Puasa, Lahirkan "Islam Kebumian" dalam Diri Kita

Notification

×

Iklan

Iklan

Puasa, Lahirkan "Islam Kebumian" dalam Diri Kita

Sabtu, 10 April 2021 | 08:32 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:52Z

Bangsa kita memang mengakrabi hal yang berdimensi keagamaan sebab mayoritas penduduknya meyakini eksistensi Tuhan dan ajaran-Nya (baca: beragama). Namun, apakah sebagai makhluk-Nya telah menemukan di dalam diri kita ada sesuatu yang hilang? 


Saya pikir, kita cenderung malas mencari dan menemukan sesuatu yang hilang dari diri selama 11 bulan ke belakang, yakni kepedulian ketika berinteraksi dengan sesama. Kita telah menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan dan melupakan bahwa ajaran Ilahi mesti dibumikan dalam realitas sosial.

Akibatnya, terjadi semacam eksploitasi warga miskin dengan pelbagai bentuk upaya kapitalistik. Baik yang dilakukan perorangan maupun kelompok bermodal, seperti halnya penimbunan bahan-bahan pokok yang mengakibatkan naiknya harga menjelang Ramadan kali ini. 

Oleh karena itu, disyariatkannya ibadah puasa di bulan Ramadan, merupakan salah satu langkah untuk melahirkan kembali kepedulian sosial dalam pribadi umat Islam.

Dengan berpantang makan dan minum sehari penuh, umat Islam diajarkan untuk tidak konsumtif dan mesti merasakan penderitaan orang yang tak makan seharian. Bahkan, menjauhkan diri dari aktivitas kotor ketika sedang menjalankan puasa, adalah indikasi puasa sarat dengan etika-moral sosial dan menjunjung tinggi kemanusiaan.

Mengeksiskan ajaran Islam


Ketika berpuasa, kehadiran-Nya bakal terus terasa (omnipresent) di dalam jiwa. Oleh karena itu, berpuasa selama satu bulan penuh adalah medium untuk menghadirkan eksistensi Tuhan. Kemiskinan, pengangguran, sulitnya mengakses pendidikan, dan soal konflik di tubuh bangsa adalah semacam tantangan untuk menghadirkan ajaran-Nya sehingga dapat menciptakan upaya penanggulangan konstruktif. Itulah salah satu cara untuk tidak membunuh eksistensi ajaran Islam.

Doktrin ajaran Islam –salah satunya puasa– tak arif rasanya jika hanya diarahkan pada soal kelangitan, sementara soal kebumian dilupakan sehingga memicu lahirnya dehumanisasi. Kemiskinan, umpamanya, tanpa campur tangan kader organisasi Islam dalam memberantasnya, akan mengakibatkan matinya kesadaran ilahiah dan kemanusiaan. 

Ketika umat Islam mendekati Ramadan jadi kemutlakan untuk terus menghidupkan kesadaran transformatif dalam setiap kader organisasi Islam, yang untuk konteks kekinian kian tergusur ke arah politik praktis.

Bukan tidak boleh bergelut di dunia politik praktis. Namun, tanpa ada kerja-kerja kemanusiaan, fungsi keagamaan –dalam hal ini berislam– menjadi sia-sia, bahkan terkategori sebagai pendusta agama bagi umat Islam yang mengabaikan soal-soal kemiskinan di muka bumi. 

Itulah sebetulnya yang ingin disampaikan Nabi Muhammad saw., dengan kembali lagi ke bumi ketika peristiwa Isra Mikraj. Itu juga dilakukan untuk melakukan humanisasi, liberasi, dan transendensi sebagai usaha pembumian pesan-pesan langit. Kita tahu bahwa cendera mata sang Nabi Muhammad saw. dari lawatan spiritual jasadinya itu --yakni ibadah salat- akan sia-sia seandainya kita tidak memiliki rasa kepedulian terhadap warga miskin dan fakir.

Begitu pun dengan ibadah puasa. Bakal sia-sia ketika ibadah ini tidak berdampak nyata pada perubahan sikap kita sehingga tetap tidak peduli terhadap soal kemiskinan yang tak memanusiakan.

Islam "kebumian"


Ramadan adalah momen tepat untuk membumikan ajaran-Nya di muka bumi. Umat Islam mesti mampu menggagas kerja kemanusiaan sebagai wujud faktual Islam "kebumian", yakni keberislaman yang tidak hanya dinikmati dengan pelarian diri (asketis) dari realitas sosial. 

Asketisme umat Islam Indonesia adalah asketisme "kedisinian" bukan asketisme "kedisanaan" yang cenderung menjauh dari soal krisis kemanusiaan yang butuh penanggulangan transformatif.

Almarhum Kuntowijoyo mengklasifikasikasikan upaya transformatif jadi tiga misi utama sebagai bentuk aktualisasi doktrin sosial kenabian. Di antaranya, misi humanisasi, liberasi, dan transendesi yang diambil dari ayat Alquran sebagai rujukan paradigma pengilmuan Islam, yakni surat Al-Imran (3), ayat: 10, "Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (salah satunya penindasan), dan beriman kepada Allah."

Humanisasi lebih menitikberatkan pada memanusiawikan umat manusia, melakukan upaya pemberdayaan masyarakat (community development) dengan pelbagai langkah praksis sosial. Liberasi dalam konteks pemikiran Kuntowijoyo adalah upaya pembebasan masyarakat dari kungkungan struktural yang memiskinkan. Terakhir, transendensi adalah memberikan acuan nilai atas seluruh kerja praksis kemanusiaan atas nama keilahian. 

Dari tiga misi transformasi sosial profetik tadi, alangkah bijaksananya jika umat Islam, untuk konteks kekinian tidak mengasingkan diri dari karut-marutnya realitas sosial dengan cara terbang ke langit tanpa pernah membumikan ajaran-ajaran ilahiah.

Semangat puasa Ramadan yang mesti ditangkap umat Islam juga adalah selalu mengisi kehidupannya dengan upaya-upaya transformatif ketika realitas sosial-kemasyarakatan demikian tak berpihak pada kaum miskin (mustadh`afin). 

Dengan demikian, bentuk kenikmatan berislam dalam praktik keseharian umat hari ini mestinya mampu berperan menanggulangi soal kemiskinan, pengangguran, dan soal akses pendidikan yang diskriminatif di tubuh bangsa ini. 

Dan, semoga saja pada Ramadan kali ini, Islam yang hadir mampu memijakkan diri di muka bumi lebih terasa gaungnya sehingga eksistensi kepedulian terhadap fakir miskin meningkat jika dibandingkan tahun dan bulan sebelumnya.

Sebab, puasa adalah ajaran yang dapat melahirkan kembali kepedulian sosial yang sempat meredup selama 11 bulan ke belakang, dan 11 bulan ke depan, bahkan untuk selamanya ajaran itu mesti hidup di jiwa umat Islam Indonesia. 

Ketika kita tidak dapat menangkap ajaran itu, sabda Nabi saw., "Akan sia-sialah puasa kita selama bulan Ramadan kali ini. Tanpa memiliki kepedulian sosial ketika ibadah ini berakhir, kita sama saja telah melakukan ketidaksungguh-sungguhan berpuasa."