Islam dan Pembangunan Ramah Lingkungan

Notification

×

Iklan

Iklan

Islam dan Pembangunan Ramah Lingkungan

Selasa, 20 April 2021 | 20:08 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:40Z



Ada firman Tuhan yang bermakna pentingnya menjaga keteraturan ekologis, yakni surat Ar-Ruum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah (eksploitasi dan eksplorasi tak berkaidah) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke program konservasi alam)”.

Esensi ayat di atas, menjelaskan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yakni dari kalimat “agar mereka kembali”. Terma “kembali” kalau ditinjau dengan kerangka pembangunan berwawasan ekologis, bersanding kuat dengan program pelestarian lingkungan hidup. Misalnya, program konservasi alam, reboisasi, pajak perusahaan untuk menjaga kelestarian alam, pendidikan lingkungan hidup untuk anak didik dan pengurusan izin analisis dampak lingkungan (amdal).

Kearifan ekologis berbasis agama juga dapat dilihat dari nama-nama surat tentang keragaman ekosistem dan fungsi ekologis, semisal Al-Baqarah (sapi betina), Al-Adiyat (kuda perang), An-Naml (semut), Al-Ankabut (Laba-laba), Ath-Thur (bukit thur) dan masih banyak lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi alam beserta ekosistem kehidupannya memiliki sisi fungsional yang wajib dipelihara sebaik-baiknya. 

Karena itu, alangkah arif rasanya jika bangsa mulai merenungi kearifan ekologis yang dipesankan oleh-Nya melalui teks dan kita kontekstualisasikan sehingga bersesuaian dengan perkembangan zaman.

Tujuannya agar arah pembangunan dihiasi etika ke(adi)luhungan agama, dan ketika berinteraksi dengan ekosistem lingkungan tidak dimanfaatkannya sembari “angkat tangan” melestarikan atau malah “cuci tangan” ketika dirinya merusak alam. 

Sebab, setiap penganut agama (baca: umat Islam) yang berbudaya tidak boleh bersikap dan berperilaku destruktif seperti melakukan pengrusakan secara membabi buta terhadap lingkungan hidup atas dalih pembangunan infrastruktur.

Pun demikian, dalam konteks sistem sosial budaya, hampir tiap daerah di kepualauan Indonesia memiliki indigenous knowledge system masing-masing ketika memperlakukan lingkungan hidup. Misalnya, dalam tradisi masyarakat Sunda pedalaman terdapat tiga klasifikasi hutan (leuweung) yang dijelaskan secara gamblang oleh Kusnaka Adimiharja (1994) dan bermanfaat bagi arah gerak pembangunan.

Pertama, leuweung sampalan, yakni hutan yang telah mengalami konversi menjadi lahan yang ditanami dan dijadikan tempat penggembalaan oleh masyarakat. Kedua, leuweung geuledegan, semacam hutan yang tidak boleh dieksploitasi warga, karena alasan kepercayaan dalam sistem sosial kemasyarakatan. Ketiga, leuweung titipan, semacam hutan yang boleh dieksploitasi dan dimanfaatkan warga setelah mendapatkan izin dari pemimpin adat.

Dari tiga sistem pengetahuan tersebut, terdapat makna perennial yakni pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berparadigma ekologis adalah sebuah keniscayaan. Sebab selama ini arah pembangunan kerap diinterpretasi dengan pendekatan ekonomi-sentris saja. 


Akibatnya, potensi alam banyak terdegradasi ketika terkena proyek pembangunan, misalnya peristiwa meluapnya Lumpur panas di Sidoarjo yang menelan kerugian besar ialah salah satu ekses negatif dari pembangunan yang tak berkaidah. Atau, meningkatnya suhu Kota Bandung sebesar 34,5 derajat celcius pada musim kemarau adalah akibat dari penebangan pohon dan pembangunan infrastruktur yang jarang memerhatikan sarakan (baca: lingkungan) sekitar.

Kondisi di atas, tidak semestinya diabaikan oleh para pemerintah agar tercipta pembangunan yang menghasilkan income ekonomi di satu sisi dan keuntungan ekologis bagi warga secara berkesinambungan di lain sisi. Maka, konsep pembangunan di Indonesia mesti menghargai kearifan sistem sosial masyarakat daerah yang semenjak dahulu selalu berharmoni dengan alam sekitar. Para stakeholders di tiap daerah juga wajib menengok dan mempraktikkannya untuk kemudian dikontekstualisasi sehingga mewujud dalam bentuk pembangunan berkelanjutan.

Alhasil, income (pendapatan) ekonomi yang diperoleh warga tidak sesaat, melainkan terus-menerus (sustainable) sampai terwariskan pada anak cucu. Sebab, kita juga tahu bahwa kekayaan ekologis merupakan titipan anak cucu kita dan mesti dipelihara agar kelak mereka dapat bersenyum ria pada kehidupan. Tidak bermuram durja, apalagi bila sampai berusaha mengakhiri hidup dengan cara “bunuh diri” akibat kemiskinan yang diderita.

Akhirul kalam, untuk mewujudkan generasi makmur dan sentosa, bijaksana rasanya jika arah gerak pembangunan yang dikembangkan berpijak pada paradigma agama, budaya lokal, dan berwawasan lingkungan. Dalam bahasa lain, mencetuskan pembangunan berkelanjutan (sutainable development), berwawasan lingkungan (eco-development) dan bisa juga kita sebut dengan konsep eco-religious, sebab memelihara lingkungan adalah perintah suci dari sang pencipta alam raya ini, Allah SWT. 


Karena itu, mari kita gulirkan program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan agama, budaya lokal, dan berparadigma ekologis mulai detik ini.