Namun, kemurnian ide kerap kali dikotori nafsu, ego, dan obsesi pribadi sehingga penyusunan visi seorang pemimpin tak bisa dilepaskan dari muatan politis. Visi utama memang luhung dan luhur. Visi dan seorang pemimpin bagaikan dua sisi mata uang tak terpisahkan. Ketika seorang pemimpin hanya merancang visi berdasarkan ego kekuasaan, dapat dipastikan bahwa bangsa ini hanya akan menjadi tempat menciptakan eksploitasi destruktif.
Visi juga, saya pikir, mirip dengan gagasan sang Indonesianis, Benedict Anderson, ikhwal komunitas-komunitas terbayang (immagined communities). Sederhananya, istilah immagined communities, menggambarkan adanya kesatuan kolektif berbangsa dan bernegara. Dalam bahasa lain, menjadi seorang nasionalis adalah memimpin dengan visi yang jelas dan demi kesejahteraan rakyat. Ketika visi dilandaskan pada semangat ini, tentu saja harapan menciptakan sebuah masyarkat maju dan berkeadilan akan terwujud.
Kerja untuk rakyat
Ignas Kleden (2007) mengatakan, kalau demokrasi sebagai sistem politik, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat (bukan dari kalangan bangsawan), diawasi rakyat (bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyat (bukan untuk dirinya sendiri dan kelompok yang dekat dengan dirinya).
Disahkannya UU Pilkada yang mengembalikan pada pemilihan kepala daerah oleh DPRD tentunya tidak demokratis dan merampas hak politik rakyat. Dengan cara ini, kehadiran mereka sebagai anggota bangsa dan negara seolah menjadi tidak berarti apa-apa. Rakyat menjadi objek kebijakan tidak populis karena peran politik mereka digantikan oleh anggota DPRD yang “menghamba” dan mengekor kepentingan partai politik. Dalam perspektif negara maju, hal ini merupakan wujud dari bangkitnya kekuasaan yang tidak murni mengatasnamakan rakyat.
Kita tahu, bahwa ketidakpekaan atas realitas kerakyatan para anggota dewan mengakibatkan di masyarakat tersebar persepsi: “politik itu kotor”. Padahal, kalau saja mereka lebih memperhatikan rakyat bukan saja saat kampanye, hal itu akan melahirkan kedekatan emosional dan kepercayaan antara warga dengan parpol karena saling memberi dan menerima (take and give). Dan, inilah yang disebut dengan “kampanye bukan tebar janji”; melainkan “tebar bukti kongkrit” yang dapat menjawab kebutuhan warga.
Secara historik, lahirnya parpol di wilayah negara-bangsa (nation-state) ialah untuk mewujudkan aspirasi publik dalam memeroleh kesejahteraan, kedamaian, dan kesentosaan hidup. Maka, dalam konteks kepolitikan, simpati rakyat merupakan tujuan inti (ultimate goal) yang menjadi latarbelakang pendirian parpol. Kendati jumlah parpol di negeri ini beragam, namun tujuannya seragam yakni berdiri untuk dijadikan semacam ruang aspirasi publik yang diperjuangkan demi terciptanya kemajuan bangsa dan Negara.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para anggota dewan dari Koalisi Merah Putih, karena itulah kita, sebagai rakyat, mesti bergerak menolak pemilihan kepada daerah oleh anggota DPRD. Pemilihan model begini, hendaknya disimpan ke dalam “tong sampah” tatkala dalam mengejawantahkan visi kepolitikan, bila saja memimpin itu ialah sebuah tugas suci mengabdikan diri kepada rakyat. Pemimpin itu ialah budak rakyat, yang mengabdikan diri pada kepentingan kerakyatan.
Empati pemimpinEmpati yang pasti hadir di dalam diri setiap pemimpin mestinya hadir ke permukaan alam sadar. Seorang pemimpin yang sadar atas realitas kemiskinan yang terjadi, misalnya, pasti akan merajut berjuta visi untuk kesejahteraan di masa depan. Kalau zaman pra-kemerdekaan, ketidaksejahteraan rakyat akan melahirkan semangat heroik “berani mati demi tanah air”; pasca kemerdekaan tentunya berubah menjadi “mencipta visi keadilan bagi negeri hingga mati”.
Kepentingan rakyat bagi seorang pemimpin merupakan keniscayaan tak nisbi, yang harus diprioritaskan dalam memajukan bangsa dan negara. Seorang pemimpin visioner ialah orang yang mampu membayangkan dan mewujudkan masa depan bangsanya menjadi sejahtera.Visinya tidak sekadar janji-janji kosong yang hanya memenuhi imajinasi warga.
O Jeff Harris, dalam buku People of Work (1976) mengatakan bahwa memilih seorang pemimpin harus mempunyai kualifikasi: kemauan memikul tanggung jawab, mampu memahami realitas kehidupan rakyat, mampu melihat persoalan secara objektif, mampu memprioritaskan sesuatu secara tepat, dan memiliki kemampuan berkomunikasi (verbal dan nonverbal).
Kualifikasi pemimpin di atas, lahir dari sebuah proses demokrasi, yang menempatkan kehendak rakyat untuk memilih secara langsung. Memang secara finasial, untuk menemukan pemimpin ideal tersebut sangat besar. Akan tetapi, pilihan rakyat akan menentukan arah kebijakan mereka karena lahir dari keputusan rakyat. Merebaknya kemiskinan, pengangguran, amoralitas, korupsi, kolusi, dan nepotisme; mengindikasikan lemahnya jiwa kerakyatan dalam diri pemimpin.
Dengan pemilihan langsung oleh rakyat, akan menjadikan kejelasan visi setiap pemimpin yang menempatkan rakyat sebagai tujuan kebijakan. Namun, ketika UU Pilkada yang menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada anggota DPRD, ini namanya bukti dari matinya visi kerakyatan di Indonesia.