Sunda dan Kemajemukan Budaya

Notification

×

Iklan

Iklan

Sunda dan Kemajemukan Budaya

Minggu, 04 April 2021 | 14:28 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:54Z

Tanah Sunda, gemah ripah/Nu ngumbara suka betah/Urang Sunda sawawa/Sing toweksa perceka/Nyangga darma anu nyata//Seuweu Pajajaran/Muga tong kasmaran/Sing tulaten jeung rumaksa/Miara pakaya memang sawajibna/Geuten titen rumawat tanah pusaka//

Sunda bukan suatu kebudayaan yang saklek, pasti, dan tidak berubah. Ia adalah kebudayaan yang selalu berkembang mengikuti perputaran ruang dan waktu. Dengan demikian kesundaan akan terus hidup apabila urang Sunda memahaminya dengan pengalaman hidup masing-masing. Keragaman memahami inilah yang nantinya melahirkan sikap menghargai atas kebudayaan non-sunda yang berkembang di Jawa Barat.

Meskipun Jawa Barat mayoritas beretnik Sunda, ada daerah yang berbeda dalam hal kebudayaan, terutama dari bahasa tutur keseharian. Maka, memukul rata daerah-daerah yang mayoritas dihuni etnik non-Sunda, sama saja dengan menumpurkan kebudayaan lain. Ingat, keragaman mesti disikapi secara arif dan bijaksana oleh urang Sunda, sebagai tanda bahwa Sunda tidak anti-perubahan.

Seandainya kita memahami Sunda sebagai sebuah bangunan budaya yang saklek dan tidak berubah, sikap seperti itu melenceng dari semangat Ki Sunda yang sedari dulu selalu mencoba menjaga kebudayaan non-Sunda untuk hidup di daerahnya. Pesan damai dan toleran Ki Sunda itu terlihat jelas dari rangkaian larik yang disusun almarhum Mang Koko, yang menjelaskan sikap someah kepada non-Sunda sebagai ciri dari kedewasaan (sawawa) Ki Sunda.

Syair yang dikreasi almarhum mang Koko memang tepat menggambarkan alam tanah Sunda yang gemah ripah lohjinawi, dan membuat kaum urban suka-betah mengumbara di tempat ini. Selain tanahnya yang subur, masyarakatnya pun memiliki solidaritas komunal yang tidak tribalistik, tidak mendiskriminasi suku lain. Bukti ini terlihat dari pemberian gelar kehormatan daeng, aom, aden, habib dan sebagainya kepada etnis luar Sunda yang tinggal di daerah Sunda.

Mengikis fanatisme

Fanatisme saya pikir sangat berbahaya bagi integrasi bangsa ini. Dengan meminggirkan kebudayaan minor di Jabar adalah bentuk fanatisme “berkedok” lokalitas. Tidak arif rasanya kalau kita mengklaim etnik Sunda sebagai kebudayaan yang paling bagus dengan meminggirkan eksistensi kebudayaan lain. Di tubuh Sunda juga saya pikir ada keragaman sehingga terbuka bagi interpretasi. Kesundaan saya hari ini, misalnya, akan berbeda dengan pemahaman urang Sunda generasi 70-an atau 80-an. Begitu juga seterusnya. Generasi 90-an, 80-an, 70-an, dan seterusnya akan berbeda pemahamannya dengan Sunda generasi lebih dulu.

Fanatisme manusia Sunda yang tak berdasar pada kearifan akan mengubahnya menjadi seorang peragu, tak yakin, dan arogan. Merasa diri berkuasa atas alam akan membentuknya jadi manusia ”tidak nyunda”. Raja-raja Sunda dulu, ketika hendak menggapai derajat manusia sempurna sering kali melakukan pengembaraan ke dunia luar. Dengan interaksi yang harmonis bersama kebudayaan luar, lahirlah pemahaman yang toleran dan menghargai. Untuk konteks kekinian, diharapkan manusia Sunda mampu memahami dunia luar yang plural, majemuk, dan dipenuhi diversitas.

Bagi orang yang egois dan fanatis bakal lahir apa yang disebut superioritas sehingga menempatkan orang lain inferior, yang mengakibatkan keretakan hubungan sosial. Maka, memelihara Sunda adalah bersikap ramah (someah) kepada kebudayaan di luar Sunda sebagai ciri dari seorang Sunda sawawa.

Silang budaya

Bahasa adalah salah satu unsur kebudayaan yang mudah melakukan perkawinan silang dengan bahasa lain. Jika ditelisik secara antropologis, keragaman budaya di Jawa Barat, memberi acuan perilaku pada masyarakat untuk menyadari eksistensi kebudayaan lain di tempat tinggalnya. Pengaruh kebudayaan etnik lain – meminjam teori Denis Lombard – adalah semacam “silang budaya” yang membentuk kesundaan kita hari ini. Salah satu indikatornya persilangan budaya itu bisa terjadi apabila setiap kebudayaan di daerah Jawa Barat dipelihara dan dijaga.

Selain bahasa Sunda, misalnya, pemerintah juga harus menjaga kelestarian bahasa lain di tanah pusaka ini. Secara pribadi, saya merasa iri dengan penguasaan bahasa Sunda masyarakat dari luar. Seandainya sewaktu SMP dulu saya memiliki teman yang mampu berbahasa Jawa, Batak, China, dan Padang; saya akan memintanya menjadi guru bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia dan bahasa Sunda.

Saya jadi berpikir: mungkinkah siswa SMA harus mengikuti program pertukaran pelajar dengan pelajar di daerah-daerah lain untuk belajar kebudayaan orang lain? Saya rasa gagasan pendidikan bi-cultural juga sangat tepat untuk memberi pemahaman pada generasi muda tentang kemajemukan budaya agar dapat mendidik anak-anak untuk bertukar kebudayaan dengan orang lain. Dengan inilah perkawinan atau persilangan budaya terlihat indah mengemuka. Jadi, betul sekali – seperti disitir Pramoedya Ananta Toer – bahwa Indonesia adalah anak segala bangsa. Begitu juga dengan Sunda. Ia lahir dari interaksi Ki Sunda dengan pelbagai kebudayaan. Indah rasanya, apabila Sunda lahir dari ”silang budaya” dengan kebudayaan di luar Sunda.