Kearifan Ekologis Berbasis Agama

Notification

×

Iklan

Iklan

Kearifan Ekologis Berbasis Agama

Minggu, 09 Mei 2021 | 18:06 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:35Z

 

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali" (Q.S. Ar-Ruum ayat 41).

Ketika kondisi alam negeri ini rusak dan banyak melahirkan bencana alam, kita harus mulai menata ulang aktivitas relasi dengan alam. Tentunya membungkus laku keseharian dengan bingkai keharmonisan. Bukan malah melakukan kegiatan perusakan yang berakibat fatal bagi warga masyarakat sekitar. 


Hutan, yang di negeri ini memiliki keindahan panorama mestinya mampu mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Bukan lantas merusaknya sehingga bangsa kita -- menurut ukuran FAO -- merupakan kandidat pertama penghancur hutan tercepat di dunia. Katanya bangsa Indonesia adalah bangsa beragama? Lantas, kenapa hutan yang sebegitu indah dirusak sekadar demi memenuhi kebutuhan perut?


Atas nama kemajuan, pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan materi, hutan pun kena getah eksploitasi. Yang saya tidak setujui adalah eksploitasi hutan tanpa disertai pikiran-pikiran visioner. Mereka tidak berpikir bahwa setelah mati akan meninggalkan anak cucunya dalam keadaan sengsara. Benar juga jika mental bangsa kita adalah mental pemboros, rakus, dan perusak. Tidak memikirkan bahwa 30 tahun ke depan, cucu mereka akan menjadi tumbal pembangunan.


Udara yang kian panas akibat polusi dan kurangnya kawasan hijau adalah soal yang bakal dihadapi anak cucu kita. Ya, pemanasan global akibat tipisnya lapisan ozon karena kita tak begitu peduli dengan hutan adalah masalah yang diwariskan generasi kita. Yang lebih parah adalah apa yang menimpa warga di Sukabumi. 


Meskipun mereka berada di daerah yang kaya sumber daya air, tidak merasakan kelimpahan dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Sekitar 200 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) telah mengambil hak warga untuk mendapatkan air bersih.

Kearifan ekologis


Esensi ayat di atas menjelaskan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yakni dari kalimat "agar mereka kembali". "Kembali" kalau ditinjau dengan kerangka pembangunan berwawasan ekologis, bersanding kuat dengan program pelestarian. Misalnya, program konservasi alam, reboisasi, pajak perusahaan untuk kelestarian alam, pendidikan lingkungan hidup untuk anak didik dan pengurusan izin analisis dampak lingkungan (amdal). Itulah pesan yang mesti kita camkan dalam hati, bahwa Dia (Allah) memerintahkan kita untuk memiliki kearifan ekologis ketika berinteraksi dengan lingkungan.


Kearifan ekologis berbasis agama juga dapat dilihat dari nama-nama surat tentang keragaman ekosistem dan fungsi ekologis, semisal Al-Baqarah (sapi betina), Al-Adiyat (kuda perang), An-Naml (semut), Al-Ankabut (Laba-laba), Ath-Thur (bukit thur) dan masih banyak lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi alam beserta ekosistemnya memiliki sisi fungsional yang wajib dipelihara sebaik-baiknya. 


Oleh karena itu, arif rasanya jika kita mulai merefleksi kearifan ekologis yang dipesankan oleh-Nya melalui teks suci itu sehingga alam kembali tidak memuntahkan pelbagai bencana kemanusiaan (human disaster). Tujuannya agar menghasilkan arah pembangunan berhiaskan etika-moral agama, dan ketika berinteraksi dengan hutan tidak memanfaatkannya secara eksploitatif dan merusak. Umat Islam yang berbudaya diajarkan untuk tidak bersikap dan berperilaku destruktif seperti melakukan perusakan secara membabi buta terhadap lingkungan hidup (khususnya hutan) atas dalih apa pun. Termasuk atas segala macam dalih pembangunan, yang tak berkaidah tentunya!


Lantas, mengapa kerusakan hutan seakan terus menjadi-jadi? Apakah ada yang salah dengan sikap kita atas hutan sehingga kita menempatkannya sebagai sesuatu yang bukan amanah dari-Nya? Saya kira kehancuran hutan Indonesia terletak pada sikap kita terhadap alam sekitar sehingga muncul stigma bahwa hutan diciptakan hanya untuk dieksploitasi besar-besaran. Sikap inilah yang melahirkan keangkuhan manusia dalam berinteraksi dengan alam sekitarnya. Kita seolah tidak menempatkannya sebagai sesuatu yang amat penting bagi kehidupan sehingga kebutuhan timbal balik dinodai dengan laku merusak yang membahayakan jiwa sesama manusia.


Jadi, sebagai seorang Muslim tak selayaknya melakukan perusakan terhadap alam, sebab ia (alam) merupakan penopang kehidupan kita. Hutan, air, hewan, dan tumbuhan adalah sesuatu yang diciptakan-Nya di muka bumi untuk kita kelola dan manfaatkan sebaik-baiknya. Mujiyono Abdillah (2001) menasirkan Surat Al Jaatsiyah ayat 13 sebagai berikut, "Dan Allah telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Yang demikian hanya ditangkap oleh orang-orang yang memiliki daya nalar memadai." 


Pertanyaannya, sudahkah kita menangkap pesan Alquran yang memerintahkan umat manusia untuk menjaga keseimbangan alam sekitar?


Mudah-mudahan sudah.