Sudahkah Jadi Pendidikan Pancasilais?

Notification

×

Iklan

Iklan

Sudahkah Jadi Pendidikan Pancasilais?

Minggu, 21 Februari 2021 | 09:51 WIB Last Updated 2022-09-09T01:43:00Z




Realitas pendidikan bangsa seolah tak kunjung membaik. Cobalah kita tengok ke pelosok daerah. Dengan sangat mudah akan menemukan anak-anak usia sekolah yang bekerja guna meringankan beban orang tua. Ketika anak lain seusia dengannya sedang menikmati masa bermain dan berpendidikan, mereka harus rela menggadaikannya dengan meninggalkan sekolah. Memang tidak semua anak bangsa seperti ini.

Orang tua mereka resah dan gelisah menghadapi masa depan anaknya. Kendati sekolah hingga perguruan tinggi, kini hal itu tidak menjadi jaminan masa depan yang lebih baik sebab pemerintah belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak. Malahan, sejak abad 21 ini lahir istilah “pengangguran terdidik”, untuk menyebut masyarakat berpendidikan yang tak memiliki pekerjaan tetap. Tak heran sebagian warga miskin beralasan: menyekolahkan anaknya, tidak akan mengubah garis kemiskinan mereka. Jangan heran juga lahir pesimisme, “ngapaian sekolah” mending juga “bekerja membantu orang tua” daripada selepas sekolah tak kunjung mendapatkan kerja. 

Memang betul bila dana BOS dikucurkan, namun hal ini belum mengubah akses rakyat memeroleh pendidikan murah, mudah, dan berkualitas. Pasalnya, biaya tak mencukupi untuk membayar pendaftaran, bangunan; atau membeli seragam, tas, alat tulis dan buku. Inilah realitas pendidikan di negeri nan kaya raya, sekolah negeri (milik pemerintah) tidak lagi murah-meriah, lebih pas disebut sekolah mahal-meriah. Warga miskin terpinggir harus puas hanya dapat melanjutkan ke sekolah yang tak diperhitungkan, bahkan terkesan asal-asalan.

Selebihnya, tak banyak yang beralasan kalau melanjutkan sekolah guna memeroleh ilmu, meluaskan wawasan, dan membentuk diri menjadi manusia bijaksana. Bahkan hanya hitungan persen, yang mencoba mendirikan usaha mandiri. Di negeri ini – karena alasan biaya mahal – untuk dapat bertahan hidup, mereka rela membuang harapan futuristik sang anak, guna mengeluarkan keluarganya dari jerat kemiskinan dengan tidak bersekolah.

Pendidikan

Lantas, mau menjadi apa bangsa ini ke depan? Apabila sekolah tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang urgen. Mau menjadi apa bangsa ini di masa depan? Apabila kita merecoki ikhwal sistem pendidikan dengan standar Ujian Nasional (UN), tanpa memberikan rasa aman kepada warga Indonesia dengan menyediakan lapangan kerja. Terakhir, mau menjadi apa bangsa ini di masa mendatang? Apabila pemimpin negeri ini tak menempatkan pendidikan sebagai panglima peradaban.

Semangat belajar anak bangsa merupakan “daya gugah” yang mampu menciptakan stamina kebudayaan kita hingga peradaban di Indonesia menggeliat bangkit. Apalagi untuk anak-anak. Tentunya harapan dan keinginan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi mesti diakomodasi dan diaplikasikan secara praktis. Sebab, mereka adalah bagian dari bangsa yang sangat mengidamkan kebahagiaan hidup dan dipenuhi aneka penantian futuristik.

Orang yang puas dengan masa kini tidaklah memiliki penantian futuristik. Puas dengan kemiskinan, puas dengan kejumudan, puas dengan kondisi saat ini, saya pikir terkategori manusia konservatif. Mengapa demikian? Sebab, ia takut atas masa depan dan khawatir atas segala peristiwa yang terjadi. Ia lebih menyukai status quo dan mencoba mempertahankannya. Membiarkan mereka hanya menikmati kekayaan alam (SDA) tanpa bisa menikmatinya, adalah kejahatan terselubung. Karena itu, semestinya pemerintah  mulai mengevaluasi kinerja ketika gejala ketidakmerataan hak berpendidikan di pelosok meruak ke permukaan.

Jangan menjadikan vox vopuli vox dei (suara rakyat, suara Tuhan) hanyalah bualan sloganistis tak membumi ke dalam laku politik. Dalam konteks keindonesiaan tentunya masih banyak anak ndeso yang mengharapkan belas kasih yang tidak hanya tersimpan di racauan mulut. Fenomena seperti ini juga bagaikan gunung es, karena hanya terlihat bagian kecilnya saja. Padahal, jika ditelisik sampai ke seluruh wilayah di Indonesia, anak-anak yang bernasib sama (tidak mampu mengakses pendidikan) sangatlah banyak.

Bangsa yang mementingkan pendidikan anak-anaknya di atas kepentingan material telah memberikan ajaran etis “bagaimana mencari kerja”. Tidak seperti ajaran-ajaran dogmatis yang mencerca dosa tetapi melupakan inti moralitas dan etika dalam sebuah proses panjang pendidikan manusia. Ketika bangsa tak hanya menghafal pelajaran – melainkan hingga memahami – saya pikir terhampar masa depan indah gemilang di kehidupan mendatang anak-anak bangsa.

Pancasilais atau pancasialkah?

Daniel Dhakidae (1979) menulis, “Ideologi adalah alam pikiran, bukan sanjungan dalam madah puja-pujian. Ideologi adalah sikap dan prinsip hidup. Dan, sejarah menunjukkan bahwa hampir semua ideologi yang hidup di Nusantara bertumbuh dari jenis ideologi penantang, termasuk pancasila” (Jurnal Prisma, 08/08/1979). Dia menyimpulkan pancasila sebagai ideologi sejatinya terbenam dalam jiwa sehingga membentuk sikap dan prinsip hidup. Persoalan kini, pancasila ditetapkan sebagai ideologi NKRI-pemerintah, yang dicurigai hanya menempatkan butir-butir pancasila sebagai sesuatu yang patut dipuja-puji selangit. Tetapi mereka lupa: disamping puja dan puji, nilai yang dikandung pancasila luput dari kesadaran alam pikir.

Dalam bahasa lain, pancasila menjadi ideologi mapan, dan berhadapan dengan ideologi-ideologi yang terserak di Nusantara untuk menggulingkannya. Pada kalimat akhir, Daniel Dhakidae, menjelaskan bahwa secara historik, sebuah ideologi, termasuk pancasila, lahir karena ada gugatan dan penentangan rakyat atas ideologi mapan. Ini artinya, ketika pancasila telah menjadi bagian dari kemapaman, dan rakyat tidak merasa puas dengan efek samping bagi pejabat dalam bernegara, boleh jadi akan memicu kemunculan ideologi-ideologi baru.

Kasarnya, pancasila terancam menjadi seonggok landasan negara yang tersingkirkan dari negara, seperti halnya – dalam catatan historik – bahwa pancasila pernah menggulingkan ideologi kolonialisme kaum penjajah yang tengah berkuasa. Apabila pancasila tidak ingin terpinggir di negeri ini, para pemangku amanat negara wajib menjadikan pancasila sebagai landasan menerapkan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan bagi kalangan miskin.

W.S Rendra berteriak, “Siallah pendidikan yang aku terima” dalam bait-bait Sajak Gadis dan Majikan, “diajar aku berghitung, mengetik, bahasa asing, dan tata cara”. “Tetapi...” lanjutnya, “lupa diajarkan: bila dipeluk majikan dari belakang/lalu sikapku bagaimana!”. Dia melanjutkannya “Mereka ajarkan aku membenci dosa/ tetapi lupa mereka ajarkan bagaimana mencari kerja.” Karena itulah, jangan jadikan “pancasila” sebagai “pancasial” yang menutup potensi bangsa ini untuk merangkai masa depan. Pendidikan kalau hanya dijadikan projek kelompok atau pribadi, pantas disebut “pendidikan pancasialis”, bukan “pendidikan pancasilais”. Seperti dibilang Rendra, ajarkanlah “bagaimana mencari kerja” bukan “pokoknya gue harus kerja”.