NUBANDUNG.ID -- Toleransi Muslim terhadap non-Muslim dapat dikelompokkan ke dalam lima tingkatan kualitas, mulai dari tidak membahayakan (dilarang menyakiti atau mendzalimi) hingga berbuat baik dan tolong-menolong (dalam kebaikan dan taqwa, tanpa merusak akidah), dengan tingkatan di antaranya adalah hidup rukun, menghargai keberadaan, dan saling menghormati dalam aspek kemanusiaan.
Pertama. Menyalahkan Tanpa Ilmu
Muslim menyalahkan non-Muslim, menyerang apalagi membencinya, tanpa ilmu. Asal ngomong, hanya bermodal semangat. Ketika diserang balik oleh nonis, mereka kalah atau tak punya jawaban. Ini level kesadaran terendah sikap Muslim pada non Muslim.
Kedua. Toleransi Salah Kaprah
Muslim menghormati penganut agama lain dan ingin memperlihatkan penghormatannya dengan toleransi beragamanya yang tinggi tapi salah kaprah. Atas nama toleransinya itu, dia kebablasan sampai ikut upacara² agama non-Islam, melanggar prinsip "lakum dînukum waliyadîn."
Ini level lebih tinggi dari yang pertama, tapi masih rendah, lumayan ada argumentasinya tapi tidak terbimbing. Ini kaum "bablasiyuun ...". Biasanya, sikap kebablasannya itu bukan berdasar ilmu tapi sebagai sikap protes, kekesalan pada kaum takfiri yang mudah mengkafirkan non Muslim. Jadi, dasarnya emosi bukan argumentasi.
Ketiga. Toleransi Menghormati
Muslim menghormati, menghargai perbedaan agama dan keyakinan non-Muslim tanpa ikut campur pelaksanaan agamanya. Mengamalkan "lakum dînukum waliyadîn." Ini lebih tinggi dari level kedua tapi level umum, level pergaulan biasa, termasuk kaum akademisi.
Disinilah level acara-acara "dialog antar iman," "dialog antar agama," tanpa misi untuk meyakinkan kebenaran Islam atau tak punya kemampuan mendakwahkan dan menjelaskan kebenaran Islam sebagai agama yang benar pada nonis. Tujuan dialog antar iman atau antar agama itu, hanya untuk toleransi beragama saja tanpa harus merasa paling benar.
Keempat. Toleransi Mengajak pada Keselamatan
berusaha mendakwahkan kebenaran Islam pada nonis, berusaha menyadarkan mereka melalui obrolan, diskusi atau dialog yang baik dan argumentatif (wajādilhum billati hiya ahsan). Dalam pergaulan dan persahabatannya, tidak berteman biasa, tapi terus berusaha meyakinkan kebenaran Islam agar rahmatul lil 'alamin-nya dirasakan oleh mereka. Dia kasihan pada teman-temannya yang nonis.
Bagi kelompok ini, tidak ada formalitas "dialog antar iman" atau "dialog antar agama," yang ada adalah harus menjelaskan kebenaran Islam, harus memberikan penyadaran sebagai tugas dakwah.
Toleransi bagi kelompok ini bukan saling menghormati pemeluk agama yang berbeda (itu toleransi umum) tapi mengajaknya kepada Islam supaya imannya selamat. Itulah hakikat toleransi bahwa kebenaran Islam jangan dipeluk sendiri tapi ajak orang lain yang belum menemukan kebenaran agar sama-sama selamat dihadapan Tuhan kelak dengan memeluk agama yang benar.
Ini level lebih tinggi dari yang ketiga. Ini wilayahnya mereka yang diberi kelebihan oleh Allah SWT untuk menjelaskan kebenaran Islam. Bila mereka ustadz, umumnya bukan ustadz biasa, bukan ulama biasa, karena tak semua ustadz dan ulama sanggup memikul tugas ini, sanggup menarik nonis menjadi Muslim, sanggup menyadarkan non-Muslim mengakui dan membenarkan Islam.
Tugas ini kebanyakan diberikan Allah kepada para mualaf untuk mengajak kaumnya masuk Islam karena bahasa mualaf dan pengalaman mereka dalam pencarian kebenaran, lebih mudah diterima oleh kaumnya ketimbang oleh Muslim by birth (Muslim kelahiran).
Kelima. Toleransi Membaca Hati
Muslim yang tahu bahwa dan bisa membaca bahwa orang-orang nonis tertentu sedang mencari kebenaran dan akan mudah menerima Islam. Dia tahu, nonis-nonis tertentu akan mudah diislamkan karena mereka tak punya pegangan atau meragukan agamanya sendiri. Kemudian mereka pun diajak kepada Islam dengan tak susah payah, atau diajak kepada Islam dengan cara-cara tertentu yang tak umum, tak perlu dialog ilmiah yang rumit dan melelahkan. Ini wilayah tertinggi, wilayahnya para waliyullah yang diberikan kemampuan oleh Allah SWT bisa membaca isi hati manusia.*
Moeflich Hasbullah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Sunan Gunung Djati.