Sejarah "Tusuk Sate" di Gedung Sate Bandung

Notification

×

Iklan

Iklan

Sejarah "Tusuk Sate" di Gedung Sate Bandung

Rabu, 19 Mei 2021 | 04:55 WIB Last Updated 2021-05-18T21:55:31Z


NUBANDUNG
- Sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung terjadi sebelum 27 Juli 1920. Gedung yang dulu memiliki nama Gouvernemens Bedrijven (GB) ini selesai dirancang cetak birunya oleh sebuah tim yang beranggotakan Ir. J. Gerber, Ir. G. Hendriks, dan Ir. Eh. De Roo. 


Rancangan cetak biru gedung GB ini juga melibatkan Gementee (walikota) Bandung yang pada masa itu dengan Kol.Pur. VL. Slors sebagai ketua mereka. Untuk membangun gedung GB ini dibutuhkan 2.000 orang pekerja. Sebanyak 150 diantaranya merupakan orang Tiongkok dan bertugas sebagai pengukir kayu atau pemahat batu. 


Dari sisa 1.850 pekerja, hampir seluruhnya pernah memiliki pengalaman membangun gedung penting karena mereka pernah bekerja dalam pembangunan Gedong Sirap (ITB) dan Gedong Papak.


Sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung mulai tercatat ketika batu pertama diletakkan pada tanggal 27 Juli 1920. Peletakkan batu pertama ini dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, putri sulung dari Wali Kota Bandung saat itu, B. Coops, bersama dengan Petronella Roelefsen yang menjadi wakil Gubernur Jendral J.P Graaf Van Limburg Stirum. 


Pembangunan gedung yang bertujuan untuk dijadikan pusat pemerintahan Belanda ini memilih kota Bandung sebagai ibu kota karena menurut mereka, iklim kota Bandung pada masa itu mirip dengan iklim yang ada di Perancis Selatan kala musim panas tiba.


Empat tahun adalah waktu yang dibutuhkan oleh tim beranggotakan 2.000 orang itu untuk menyelesaikan GB, tepatnya pada bulan September 1924. Ketika selesai, bagian gedung yang termasuk di dalamnya adalah bangunan utama GB itu sendiri yang di dalamnya terdapat kantor pusat pos, Perpustakaan (PTT), serta telepon dan telegraf. 


Ternyata, kemegahan dan keunikan yang disajikan oleh Gedung Sate ini tidak dikerjakan oleh Ir. J. Gerber sendirian, karena ia mendapatkan banyak masukan dari maestro Belanda dalam bidang seni arsitektur, yaitu Dr. Hendrik Petrus Berlage. Berlage menyarankan Gerber bahwa ia harus memasukkan sedikit nuansa tradisional Indonesia dalam gedung yang akan ia buat di daerah Indonesia tersebut.


Selama proses pembuatan dan penyelesaiannya, Gedung Sate di Bandung menuai banyak pujian dari banyak kalangan. Rata-rata pujiannya berisi tentang betapa mempesonanya gedung yang memiliki gaya arsitektur lain dari yang lain ini, hingga menyebut gaya tersebut sebagai Indo Europeeschen architectuur stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa). D. Ruhl juga menuliskan bahwa menurutnya Gedung Sate adalah gedung dengan gaya arsitektur yang paling indah di Indonesia. 


Tulisannya ini bisa ditemui pada buku dengan judul Bandoeng en haar Hoogvlakte yang diterbitkan pada tahun 1952. Pendapat lain muncul dari dua arsitek terkenal Belanda yaitu Cor Pashier dan Jam Wittenberg, dimana menurut mereka Gedung Sate adalah hasil eksperimen penggabungan dua gaya arsitektur yaitu Indonesia dan Eropa.


Dalam rancangan cetak biru GB, Gerber menyatukan beberapa gaya arsitektur, seperti misalnya pada jendela, tema yang digunakan adalah Moor Spanyol. Gaya yang berbeda digunakan untuk bangunan secara keseluruhan yang bergaya Rennaisance Italia. Untuk menaranya sendiri, Gerber memilih gaya Asia, terutama gaya atap pura yang ada di Bali dan pagoda yang ada di Thailand. 


Dilihat pada atap GB, puncaknya dihiasi dengan “tusuk sate” yang memiliki 6 buah benda bulat. Terjadi perdebatan tentang benda ini, dimana ada versi yang mengatakan bahwa benda tersebut adalah sate, jambu air, atau bahkan melati yang berjumlah 6 buah. Jumlah benda tersebut adalah representasi dari biaya pembangunan gedung megah itu, yaitu 6 juta gulden.