Transformasi Rekrutmen Kepala Sekolah

Notification

×

Iklan

Iklan

Transformasi Rekrutmen Kepala Sekolah

Minggu, 22 Agustus 2021 | 12:56 WIB Last Updated 2021-08-22T05:56:35Z


Penulis: DUDUNG NURULLAH KOSWARA, Praktisi Pendidikan.

 

Di dunia sekolah swasta ada satu kisah menarik seorang kepala sekolah diangkat belum pernah menjadi guru. Mengapa? Karena yang jadi kepala sekolah diangkat oleh Yayasan dan Si Kepala sekolah adalah pemilik yayasan. Ini di dunia sekolah swasta ada case yang seperti demikian.


Beda dengan di sekolah negeri. Dahulu menurut konon, konon katanya pengangkatan kepala sekolah bisa “semaunya” para kepala daerah. Bupati dan walikota bisa mengangkat guru siapa saja untuk menjadi kepala sekolah.


Terutama ada kaitannya dengan politik, keluarga, dan kedekatan tertentu. Pemerintah pusat melihat ini sangat “berbahaya” bagi pengembangan dan prestasi sekolah. Maka pemerintah mengeluarkan aturan baru bahwa setiap kepala sekolah yang diangkat oleh para kepala daerah harus lulus LPPKS.


Silakan para kepala daerah mengangkat para kepala sekolah asal lolos LPPKS. Para kepala daerah bisa mengangkat para kepala sekolah setelah lulus LPPKS. Ini adalah jalan tengah. Kepala daerah tetap punya otoritas tapi otoritasnya harus dapat dipertanggungjawabkan secara kualitas.


Kini berubah lagi nampaknya. Apa yang disampaikan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim bahwa para kepala sekolah masa depan akan berasal dari entitas guru-guru penggerak. Hal ini diperkuat dengan adanya surat edaran dari Prof. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd selaku Plt. Kepala LPPKS.


Surat Edaran ini menjelaskan bahwa ada “Rencana Perubahan Pola Diklat” para calon kepala sekolah. Pola rekrutmen kepala sekolah ke depan rencananya melalui pola Pendidikan Guru Penggerak. Ini bagian dari implementasi Merdeka Belajar. Benarkah ini akan diimplementasikan?


Ya kalau kita lihat transformasi rekrutmen kepala sekolah dari waktu ke waktu terus dibenahi.  Awalnya siapa saja---seolah---bisa jadi kepala sekolah. Kemudian berubah setiap guru yang mau jadi kepala sekolah harus mengikuti diklat kepala sekolah. Kini calon kepala sekolah akan dipetik dari entitas guru penggerak.


Spirit merdeka belajar nampaknya akan “memerdekakan” segala hal yang berbau membelenggu. Faktanya publik masih menganggap bahwa pengangkatan kepala sekolah masih identik dengan bau-bau KKN.


Suatu saat Saya berdialog dengan seorang guru. Ia bertanya, “Pak Dudung menjadi kepala sekolah gak ada apa-apanya?” Pertanyaan ini cukup menggelitik. Artinya di kalangan guru sendiri masih bersuudhon bahwa menjadi kepala sekolah pasti ada apa apanya. Apalagi di kalangan publik non guru. Ini memang harus dibenahi.


Saya katakan pada teman Saya bahwa bila kita menjadi PNS dan pejabat berdasarkan suap menyuap, KKN, maka seumur hidup kita akan menanggung dosa. Dosa apa? Dosa hak orang lain yang harusnya jadi PNS dan kepala sekolah kita ambil. Bukan hak kita. Bisa jadi seluruh rezeki kita haram karena dimulai dari yang haram!


Terkait rekrutmen kepala sekolah dari entitas guru penggerak nampaknya Kementerian Pendidikan dan Ristek ingin meminimalisir “gossip” di atas dan memaksimalisir kompetensi kepala sekolah. Memang faktanya menjadi guru penggerak tidak ada jalur KKN. Murni keinginan sendiri dan siap menerima tantangan.


Jadi bila para kepala sekolah berasal dari entitas guru penggerak maka KKN-nya akan semakin zero. Mengapa? Karena seleksi guru penggerak nyaris atau zero dari KKN. Bila guru penggerak menjadi calon kepala sekolah, maka para kepala sekolah penggerak bisa menjadi apa? Nah yang satu ini belum ada kisah lanjutannya.