijakan industri dan investasi asing. Indonesia dapat belajar dari sini, membangun kemandirian ekonomi bukan dengan menutup diri, tetapi mengatur relasi global secara cerdas dan adil.
Kemapanan Beragama sebagai Fondasi Moral
Bangsa yang maju tidak harus sekuler dalam arti menghapus agama dari ruang publik, tetapi justru mengakui agama sebagai sumber nilai moral, integritas, dan tanggung jawab sosial. Agama di Eropa dan Amerika menjadi nilai privat yang berperan dalam filantropi, etika kerja, dan toleransi.
Indonesia memiliki keunggulan spiritual yang kuat, namun religiositasnya masih sering terperangkap dalam simbolisme dan konflik sektarian. Agama harus dimaknai sebagai kekuatan pemersatu dan pendorong etos keilmuan serta keadilan sosial. Sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW:
"إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق"
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Malik dan Ahmad).
Indonesia memiliki potensi untuk bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar dunia. Kebangkitan itu perlu upaya bersama: Pemimpin dan rakyat bersatu dalam kesadaran dan tanggung jawab sejarah; Budaya unggul dibangun melalui sistem nilai, bukan hanya retorika; Pendidikan dan teknologi dijadikan prioritas mutlak; Ekonomi diarahkan pada kemandirian dan pemerataan; Dan agama dijadikan kekuatan moral, bukan alat politik sektarian.
Kita melangkah melampaui teori dan sejarah bangsa lain, menuju realisasi bangsa Indonesia yang bangkit karena dirinya sendir, bangkit dengan kesadaran, ilmu, dan akhlak.
S. Miharja, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung