Di perbatasan antara Banyuresmi dengan Wanaraja – kampung Sindangsari, Desa Cinunuk – hiduplah sebuah seni pertunjukan yang bernilai historis. Dari tahun 1910 hingga kini, seni pertunjukan tersebut kerap diadakan secara konsisten. “Surak Ibra” adalah nama dari seni pertunjukan yang dimainkan oleh puluhan orang (60) sampai seratus lebih itu.
Berikut ini saya informasikan tentang kesenian "Surak Ibra" yang dikutip dari wikipedia:
Surak Ibra, pada awalnya dikenal masyarakat Garut sebagai seni Boyongan atau Boboyongan yang menampilkan tokoh masyarakat yang bernama Pa Ibra (seorang pendekar silat yang memiliki kharisma di Garut). Akhirnya, Boboyongan tersebut oleh masyarakat dikenal sebagai Surak Ibra, konon sebagai penghormatan kepada Bapak Ibra.
Sekitar tahun 1910 seorang tokoh masyarakat bernama Bapak Eson mengembangkan Boboyongan dengan sebutan dari masyarakat sebagai Surak Eson. Namun setelah meninggal, Surak Eson tidak populer lagi, kembali ke Boboyongan dengan sebutan masyarakat sebagai Surak Ibra.
Pada masa lalu Surak Ibra dipertunjukan pada pesta-pesta di Garut, yang biasa dikenal sebagai "pesta Raja". Pada saat itu para dalem (bupati) Garut mengadakan hajatan. Dalam perkembangannya Surak Ibra sering ditampilkan dalam upacara hari-hari besar (khususnya hari Kemerdekaan Republik Indonesia).
Khususnya di desa Cinunuk, Garut, di mana banyak masyarakat berziarah ke makam Cinunuk, untuk meningkatkan rasa solidaritas dan menggalang persatuan antar warga. Maka pada tanggal 30 Mei 1910 di Kasepuhan Cinunuk terbentuk sebuah organisasi masyarakat yang bernama Himpunan Dalem Emas (HDE) yang turut serta ngamumule, melestarikan Surak Ibra.
Namun pada tahun 1948 HDE bubar, dengan pertimbangan bahwa Surak Ibra milik negara, maka sejak tahun 1948 pengelolaan Surak Ibra dilanjutkan oleh aparat desa sampai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, dari perkembangan Surak Ibra, dewasa ini Bapak Amo menjadi dikenal sebagai tokoh pewaris Surak Ibra. Di dalam pelbagai kegiatan, Bapak Amo selalu memimpin Surak Ibra dari Garut dan dipercayai masyarakat pendukung Surak Ibra sebagai sesepuh.
Surak Ibra dewasa ini telah menjadi seni pertunjukan khas Garut, selain tak ada di daerah lain, juga memiliki sifat fleksibel sebagai potensi seni kemas yang kolosal.
Sebagai putera daerah Garut, dan tanpa kebetulan mendengar kisah tentang kesenian ini dari beberapa generasi tua di kampung, saya merasa bangga. Garut, selain pernah menelurkan karya sastra fenomenal ikhwal kehidupan multietnik abad 19 (melalui novel berjudul Fatat Gorut), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1998 menjadi “Gadis Garut”.
Saya lupa lagi bentuk novel yang dikarang seorang Habib tersebut. Jelasnya, adalah kebanggaan tersendiri bagi saya karena lahir dari daerah yang disebut sebagai "kabuyutan" Sunda di masa kerajaan "baheula" ini. "Kabuyutan" ialah pusat pendidikan, pengajaran, dan kajian filsafat suku Sunda.
Bahkan, kata orang tua – mereka pasti mendengarnya dari orangtuanya juga – Situ Bagendit (di Banyuresmi, Garut) di awal abad 19 pernah menjadi tempat pavorit Ratu Belanda. Charlie Chaplin juga, kabarnya pernah singgah sebentar di daerah yang mendapatkan julukan "swiss van java" ini.
Kenapa Garut dinamai dengan "Swiss Van Java" oleh bangsa luar?
Tentunya ada beberapa kemungkinan. Bisa jadi warga Garut sangat ramah pada penjajah seperti halnya rakyat di Negara Swiss, yang cintai damai. Alamnya yang indah dan udara sejuknya mungkin yang menyebabkan Garut disebut "Swiss van Java". Wallahualam
Selain pemberontakan di Cimareme terhadap penjajahan bangsa Belanda, Garut juga banyak melahirkan kalangan cerdik yang dekat dengan kalangan penjajah. R Muhammad Musa, Hasan Musthafa, dan yang lainnya.
Mereka hanya mengambil kepintaran orang Belanda. Akan tetapi, saya yakin mereka masih memiliki sepercik perlawanan atas laku menjajah bangsa walanda ini.
"Surak Ibra" adalah potret perlawanan warga Garut terhadap Belanda dengan kemasan seni pertunjukan. Sekarang, seni pertunjukan ini mesti kita [warga Garut] pelihara bersama-sama.
Garut, seperti dibilang orang Arab, sang penulis novel Gadis Garut “bahwa disinilah tetesan surga itu ngeclak…”