Membarukan Laku Manusia Sunda

Notification

×

Iklan

Iklan

Membarukan Laku Manusia Sunda

Jumat, 04 Juni 2021 | 08:57 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:33Z

Ada dua hari libur nasional terpampang pada jejeran tanggal di kalender. Pada tanggal 1 Januari lalu, ruang dan waktu memasuki awal tahun baru Masehi. Kolot baheula menyebut bulan-bulan di tahun Masehi sebagai bulan batur. Bulan Januari, katanya, diambil dari nama Dewa Janus yang berkepala dua. Satu kepala menghadap ke depan, yang satunya lagi ke belakang. Antara masa lalu dan masa depan tidak berbatas jauh.

Jadi, Januari adalah bulan yang harus diisi oleh evaluasi atas laku lampah kita di tahun sebelumnya. Namun, tidak boleh terjebak pada kenikmatan khayali masa lalu dan terjebak pada lobang romantisme yang melenakan diri. Sebab, kita sedang berada pada bulan Januari sebagai tonggak awal memasuki tahun baru yang berdekatan dengan bulan Desember sebagai akhir dari tahun yang lalu. 

Kepala Janus yang mengarah kebelakang adalah simbol dari baru saja satu hari kita melewati tahun sebelumnya. Sementara itu, kepala yang menghadap ke depan adalah petanda bahwa kita sedang berada di tahun yang akan datang.

Tanggal 1 Muharram, begitulah umat Islam menyebutnya, merupakan tonggak awal memulai aktivitas dengan aneka kebaikan laku dan kata di tahun yang akan datang. Segala laku lampah yang batil dan merusak harus dijauhi untuk kemudian di bulan-bulan selanjutnya kita mengisi kehidupan dengan kebaikan laku dan kata.

Toleransi mestinya dipupuk guna menumbuh-kembangkan kearifan hidup, kerjasama menanggulangi kemiskinan guna menggapai kesejahteraan publik, dan membetulkan arah kebijakan yang pada tahun sebelumnya melenceng jauh dari semangat ketuhanan dan kemanusiaan.

Tahun pembaruan


Di kedua tahun baru itu – Miladiyah dan Hijriyah – menjadi keniscayaan untuk manusia Sunda agar membarukan atau memperbaiki laku lampahnya ke arah lebih baik. Sebab, di tahun yang baru segalanya haruslah mencerminkan yang terbaru. Namun, bukan tampilan fisiknya saja yang baru. Melainkan, kesadaran diri (self awwarenes), modal budaya (capital of culture), kesadaran kolektif (collective awwarenes), dan kekukuhan pada misi liberatif segala nilailah yang harus kita perbarui dan perbaiki.

Apalagi di tengah ketergulungan bangsa dengan jerat-jerat bencana alam (natural disaster), boleh jadi upaya penantian aktif dan transformatif demi terwujudnya keadilan, keamanan, ketentraman, dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dan khususnya urang Sunda merupakan misi kemanusiaan yang luhung dan suci. Itulah Sunda yang manusiawi dan ilahi!

Agama Islam pun memerintahkan upaya penantian yang tidak fasif dalam melewati jalan terjal kehidupan ini seperti disitir Tuhan sbb: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi sebuah bangsa (kaum), sebelum mereka mengubah kondisi yang ada pada masing-masing individu”. 

Untuk dapat mengupayakan terciptanya perubahan pada bangsa, menjadi keniscayaan buat kita agar membumikan ajaran-ajaran langit secara praksis di aras sosial kemasyarakatan. Antara laku dan kata bertautan hingga menciptakan perubahan di atas negeri yang kaya alam dan kebudayaan ini, Indonesia.

Sementara itu, ada pepatah Ki Sunda lawas berbunyi: elmu teh lain saukur di awang-awang/lain oge saukur (bijil) dina kertas daluang/tapi dina ruang-riung jeung papada urang//. Pepatah-petitih kolot Sunda ini, menyampaikan pesan pada kita. Bahwa keberadaan ilmu yang transformatif, bagi manusia Sunda tidak sekadar muncul dari kalangan atas, kaum akademis dan masyarakat “melek huruf” lain saja. Akan tetapi, muncul juga dari ruang-riung jeung papada urang atau dari persinggungan dengan realitas masyarakat sekitar.

Ya, dari upaya membumikan teori-teori keilmuan, ajaran-ajaran agama, dan norma-etika di dunia nyata sehingga karasa dan kariksa oleh manusia. Mengapa? Sebab, nilai – seperti yang diungkapkan Mudji Sutrisno – adalah suatu hal yang dipandang berharga oleh orang atau kelompok orang serta (seringkali) dijadikan acuan tindakan atau pengarti arah hidup (Teori-Teori Kebudayaan, 2005: 67).

Dengan kata lain, segala nilai yang diproduksi sebuah agama ataupun kebudayaan dapat menjadi medium transformasi masyarakat, tentu saja kalau dibarengi dengan transformasi kalangan struktural bangsa ini. 

Perubahan dalam tubuh masyarakat tanpa dukungan pemerintah, misalnya, niscaya akan mengakibatkan realitas sosial masyarakatnya tergerus ke arah nirpenghargaan atas nilai etika dan moral dalam hidup keseharian. Alhasil, kita akan poekeun obor (dalam artian kehilangan pijakan) tatkala berjalan dikehidupan yang sedemikian gelap menggulita.

“Sunda sajatina”


Hari pertama pada tahun baru adalah “poe obor”, sebagai bahasa yang diproduksi saya untuk menyebut tanggal 1 Muharram. Terma poe adalah ruang dan waktu yang dijadikan sebagai medium mengukir prestasi. Sedangkan, obor bisa jadi merupakan simbol penerang tatkala kita sedang berada di kegelapan malam. Jadi, poe obor atau tahun baru Hijriah adalah hari di mana jiwa manusia Sunda bagaikan obor yang menerangi kegelapan malam, karena bisa menjadi penerang atau penolong ketika orang lain kesusahan.

Mungkin saja pesan yang coba disampaikan Ki Sunda Muslim adalah, tahun baru haruslah dijadikan sebagai tonggak awal membarukan laku dan kata. Tentunya laku-kata-ucap-dan tingkah polah yang baik dan luhung bisa menerangi hati dan jiwa tetangga atau masyarakat cacah. Tak heran jika di akhir pepatah berbahasa Sunda di atas, bahwa elmu itu bisa diperoleh dari kearifan hidup yang diproduksi masyarakat lokal dengan cara ikut urun rembuk kala mereka tertimpa masalah.

Misalnya, kearifan hidup urang Sunda ketika membangun rumah dengan cara gotong royong, tidak boleh menjarah hutan karena pamali, dan nulung ka nu butuh; nalang ka nu susah adalah konsepsi empiris dari Ki Sunda sajati yang emansipatoris dan liberatif atau membebaskan. Semestinya, dalam melakukan prosesi mapag taun anyar (Miladiyah maupun Hijriyah), manusia Sunda bisa lebih toweksa, perceka, dan pikir rangkeupan mengelola pakaya di tiap daerahnya demi terciptanya kesejahteraan dan kententraman. 

Itulah Sunda dalam keberadaban!

Oleh karena itu, ajaran agama (khususna Islam) dan budaya Sunda atau narasi kebudayaan etnik lainnya mesti menancapkan keluhungan ajaran di tengah realitas masyarakat yang kian kompleks. Tujuannya agar bisa karasa tur kariksa eksistensinya oleh seluruh umat manusia tanpa membeda-bedakan.

Mugiya salawasna urang iasa ngaronjatkeun diri ku kajembaran, kapengkuhan, kacageuran pikeun karahayuan hirup anu hurip di Jabar, khususna; sareng di Indonesia, umumna. Eta urang Sunda sajatina!

Penulis, Pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda.