NUBANDUNG.ID -- Tasawuf dan lelaku spiritual para sufi kerap kali diidentikkan dengan asketisme dan berbagai dimensi spiritualitas, padahal jika ditilik dari asal-usul dan konteks dinamikanya, ia memiliki dimensi lain yang jauh lebih luas dalam sistem kehidupan.
Tasawuf adalah "metode berfikir" dan perilaku yang kerapkali (dianggap) berseberangan dengan cara berfikir dan berperilaku "mainstream". Mula-mula ia memerankan diri sebagai "oposisi" atas perilaku penguasa yang "glamor", tidak peka, dan jauh dari perilaku "religius".
Dalam tasawuf ada lelaku yang disebut "tabaki" yang artinya menangis. Para penempuh jalan sufi (salik) kerapkali "menangis" meratapi dosa dan kesalahan, menangis takut dosanya tidak diampuni, atau menangis karena cemas ibadahnya tidak diterima.
Para salik menangis karena mampu "hudur", menghadirkan, flashback, mengingat, mengakui dosa dan kesalahan di masa lalu, kemudian taubat dan bertekad untuk berubah dan istiqamah dalam kebaikan.
Dalam konteks isu hari ini, "tabaki" dan "huduri" layak menjadi terapi wajib para elit dan penguasa agar mereka mampu hudur, "menghadirkan" kesusahan dan penderitaan "wong cilik", sehingga tersadar, lalu “tabaki”, menangis, merasakan betapa beratnya kehidupan fakir miskin papa, betapa besarnya tanggungjawab yang harus diemban oleh seorang pemimpin, bukan justru sebaliknya, jumawa menuntut fasilitas, terlena dalam gelak tawa, menebar pesona harta dan gembira di sosial media, di tengah banyak rakyat yang menderita.
Pada konteks lain, tasawuf hadir sebagai "kritik" atas paradigma hukum yang sangat kaku, represif, bahkan "kejam". Hukum selalu hadir dengan narasi sanksi dengan Wajah Tuhan yang "garang". Tasawuf justru hadir dengan pendekatan "cinta", bahwa kasih sayang Tuhan melampaui kemarahan-Nya. Bahwa hukum hadir untuk (kepentingan) manusia, bukan hukum untuk Tuhan atau hukum untuk hukum itu sendiri.
Dalam bentuk yang lain, tasawuf juga dapat menampilkan wajah yang "tegas" dan berani serta mampu menggerakkan perlawanan secara fisik dan politik.
Semangat perlawanan tasawuf banyak dicatat dalam jejak sejarah. Pangeran Diponegoro, menurut Peter Careys—sejawaran Universitas Oxford, penulis "Babad Dipanagara", adalah seorang pengikut tarekat, Diponegoro pembaca setia kitab tasawuf. Syeikh Yusuf Al-Makassari, Tuanku Imam Bonjol, Kyai Abbas Buntet Cirebon, Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dan para pemimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda adalah pemimpin dan pengamal tarekat.
Bukan hanya di Indonesia, beberapa tokoh perlawanan dari beberapa negara, seperti Imam Syamil dari Unisoviet (Rusia), Omar Mokhtar dari Libya, Badiuzzaman Said Nursi dari Turki, termasuk yang populer belakangan ini, Ismail Haniyeh, Kepala Biro Politik HAMAS yang gigih dan syahid melawan Zionis Israel, mereka adakah orang-orang yang dalam hidupnya aktif bersinggungan dan banyak dipengaruhi oleh prinsip dan ajaran tasawuf.
***
Di depan pusara Syaikh Ahmad At-Tijani, pendiri Tarekat At- Tijaniyyah, di tengah pasar kota Fes Maroko yang ramai dengan hiruk pikuk manusia yang sibuk dengan urusan materi dan duniawi, aku tersadar bahwa tasawuf bukan hanya tentang spiritualitas pribadi, tetapi juga jalan hidup yang menginspirasi dan energi perlawanan terhadap segala bentuk tirani.
Tasawuf tidak hanya mengajarkan tentang spiritualitas, tenggelam ber-asyik ma'syuk dengan Tuhan-nya, namun juga mengajarkan tentang pentingnya mengenali dirinya dan peduli pada kondisi sosial sekitarnya. Seseorang yang memiliki kesadaran diri (self awareness) yang baik, akan memiliki kepekaan rasa untuk memahami orang lain, dan memahami situasi sekitarnya, akan lebih mudah mengendalikan emosi dan ber-empati, salah satu lelaku penting dalam tasawuf.
Berbekal spiritualitas dan kesadaran sosial tersebut, seorang pengikut tasawuf aktif dalam berbagai diskursus ekonomi, sosial, bahkan politik, dan menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kebebasan dan keadilan bagi masyarakat sekitarnya, dengan "tasawuf" sebagai sumber inspirasi dan amunisi-nya.
Aku tercenung di depan pusara Syekh Ahmad At Tijani, pendiri Tarekat At- Tijaniyyah, di sudut "old market" Kota Fes Maroko, di tengah riuhnya berita demontrasi Gen-Z Maroko dan demontrasi serupa di beberapa negara yang nyaris mencapai titik didih—Dengan melantunkan sholawat Fatih, aku berharap energi tasawuf kembali menguat, untuk meluruskan orientasi hidup yang semakin kering, mengingatkan manusia yang kehilangan kemanusiaannya, melawan pasar yang tidak adil, mengingatkan elit yang bebal, dan menjadi oposisi atas negara yang dikepung kartel.
Fes Maroko, 06102025
Tatang Astarudin, Aktivis Sosial, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Pimpinan Pesantren Universal Al-Islamy Bandung