Bersedihlah Secukupnya! Sabar dan Tabah

Notification

×

Iklan

Iklan

Bersedihlah Secukupnya! Sabar dan Tabah

Sabtu, 19 Juni 2021 | 08:27 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:29Z


Penulis
Asep Dudinov AR 


Jalan tak selalu lurus. Terkadang ada belokan, kelokan, turunan, tanjakan, dan persimpangan. Tak jarang menyerempet bahaya. Memompa adrenalin sehingga memicu jantung berdegup kencang.

Namun, dengan kontur jalan seperti itulah kita akan menikmati perjalanan, melihat banyak pemandangan, atau barangkali sesekali berhenti karena ingin berhenti saja atau sebab yang lain.

Hidup juga begitu. Ia tak akan pernah lurus-lurus saja. Kalau lurus dan tanpa hambatan, pastilah ia akan kering dan tak berkesan. Sutan Sjahrir pernah berujar, “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tak layak dimenangkan”.

Nah, maka dari itu, hidup pasti tak akan senang melulu, sebagaimana hidup tak akan terus-menerus dirundung kesedihan. Ia akan dipergilirkan oleh takdir kuasa Tuhan. Manusia hanya tinggal mengikuti jalan-Nya, berusaha seoptimal mungkin, dan kemudian bertawakal sebagai jalan terakhir.

Senang dan sedih seperti Yin dan Yang. Keduanya bagaikan dua sisi dalam satu keping mata uang. Dua keadaan itu akan silih berganti dialami oleh manusia, dan dengan begitu kehidupan akan terasa indah.

Fase senang dan sedih itulah yang menyebabkan manusia akan mengetahui makna bersyukur dan bersabar. Bersyukur saat suka dan bersabar ketika duka. Hanya saja terkadang manusia berlaku alpa. Malah takabur ketika senang atau berputus asa saat ditimpa kemalangan.

Allah Swt. dalam Al-Quran berkali-kali mencontohkan bagaimana para nabi dan rasul didera dengan banyak kesusahan ketimbang kesenangan dan mereka tetap menjalaninya dengan sabar. Bahkan secara khusus ada sejumlah rasul yang disebut sebagai Ulul Azmi karena cobaannya yang dahsyat.

Dari Nabi Nuh kita bisa berkaca bagaimana selama ratusan tahun ia berdakwah dan hanya segelintir orang yang mengikutinya. Belum lagi ditambah anak kandungnya sendiri yang tak kadung beriman.

Nuh tentu saja takut dan khawatir kalau anaknya tak berada dalam barisan yang sama dengannya. Namun, kemudian Allah memperingatkan bahwa ia telah berusaha maksimal, kalau toh kemudian anaknya tak beriman, hal itu sudah menjadi ketetapannya.

Nabi Ibrahim memberi pelajaran pada kita bahwa belum disebut kebaikan yang sesungguhnya apabila belum memberikan harta yang dicintainya. Betapa Ibrahim amat mencintai Ismail, anak kesayangan yang telah ditunggu lama.

Namun, Allah Swt. telah menyuruh Ibrahim agar menyembelih Ismail. Sebagai manusia biasa, Ibrahim tentu saja sedih, akan tetapi ia lebih taat pada Allah. Ismail yang masih belia pun tak kurang meneguhkan ayahnya bahwa ia mudah-mudahan bisa menjadi hamba yang bersyukur.

Muhammad Rasulullah Saw. tak kurang beragam cobaan yang dihadapinya. Ditinggal Abu Thalib dan Khadijah dalam waktu yang hampir bersamaan saat lagi sayang-sayangnya. Dalam tarikh Islam, kejadian itu dikenal dengan amul huzni (tahun kesedihan).

Belum lagi dikejar dan ancaman pembunuhan saat berhijrah. Walau begitu ia tak surut meniti jalan dakwah menyebarkan Islam. Oleh karena itu, suka cita dan duka lara dalam kehidupan hanyalah bagian dari ‘seni’ menempuh jalan pendek di dunia, sebelum berangkat menuju negeri akhirat. Mengutip lirik dalam album Hindia,”Ambil sedikit tisu, bersedihlah secukupnya.”