Sedekah Keadilan Para Pemimpin!

Notification

×

Iklan

Iklan

Sedekah Keadilan Para Pemimpin!

Minggu, 18 April 2021 | 05:18 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:42Z

”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu golongan, mendorong untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al-Maaidah [5]:8).

Saat jelang masa kampanye Pemilu saja terasa adanya seorang pemimpin. Umbul-umbul, bendera parpol, kaos, topi, dan pelbagai atribut kepartaian akan sangat mudah ditemukan di jalanan. Tidak sedikit, kampanye ini menyita perhatian masyarakat Indonesia di mana pun berada. 

Saya hanya mengingatkan bahwa di balik gegap gempita pesta demokrasi ini, ada satu hal yang patut direnungkan bersama. Satu hal itu adalah keadilan tanpa pandang bulu. Itulah makna  dari pesan ayat Al-Quran yang saya kutip di atas. Keadilan tanpa pandangan sinis terhadap suatu golongan adalah inti dari menegakkan kebenaran karena Allah. 

Menurut pakar integralisme – Armahedi Mahzar – tugas seorang manusia bukan memakmurkan diri sendiri, tetapi memakmurkan bumi. Kita tahu, di bumi itu ada bermilyar manusia dan mahkluk lainnya. Nah, untuk konteks keindonesiaan, mungkin calon pemimpin mesti menanggalkan atribut kepartaian (golongan) ketika ingin mengubah daerahnya lebih baik.

Dalam bahasa lain, keadilan mesti ditegakkan di ranah bumi Indonesia. Melalui buku lawasnya, Integralisme; Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam (1983), Armahedi Mahzar menyebut bahwa perubahan ditentukan oleh hubungan dinamis ”qawm-nafs” atau ”kolektivita-individualita”. Di mana setiap manusia diciptakan Allah dengan sejumput potensi positif untuk melakukan kerjasama menuju perubahan lebih baik.

Untuk konteks kepemimpinan di dunia kepolitikan, kondisi lebih baik (baca: harapan untuk hidup sejahtera) diinisiasi kecerdasan kita memilih calon pemimpin negeri ini yang amanah. Harapan, keinginan dan cita-cita absurd hanya penghias siklus waktu yang bergerak riak-riak tak tentu ketika moral pemimpin kita degradatif. Akhirnya, kesejahteraan kandas di dalam kubangan khayali puluhan juta warga miskin.

Tak heran bila Rasulullah Saw. bersabda: “Tiap muslim wajib bersedekah.” Para sahabat kemudian bertanya: “Bagaimana kalau dia tidak memiliki sesuatu?.” Nabi Saw. menjawab: “Bekerjalah dengan keterampilan tangan untuk kemanfaatan dirinya lalu bersedekah.” Mereka bertanya lagi: “Bagaimana kalau dia tidak mampu?” Nabi Saw. menjawab: “Menolong orang yang membutuhkan yang sedang teraniaya.” Mereka kemudian bertanya kembali: “Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?.” Nabi Saw. menjawab: “Menyuruh berbuat ma'ruf.” Tanpa pernah bosan mereka bertanya: “Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?” Nabi Saw. menjawab, “Mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sedekah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Bagi calon pemimpin atau yang sedang menjabat, jelas sekali sedekah mereka selain duduk di kursi keprabonan, ialah membersihkan diri dari laku jahat dan korup. Dan, yang terpenting memakmurkan bumi tempatnya berpijak (negara) sebelum memakmurkan diri sendiri dan kelompok. Namun, realitas seolah berkata lain: ketika menjadi pemimpin, mengambil kesempatan di tengah kesempitan sbangsa ini. 

Di dalam Al-Quran dijelaskan, "Dia (Allah) yang menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu memakmurkannya, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya” (QS. [11]: 61).

Dengan kondisi kemiskinan di Indonesia, satu upaya mencegah kejahatan adalah “cerdas memilih” calon anggota dewan yang memiliki komitment moral. Sedekah yang diberikan pemimpin bukan hanya dalam bentuk yang sesaat ketika menjelang pemilu saja. Tetapi, seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang bersifat jangka panjang dan terus menerus. 

Kita bisa membaca poster, baligho, brosur, bahkan billboard yang memajang “janji” peningkatan kesejahteraan selama kampanye. Alhasil, banyak sekali rakyat meletakkan harapan pada janji itu, tapi seakan hanya berbentuk penantian absurd.

Kita harus terus bekerja keras demi terwujudnya keadilan dalam menggapai kejayaan peradaban, yang bersandar pada nurani politik pro rakyat. Kesejahteraan, di negeri ini, harus menjejakkan di alam riil yang membumi agar kita menjadi bangsa bermartabat. Apalagi, sebagai salah satu pilar demokrasi, kader partai politik misalnya, harus memperjaungkan keadilan hingga dapat “membumi” di Indonesia.

Bukan mencalonkan diri untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri dan kelompok. Rasulullah Saw. bersabda, “Cinta yang berlebihan terhadap harta dan kedudukan dapat mengikis agama seseorang” (HR Ath-Thusi). Nah, kalau ada calon anggota dewan yang seperti ini, apakah harus berpikir keras untuk memilihnya?