“Deradjat kaoem iboe di tanah Arab zaman dahoeleoe orang telah mengetahoei boeroeknja. Orang perempoean disamakan dengan binatang ternak dan sesamanja. Pada zaman itoe orang Arab soedah djadi kebiasaannja memboenoeh anaknja jang keloear perempoean meskipoen ta’berdosa.” (Soeara Aisyiyah, No.1-4/ September 1929).
Di bawah ini saya sertakan ringkasan yang dihasilkan senior saya, Syafaat R Selamet, tentang kiprah Soeara ‘Aisyiyah dalam dunia pers. Semoga saja, hasil penelitian ini dapat menyadarkan bangsa atas peran perempuan pada masa prakemerdekaan sampai negeri ini merdeka.
Perkumpulan Aisyiyah adalah organisasi otonom Muhammadiyah yang bercita-cita memperbaharui aspek pemahaman dan pengembangan agama Islam di dalam masyarakat untuk dikembalikan pada ajaran Islam murni yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam rentang waktu 3 tahun (1917-1920), Aisyiyah bergerak menyertai gerakan Muhammadiyah.
Utamanya setelah bergerak di Pulau Jawa sejak tahun 1920. Aisyiyah mengalami perkembangan sangat pesat bukan saja di Yogyakarta. Tapi juga di luar itu. Terutama perkembangan ini setelah Kongres Muhammadiyah ke-11 tahun 1923 di Yogyakarta.
Pada kongres tersebut, setiap cabang dan groep Muhammadiyah wajib mengadakan bagian Aisyiyah, sehingga perkembangan organisasi perempuan Muhammadiyah ini semakin pesat. Anggota-anggotanya tidak saja gadis-remaja. Melainkan juga ibu-ibu rumahtangga.
Bahkan dua tahun setelah Aisyiyah berdiri (1919), Aisyiyah sudah merintis Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) semacam Play Group. Yang kemudian berkembang menjadi Taman Kanak-Kanak bernama TK Bustanul Athfal yang tersebar di seluruh Hindia Belanda. Selain itu pula mendirikan Siswo Proyo Wanito, sebuah perkumpulan murid-murid puteri di luar sekolah. Perkumpulan ini kemudian tahun 1930 berkembang menjadi Nasyi’atul ‘Aisyiyah (NA).
Tahun 1922 Aisyiyah berkembang pesat terutama di daerah kelahirannya. Kondisi ini mendorong pengurusnya untuk semakin intensif melakukan pertemuan, rapat-rapat persiapan untuk melakukan kegiatan-kegiatan. Aisyiyah berhasil mendirikan tempat pertemuan dan pendidikan khusus kalangan perempuan, yang dikenal dengan Masjid (Mushala) Isteri.
Sebagai satu-satunya Masjid Perempuan pertama di Indonesia. Mushala ini menjadi sentral kegiatan Aisyiyah dalam merencanakan kegiatan-kegiatannya. Dari sinilah muncul ide-ide baru untuk membuka amal usaha organisasi.
Setahun kemudian, Aisyiyah mengadakan pemberantasan buta huruf. Baik pemberantasan buta huruf Latin ataupun Arab. Upaya ini diharapkan dapat menghilangkan kebodohan, karena dengan membaca dan menulis, orang dapat menggali ilmui-ilmu yang bermanfaat.
Upaya buta huruf yang dilakukan Aisyiyah memberikan bukti bahwa Aisyiyah memang benar-benar berperan dalam memajukan bangsa. Setelah 9 tahun berdirinya, tahun 1926, Aisyiyah berkembang pesat. Aisyiyah mengiringi perkembangan Muhammadiyah selama 9 tahun (1917-1926).
Maka pada bulan Oktober tahun 1926 yang bertepatan dengan bulan Jumadil Akhir tahun 1345 H, Aisyiyah menerbitkan majalah organisasi yang bernama Soeara Aisyiyah.
Majalah organisasi yang sederhana, menggunakan bahasa daerah (bahasa Jawa). Dengan menerbitkan majalah ini berarti Aisyiyah benar–benar memahami perlunya alat komunikasi yang dengan cepat sampai kepada umat, karena pada waktu itu Aisyiyah sudah mulai berkembang jauh dari Yogyakarta.
Dengan demikian Aisyiyah dapat memberikan informasi kemajuan organisasi ataupun penjelasan–penjelasan kepada umat lewat media massa Majalah Soeara Aisyiyah tersebut. Majalah ini berisi tentang penyebaran agama Islam, misalnya, agar kaum wanita menutup aurat, memakai kerudung, menjauhi pergaulan bebas, menaati adat sopan santun keislaman, dan sebagainya.
Majalah ini juga dijadikan alat dakwah melalui media massa dan menjadi bacaan bagi ibu–ibu murid atau pengikut Aisyiyah Maghribi School (AMS).
Menarik dicermati, waktu itu belum ada sebuah penerbitan yang dikelola langsung oleh sebuah organisasi kaum wanita. Kalau pun ada sebelumnya yang bergerak dalam dunia pers, itu belum berbentuk organisasi dalam pengertian modern. Tetapi perkumpulan sederhana belum memiliki tata aturan organisasi, Anggaran Dasar dan Rumah Tangga serta Program Organisasi.
Misalnya koran Poetri Hindia (PH) yang terbit tahun 1908 itu karena dirintis RM. Tirto Adhi Soerjo, bukan oleh sebuah organisasi wanita.
Disinilah letak keistimewaan gerakan pena yang digagas ’Aisyiyah, di mana organisasi ini merupakan fartner dari gerakan Muhammadiyah yang lahir karena ingin memberikan pendidikan dan kesadaran kepada kaum perempuan.
Dengan wahana sebuah penerbitan berkala Majalah Soeara ’Aisyiyah cita-cita itu dapat tersampaikan ke setiap pelosok di bumi nusantara, sehingga terjadi semacam pembentukan kesadaran kolektif, bahwa perempuan juga mesti berperan dalam kebangunan negara Indonesia, di mana pada masa prakemerdekaan perempuan nasibnya masih di dominasi kaum laki-laki.
Itulah ringkasan penelitian tentang majalah Soeara ’Aisyiyah yang dilakukan Syafaat R Selamet dan D. Anindita. Bagi yang berminat untuk menyegarkan kembali gerakan perempuan di tubuh Muhammadiyah, jelang seabad, naskah penelitian ini dapat dijadikan telaah awal dalam merancang gerak perempuan di Muhammadiyah.