Belajar Sepanjang Hayat

Notification

×

Iklan

Iklan

Belajar Sepanjang Hayat

Jumat, 16 April 2021 | 03:51 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:43Z

“Siapa pun orangnya, dan di mana pun tempatnya;
itulah guru dan sekolah kamu”. (Ki Hajar Dewantara).

USIA bukan alasan untuk menghentikan proses belajar. Merasa diri telah cukup dengan ilmu, adalah sebentuk ketidakbijaksanaan hidup. Ketika selesai kuliah, aktivitas membaca, misalnya, ditinggalkan karena kesibukan bekerja. Padahal, membaca; baik itu Al-Quran atau ilmu yang lain, harus terus dilakukan. Sekolah, pengajian majelis taklim, kuliah, penelitian dan diskusi, adalah cara untuk menambah wawasan keilmuan. Ilmu dan keimanan dalam pemikiran seorang pembelajar adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Tanpa ilmu dan pengetahuan, keimanan kita bakal keropos.

Sedangkan, tanpa keimanan, ilmu kita akan menjadi laksana kapal terbang yang tidak berpilot. Bahkan, menyesatkan umat manusia. Seandainya ilmu yang kita miliki tidak ingin menyesatkan orang lain, teruslah memosisikan diri sebagai seorang pembelajar. 

Allah Swt. berfirman, Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ”Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS Al-Mujaadilah [58]: 11).

Itulah seorang pembelajar, yakni orang yang bisa memanfaatkan sesuatu untuk meningkatkan pemahaman keilmuannya. Ia memanfaatkan amanah kehidupan untuk terus mencari dan menggali ilmu pengetahuan. Ia memegang prinsip hidup ”tiada hari tanpa belajar” atau ”belajar sepangjang hayat”. Sebab, belajar adalah proses panjang yang harus dilalui seumur hidup.

Andrias Harefa, (2002: 30-31) mendefinisikan manusia pembelajar dengan dua pengertian. Pertama, seorang manusia yang berusaha mengenali hakikat diri, potensi, dan bakat dengan usaha pencarian yang tidak pernah berhenti tentang dirinya. Pertanyaan-pertanyaan, seperti ”siapakah aku?”, ”dari mana asalku?”, ”apa yang harus aku lakukan?”, dan ”apa saja yang menjadi tanggung jawabku di dunia ini?”. Semua pertanyaan itu memodali dirinya untuk terus melakukan pencarian kebenaran ilmu.

Kedua, manusia yang sekuat tenaga mempraktikkan ilmunya untuk pengembangan potensi diri, sehingga menjelma jadi diri sendiri, bukan dirinya menurut orang lain. Inilah yang disebut dengan kemandirian yang harus dimiliki seorang pembelajar sejati. Dalam bahasa lain, harus mengamalkan ilmu yang diketahui sehingga bermanfaat untuk orang banyak.

Belajar dari ikan mas


Di suatu telaga milik seorang saudagar kaya, hiduplah beraneka ragam ikan. Telaga besar dengan berbagai macam tanaman air yang menghiasi, memberikan suasana tenang bagi siapa saja. Tepat di tengah telaga, ada sebuah air mancur kecil, yang menghasilkan gelembung udara. Ikan yang berada di dalam telaga tadi terlihat bermain-main dengan gelembung air itu.

Saudagar kaya itu sangat mencintai ikan-ikannya. Setiap hari ia memberi makan ikan kesayangannya dengan udang-udang kecil yang ditumbuk halus. Jumlah ikan di telaga itu ratusan, dengan beragam jenis dan bentuk. Dari ratusan ikan, ada seekor ikan mas bertubuh besar dan berwarna keemasan. Sepintas ikan ini sangat lincah dan menarik, namun ada satu sifat jelek, yakni tergantung kepada majikannya.

Seperti biasa, saat siang hari, ikan-ikan di telaga itu menanti tuannya untuk diberi makan, termasuk si ikan mas. Namun, setelah ditunggu-tunggu saudagar kaya tidak kunjung datang. Karena kesibukannya, ia harus keluar kota untuk waktu yang agak lama. Maka, ikan-ikan di telaga berinisiatif memakan tanaman air yang ada di sekitar. Hanya si ikan mas saja yang tetap menunggu dan menunggu. Ia tidak mau memakan tanaman air.

"Hai ikan mas, makanlah tanaman air ini, kamu tinggal menggigit dan mengunyahnya, untuk makan siang kamu". Teriak ikan yang lain kepada si ikan mas. "Tidak, aku tidak bisa memakan dan mengigitnya. Aku tidak bisa. Aku akan menunggu tuan kita memberi makan saja". Jawab ikan mas itu ketus.

Hari semakin malam. Namun, tuan yang di tunggu ikan mas, tidak kunjung datang. Ikan-ikan yang lain, sudah kenyang menyantap tanaman air, hanya si ikan mas yang kelaparan karena belum memakan apa pun. Akibat menahan lapar yang begitu dahsyat, si ikan mas mulai merasa lemas dan sakit-sakitan. Dia tetap merasa tidak bisa memakan tanaman air, karena terbiasa diberi makan tuannya.

Sudah dua hari, si ikan mas menahan lapar. Alhasil tubuhnya kaku tak bergerak meskipun berada di lumbung makanan yang berlimpah. Dia mati bukan karena tidak ada makanan, namun karena sifat ketergantungan terhadap orang lain. Kisah tentang seekor ikan mas tadi saya peroleh dari website, www.vitriyanespa.com. Dalam kisah tragis itu, kita bisa mengambil pelajaran. Bahwa dalam mencari ilmu, tidak boleh merasa angkuh dan sombong. Mencari dan memperdalam ilmu atau belajar adalah proses yang terus-menerus meskipun kita tidak lagi berada di lingkungan sekolah atau universitas.

Ketika prinsip belajar sepanjang hidup tidak kita tanamkan dalam keyakinan, ingatlah bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggutnya. Tetapi dengan mewafatkan para ulama sehingga tidak lagi tersisa seorang alim. Dengan demikian orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang dungu lalu ditanya dan dia memberi fatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Mutafaq'alaih).