Menyelamatkan Masa Depan Milenial: Hentikan Obsesi Memiliki Rumah di Kota Besar

Notification

×

Iklan

Iklan

Menyelamatkan Masa Depan Milenial: Hentikan Obsesi Memiliki Rumah di Kota Besar

Jumat, 08 Agustus 2025 | 07:49 WIB Last Updated 2025-08-08T00:49:14Z


NUBANDUNG.ID --Saya baca berita dari Pikiran Rakyat Kamis (7/8/2025). Ditulis jurnalis Dewiyatini. Berita itu menyebut semakin banyak orang yang tidak memiliki rumah. Istilah teknis backlog perumahan, yaitu selisih kebutuhan rumah warga kota, dengan kemampuan menyediakan rumah.

Mengapa? Ya karena harga tanah makin mahal, otomatis harga rumah makin mahal. Untuk konteks Bandung Raya, pengembang akan makin merambah gunung. Hutan jadi kompleks perumahan. Banjir akan terus melanda kota. 


Generasi milenial, Gen Z dan Gen Alpha akan makin sulit memiliki rumah. Kalau bisa dapat, lokasinya jauh dari tempat dia bekerja. Dia harus berangkat jam 5 pagi, pulang malam. Keluarga banyak ditinggal.


Itukah profil masa depan anak cucu kita?

Itukah situasi kota yang akan terjadi?


Selama bertahun-tahun, rumah selalu diasosiasikan dengan kemapanan. Orang tua kita dahulu membujuk agar kita segera memiliki rumah sendiri: sebagai investasi, tempat aman jika sakit, modal menikah, bahkan jaminan hari tua. Namun kini, budaya memiliki rumah tapak di kota besar sudah tidak relevan lagi.


Harga rumah di kota besar seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, dan sejenisnya, telah melonjak jauh dari jangkauan pendapatan mayoritas generasi milenial. Bahkan untuk rumah subsidi sekalipun, cicilan dan DP-nya masih terasa memberatkan. Maka pertanyaannya: apakah masih masuk akal mendorong generasi muda membeli rumah di tengah kota?


 Rumah Tak Lagi Jadi Investasi Ideal


Di masa lalu, rumah memang berfungsi sebagai tabungan atau warisan. Tapi sekarang? Banyak rumah di Bandung, termasuk di kawasan “elite”, dijual bertahun-tahun tanpa ada pembeli. Harga turun, tapi tetap tak laku. Contohnya, ibu saya sendiri berusaha menjual rumah lama di daerah Bandung atas, tapi tak kunjung terjual. Uang dari hasil penjualan itu rencananya dipakai untuk menghabiskan masa pensiun dengan keliling dunia. Tapi pasar rumah sudah tak seperti dulu lagi.

Ada pula tetangga yang menjual rumah, belasan tahun sampai sekarang belum laju, sampai beliau wafat. Padahal rencananya ingin umroh dan healing ke luar negeri. Aset itu kini jadi sengketa waris anak-anaknya.


Fungsi rumah sebagai “jaminan hari tua” juga semakin tergantikan. Kini ada BPJS, asuransi kesehatan swasta, dan berbagai instrumen investasi modern seperti saham, obligasi, peer-to-peer lending, dan lain-lain. Jika tujuan memiliki rumah adalah untuk investasi atau jaminan hidup, banyak alternatif yang lebih likuid dan fleksibel.


Dripada mempertahankan narasi ketinggalan zaman soal “kepemilikan rumah”, pemerintah seharusnya berfokus pada penyediaan rumah sewa vertikal yang layak, terjangkau, dan terintegrasi. Inilah waktunya membangun kota dengan pendekatan 15-Minute City—konsep kota di mana penghuni bisa bekerja, belanja, berobat, berolahraga, dan bersosialisasi dalam jarak 15 menit berjalan kaki.


Bayangkan rumah susun atau apartemen sewa jangka panjang yang:

• Terhubung langsung dengan stasiun LRT, kereta lokal, atau halte bus

 • Dilengkapi fasilitas: mall kecil, klinik, lapangan olahraga, taman, perpustakaan, pengolahan sampah, dan sanitasi modern.

 •  Memiliki kontrak sewa jangka panjang (10–50 tahun) untuk stabilitas keluarga


Hunian semacam ini bukan mimpi. Sudah dilakukan di Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan sebagian Eropa. Mereka tahu: kota bukan tempat untuk menumpuk aset properti, tapi tempat tinggal bersama yang harus ditata adil dan efisien.


Kita tidak perlu membuka kawasan baru. Di Bandung Raya saja, ada ratusan hektare lahan kosong bekas pabrik dan kompleks tua yang bisa diubah menjadi kawasan hunian vertikal: 

Di Cimahi, terdapat lebih dari 200 hektare lahan bekas industri yang bisa direvitalisasi. Di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Sumedang juga banyak lahan eks-pabrik. Saya belum punya datanya. Tapi pasti luas.


Lahan eks-Palaguna di Jl Asia Afrika bisa disulap menjadi apartemen dengan tiga menara vertikal. Di bawahnya ada mall sedang, co-working space, ada klinik. Perpuustakaan di alun-alun yang sekarang kosong itu bisa diaktifkan. Anak-anak bisa baca buku, dan ada program literasi anak di situ. Penghuninya bisa berjalan kaki ke Masjid Raya, makan malam di Braga, atau bekerja di pusat kota. Mobilitas rendah emisi, kualitas hidup tinggi. Kita hanya perlu mengaktifkan ruang-ruang mati yang selama ini terbengkalai. Generasi milenial tak akan tersisih dari pusat, kota. Mereka hidup di pusat kota.


Milenial tak butuh sertifikat, mereka butuh kepastian hidup. Pemerintah perlu keluar dari jebakan statistik “backlog perumahan” yang hanya menghitung kekurangan unit rumah berdasarkan kepemilikan. Yang dibutuhkan generasi milenial dan gen Z bukan sertifikat, tapi akses pada hunian layak, murah, dan terhubung dengan aktivitas ekonomi.

Milenial tak perlu aset dengan memiliki rumah yang sulit dijual, tapi perlu aset yang cepat cair. Mereka ingin keliling dunia, piknik, menikmati kota-kota besar dunia tanpa harus menunggu rumahnya laku.


Saatnya kita berani mendobrak mitos lama: memiliki rumah bukan satu-satunya jalan menuju masa depan. Justru dengan menyediakan alternatif hunian sewa vertikal berkualitas, kota bisa menjadi tempat tinggal yang manusiawi dan berkelanjutan.

Kota itu untuk dihuni, bukan untuk dimiliki.


Budhiana Kartawijaya, untuk Bandung Regeneration.