Dengan menggunakan media internet, urang Sunda bisa menuangkan pikiran atau pengalaman lokal melalui weblog, website, social networking dan mailinglist sehingga ikatan lokal menguat dan bisa dilihat serta dirasakan (look and feel). Urang sunda yang melek internet merupakan ejawantah dari pribahasa “miindung ka waktu mibapa ka zaman“.
Perangkat komputer desktop atau juga notebook yang terkoneksi ke internet, hal itu bisa kita jadikan alat penghantar pesan (The medium is the message). Terutama, pesan yang berisi tentang khazanah kebudayaan Sunda. Andai saja urang Sunda tidak mampu ngigeulan dan ngigeulkeun perkembangan zaman, jangan sewot kalau etnik Sunda bakal termasuk kepada ribuan etnis di dunia yang akan segera punah dan terkubur.
Maka memanfaatkan teknologi informasi yang diboyong arus globalisasi – salah satunya internet – dalam menginformasikan soal kesundaan merupakan satu usaha guna memelihara kelestarian seni dan budaya di tatar Sunda. Dengan demikian, generasi muda mesti proaktif melakukan penetrasi budaya global (mancanegara) dengan cara meng-upload konten berupa teks, video, dan photo yang berisi kebudayaan lokal masyarakat Sunda di website pribadi, mailinglist, weblog dan jaringan sosial (social networking).
Mengeksiskan Sunda
Apalagi eksistensi seni dan budaya di Jawa Barat saat ini kian terancam. Dari 8 cabang seni berjumlah 257 jenis yang terdokumentasikan, sekitar 124 masih berkembang, 100 tidak berkembang, dan 26 jenis kesenian telah punah. Sementara itu, untuk nilai-nilai tradisional yang terdokumentasikan: 145 macam makanan tradisional, 25 permainan rakyat, 12 kampung adat, 20 cerita rakyat, 39 upacara adat, dsb.
Oleh sebab itu, jadi keniscayaan memanfaatkan perangkat komputer dan internet agar eksistensi seni dan budaya Sunda khususnya atau budaya lain di Jawa Barat terpelihara. Maka, kita jangan menjadi urang Sunda yang posisinya sama dengan katak dalam tempurung. Ia tidak tahu tentang perkembangan teknologi informasi dan tidak mau menunjukkan kepada orang lain (dengan mengeksiskan Sunda lewat website atau blog) bahwa etnis Sunda itu eksis.
Globalisasi – khususnya di bidang teknologi informasi – tentu saja mesti dimanfaatkan oleh urang Sunda untuk melakukan penetrasi budaya luar. Itulah yang diistilahkan para sosiolog penganut konvergensi dengan glokalisasi. Sebagai respon aktif dari segelintir komunitas yang masih memegang nilai-nilai lokal yang merasa bahwa kebudayaannya banyak terpinggir oleh kekuatan globalisasi yang cenderung menyeragamkan.
Terputusnya jaringan informasi tentang kesundaan di era virtual dan dunia maya (cybernet) akan mengakibatkan generasi muda Sunda pareumeun obor. Dengan internetisasi, budaya Sunda akan ngajowantara ke era tanpa sekat, dan ketika orang Sunda atau non-Sunda di luar negeri mengetik entri “Sunda” di search engine (google umpamanya), uploader dari Sunda telah menyediakan informasi tentang kekayaan budaya kita.
Tidak seperti sedang mencari naskah langka Sunda di perpustakaan yang banyak disembunyikan hingga tertutup bagi masyarakat. Hanya orang tertentu saja yang bisa membaca, menganalisis, dan mengomentari isi naskah tersebut. Hal ini di era revolusi informasi seperti sekarang tidak akan terjadi. Sebab, setiap orang dengan bermodal Rp. 3000 – bagi mahasiswa yang suka mengakses internet di warnet – sudah bisa membaca, menganalisis, dan mengomentari eksistensi budaya Sunda.
Mengakses kesundaan
Dengan internet, kita bisa menemukan kesatuan antara produksi, reproduksi, dan penyebaran informasi hilir-mudik antara audience dan produsen. Bahkan, yang lebih hebat lagi, selain menjadi konsumer, di internet kita bisa menjadi content provider, dan komentator content, dengan audience yang telah ada yakni teman yang berada di jaringan sosial (social networking). Ketika kita menuliskan isi pikiran tentang kesundaan atau pengalaman hidup urang Sunda serta dipublikasikan di weblog pribadi kita (blogger.com, wordpress, dll), misalnya, akan ada komentar-komentar dari para pembaca. Setelah itu, akan terjadi diskusi, tukar pikiran, atau sekadar komentar basa-basi.
Globalisasi, ternyata telah dihadapi kaum muda Sunda. Misalnya, mendirikan situs web supaya banyak urang Sunda yang memublikasikan ide-gagasan kesundaan di web berbayar ataupun gratisan semacam di blogger.com, wordpress, tumblr, dan lain-lain. Bahkan, ada juga kamus elektronik yang menggunakan bahasa Sunda yaitu su.wikipedia.org.
Alamat-alamat di atas tersedia berbagai informasi tentang kekayaan seni dan budaya Sunda, yang bisa dijadikan pelepas “dahaga kesundaan” oleh para pengguna (user) internet. Website di atas juga merupakan gerakan glokalisasi urang Sunda sebagai langkah proaktif atas tekanan globalisasi yang cenderung menyeragamkan budaya dalam istilah “desa global”. Ada semacam gerakan – punten memplesetkan istilah Antony Gidden – pokoknya “aku” generasi (Sunda) dalam mewujudkan “aku” masyarakat pertama Sunda (“me”-first generation) yang percaya diri akan identitas lokalnya.
Keuntungan bagi masyarakat Sunda “melek internet” adalah akan menyadari bahwa manusia di Indoensia atau dunia dipenuhi pluralitas kebudayaan. Sebab, di internet, kita bisa merengkuh seluruh isi media berupa teks, gambar-gerak, citra audiovisual, dan realitas virtual dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Tapi, jangan lantas kehadiran internet mencipta masyarakat Sunda “melek internet” yang mengamputasi “sense of crisis” ketika berinteraksi dengan masyarakat.
Tapi, masalahnya mampukah pemerintah memperbaiki infrastruktur Infromation and Comunication Technology (ICT) sehingga akses internet bisa dijangkau warga? Nah, sudahkah kaum cerdik cendikia Sunda memiliki tradisi media literacy karena kemudahan akses internet? kalau sudah, tak salah jika mengutip pandangan Thomas L Friedman – seorang kolumnis harian The New York Times: “Terima kasih pada komputer, terima kasih pada internet” .