Ada Bagian dalam Kekayaanmu

Notification

×

Iklan

Iklan

Ada Bagian dalam Kekayaanmu

Jumat, 30 Oktober 2020 | 08:22 WIB Last Updated 2022-09-09T01:43:05Z


“Cinta yang berlebihan terhadap harta dan kedudukan dapat
mengikis agama seseorang”
(HR. Ath-Thusi).


Posisi harta bagaikan boomerang. Tanpa kepiawaian menggunakannya, akan berakibat fatal bagi sang pemilik. Mungkin kita pernah mendengar bahwa Qarun ditenggelamkan bersama hartanya? Mungkin juga pernah mendengar Fir’aun menjadi sombong karena memiliki harta dan kekuasaan? Atau pernah menyaksikan sendiri tetangga kaya raya di kampung sibuk mengumpulkan harta sampai lupa kepada tetangganya yang miskin? 

 

Bahkan, pernah mendengar barangkali kalau ada orang kaya yang pergi ke Mekkah untuk berhaji sampai beberapa puluh kali, tapi melupakan tetangga miskin?

Bagi mereka harta adalah segalanya. Tidak sadar bahwa harta adalah pemberian Allah kepada hamba-Nya yang rajin berusaha. Akibatnya, mereka terlena dengan kekayaan duniawi dan tidak mampu bersyukur atas segala pemberian-Nya. Syukur adalah salah satu bentuk laku dan kata untuk meluapkan rasa terima kasih kepada sang pemberi kekayaan, Allah Swt. Dengan memberikan hak fakir miskin yang ada di dalam harta, sebetulnya kita sedang bersyukur.

Memberikan pertolongan kepada fakir miskin tidak akan membuat kita menjadi miskin. Malahan akan berlipatganda, sebab dirinya terus termotivasi mencari harta agar bisa ber-zakat, infaq atau shadaqah. 

Kalau kita analogikan, memberikan sebagian dari harta (zakat, infaq dan shadaqah) untuk orang miskin seperti kita akan memakan pisang. Kulitnya harus kita kupas lebih dulu. Kemudian setelah dikupas, maka kita sudah boleh memakannya. Kalau pun di makan dengan kulit-kulitnya, kita lebih bodoh daripada monyet. Wong monyet juga kalau makan pisang dibuang dulu kulitnya.

Nah, menunaikan zakat, infaq dan sedekah adalah usaha membuang kulit di dalam harta kita. Kalau kita tidak ber-zakat, infaq dan sedekah sama dengan seseorang yang memakan buah pisang dengan kulit-kulitnya. Ini artinya, kita tidak boleh meniru Qarun yang rakus terhadap kekayaan sehingga tidak mau berbagi. Sebab, ketika kita tidak mau berbagi dengan orang lain, keserakahan itu akan menyebabkan berkurangnya amal, yang kelak akan mengantarkan kita memasuki neraka. 

 

Rasulullah Saw. bersabda: “Tiap muslim wajib bersedekah.”

Para sahabat kemudian bertanya: “Bagaimana kalau dia tidak memiliki sesuatu?.”

Nabi Saw. menjawab: “Bekerjalah dengan keterampilan tangan untuk kemanfaatan dirinya lalu bersedekah.” 

Mereka bertanya lagi: “Bagaimana kalau dia tidak mampu?”

Nabi Saw menjawab: “Menolong orang yang membutuhkan yang sedang teraniaya.”

Mereka kemudian bertanya kembali: “Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?.”

Nabi Saw menjawab: “Menyuruh berbuat ma'ruf.”

Tanpa pernah bosan mereka bertanya: “Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?”

Nabi Saw menjawab, “Mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan kondisi kemiskinan di Indonesia yang mengkhawatirkan, zakat, infaq dan sedekah adalah salah satu usaha mencegah kejahatan. Coba saja kalau orang kaya raya di negeri kita tidak diwajibkan zakat, infaq dan sedekah. Boleh jadi, akan muncul kecemburuan di lingkungan masyarakat hingga mengakibatkan merebaknya kejahatan. 

 

Pencurian, perampokan, dan penjabretan adalah salah satu dampak dari keserakahan seseorang. Selain itu, akan muncul juga kebencian warga miskin terhadap orang kaya kalau Islam tidak mengajarkan manusia untuk zakat, infaq dan sedekah.

 

Jadi, kalau hidup di dunia memiliki kelebihan harta; sebaiknya bersyukur dengan ber-zakat, infaq dan sedekah. InsyaAllah harta kita akan semakin berkah. Bertambah dan berlipat-lipat ganda kebaikannya. 

Dalam sebuah keterangan dijelaskan, tiap menjelang pagi hari dua malaikat turun ke bumi. Yang satu berdoa: "Ya Allah, karuniakanlah bagi orang yang menginfakkan hartanya tambahan peninggalan." Malaikat yang satu lagi berdoa: "Ya Allah, timpakan kemusnahan bagi harta yang ditahannya (dibakhilkannya)." (HR. Mutafaqun 'Alaih).

Jelas sekali bahwa hadits ini mengajarkan untuk memberikan hak warga miskin dalam harta kita sebagai bentuk rasa syukur terhadap-Nya. Sedekah dilakukan agar kita tersadar bahwa harta, kekayaan, dan jabatan harus dipergunakan secara arif dan bijaksana. Ejawantah dari syukur kita terhadap pemberian-Nya adalah dengan berbagi. 

 

Kalau saja kita bisa menangkap semangat dianjurkannya sedekah, niscaya akan menjadi kekuatan ekonomi bagi umat dan seluruh manusia. Sedekah diwajibkan untuk melepaskan diri dari hal yang bersifat material; baik harta, kekayaan, kesehatan, ataupun jabatan. Sebab, ketika kita masih terperdaya dengan kekayaan dan jabatan, saripati agama dalam diri akan meredup sehingga kita berubah menjadi manusia angkuh, serakah dan sombong. 


Sedekah, merupakan kekuatan ekonomi yang mampu memberi kehidupan kepada seluruh umat manusia menjadi berkah. Apalagi, sebagai bentuk syukur kita kepada-Nya, sedekah merupakan ladang kita beramal shaleh. Seandainya sedekah merupakan salah satu bentuk syukur kita terhadap nikmat-Nya, sudah pasti kita termasuk orang yang beriman.

 

Makanya, dalam suatu keterangan disebutkan bahwa syukur adalah sebagian dari iman, kemudian sebagian lagi adalah ridha. Apalagi kalau ada semacam pembiasaan ber-sedekah. Boleh jadi bentuk syukur orang kaya (zakat, infaq dan sedekah) bisa menjadi kekuatan ekonomi yang dahsyat.