Digital Divide, Belajar dari Rumah Saat Pandemi Covid-19

Notification

×

Iklan

Iklan

Digital Divide, Belajar dari Rumah Saat Pandemi Covid-19

Rabu, 01 September 2021 | 20:56 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:15Z


Oleh Dr. Bambang Aryan Soekisno, M.Pd,
Kepala SMAN 1 Kota Bogor


Angka dampak pandemi COVID 19 di Indonesia masih menunjukkan peningkatan dari hari ke hari, dan dari kurva yang ada cenderung belum menuju ke tingkat melandai atau mendatar. Ini membuat kita harus tetap kuat dan sabar menjalani masa-masa kritis seperti saat sekarang. 


Betapa tidak, karena hampir semua aktivitas harus dikerjakan di dalam rumah.


Menarik yang dikatakan oleh Hendarman (2020), bahwa bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah, menjadi hal yang seyogianya kita pahami dan laksanakan dalam masa pandemi Covid-19 ini. 


Kekhawatiran seyogianya bukan menjadi sesuatu yang "taboo" untuk diungkapkan, walaupun ada beberapa pihak yang menggunakan data dengan membandingkan jumlah yang meninggal dengan di negara-negara lain.


Sejenak kita buang jauh-jauh rasa kekhawatiran yang merasuki. Tetap focus pada kegiatan yang semestinya kita lakukan. Karena tetap kita harus bertahan hidup dan lepas dari wabah ini. 


Begitupun belajar pada saat wabah COVID 19 tetap harus dilaksanakan bagi siswa. Tidak terkecuali itu belajar di rumah. Demikian juga guru tidak lantas tidak mengajar atau membimbing, walaupun keadaan sedang diberlakukan “harus tetap di rumah” guru tetap melaksanakan kewajibannya.


Guru harus tetap memberikan layanan kepada siswa. Muncul pertanyaan akan kah menemukan kendala ketika guru mengajar secara online? Tentu tidak bagi guru yang termasuk digital native namun boleh jadi bagi guru yang digital immigrant. Ini adalah hal menarik untuk dikaji. 


Karena antara digital native dan digital immigrant mesti terdapat kesenjangan. Perbedaan generasi adalah salah satu terjadi kesenjangan, terutama antara guru dan siswa.


Digital native adalah siswa atau anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam era digital, mereka adalah para “penduduk asli” di dunia digital, mereka berkomunikasi dengan telepon seluler, email, milis, internet messenger, web dan blog, mereka bersosialisasi dengan jejaring sosial di dunia maya seperti twiter, google plus, my spaces, Instagram, linkedln dan facebook, mereka juga bermain dengan games online. 


Generasi ini menganggap perangkat komunikasi  sebagai bagian integral dari kehidupannya. Apabila ditelusuri lebih dalam, ternyata karakteristik digital native lebih menarik. Gibson, Kristin, dkk. (2013), menyebutkan karakteristik digital native: orang tersebut adalah opportunistic dan omnivorous yaitu menikmati sesuatu dalam lingkungan serba online atau kita sebut ingin mendapatkan informasi dengan cepat; menyukai kolaborasi dari satu orang ke orang lain (secara berjejaring); menyukai proses kerja secara pararel; menyukai sesuatu yang berbentuk “games” mengharapkan suatu penghargaan; puas dengan segala sesuatu yang bersifat instan; akses secara random (hypertext).


Digital immigrant adalah seorang individu yang lahir sebelum mengadopsi teknologi digital. Istilah ini juga berlaku bagi orang yang lahir setelah penyebaran teknologi digital dan yang tidak terkena di usia dini. Sebagai contoh bahwa generasi digital immigrant dapat memilih untuk mencetak dokumen untuk mengedit dengan tangan daripada melakukan editing pada layar. 


Perlu dipahami bersama bahwa berdasarkan siaran pers Badan Kepegawaian Negara (BKN) tahun 2019 secara spesifik, persentase 71,19% tenaga pendidik didominasi oleh kelompok usia 46 -60 tahun, sedangkan yang masih berada pada golongan kerja muda (antara usia 26 – 45 tahun) terhitung minim (kurang dari 200.00 guru). 


Sementara sejumlah 300.000 tenaga guru yang berada pada kelompok usia 56 – 60 tahun akan mencapai batas usia pensiun (BUP) dalam jangka lima tahun ke depan, diikuti dengan kelompok usia 46 – 55 tahun.  Data tersebut menunjukkan bahwa guru masih didominasi oleh kelompok usia tidak muda lagi. Artinya bahwa guru yang ada saat ini lahir sebelum mengadopsi teknologi digital.


Kesenjangan terjadi antara guru dan siswa dalam cara penyampaian materi pembelajaran secara online. Karena teknologi yang digunakan sudah berpihak pada usia siswa. Inilah yang biasa kita sebut digital divide.


Digital divide adalah kesenjangan antara individu, rumah tangga, bisnis atau kelompok masyarakat dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atau akses teknologi informasi atau telematika dan penggunaan internet untuk beragam aktivitas. Digital devide mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatannya dalam suatu negara. 


Kesenjangan tersebut mengacu pada kesenjangan di antara mereka yang dapat mengakses teknologi informasi dan dengan mereka yang tidak dapat mengaksesnya. Kesenjangan yang terjadi dapat bersifat fisik yaitu tidak mempunyai akses terhadap komputer dan perangkat teknologi informasi. Kesenjangan lainnya bersifat keterampilan yang diperlukan dalam berperan serta sebagai warga yang ‘melek’ digital.


Sudah tentu kesenjangan akan memiliki dampak. Dampak positif yang ditimbulkan dari digital divide yaitu : akan menumbuhkan motivasi bagi orang yang belum mengenal atau menerapkan teknologi informasi untuk terus meningkatkan penggunaannya. Masyarakat akan menyadari peranan teknologi informasi yang sangat penting dalam kehidupan dan peradaban manusia di seluruh dunia.


Dampak negatif, yaitu bagi mereka yang sudah menguasai teknologi informasi dapat berkembang lebih cepat, sedangkan mereka yang tidak menguasai teknologi informasi hanya akan menjadi ‘penonton’. Kesenjangan tersebut mengakibatkan orang yang tidak mengerti teknologi informasi akan jauh tertinggal dengan mereka yang sudah mengenalnya sehingga pendidikan tidak merata.


Mengapa terjadi kesenjangan? Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya digital divide, yaitu : tidak memiliki fasilitas pendukung seperti jaringan internet dan komputer. Orang yang memiliki atau terkoneksi dengan jaringan internet akan memiliki wawasan yang lebih luas daripada yang tidak memiliki akses internet. Orang yang memiliki komputer akan lebih mudah dan cepat dalam bekerja, daripada yang masih menggunakan mesin tik manual.


Kesenjangan terjadi antara orang yang memiliki skill terhadap akses informasi dengan mereka yang tidak memiliki skill. Orang yang memiliki skill, otomatis lebih banyak mendapat informasi daripada yang tidak memiliki skill. Masalah lain, kurangnya pemanfaatan internet. 


Banyak orang yang telah memiliki komputer dan akses internet, namun mereka jarang menggunakannya sehingga tidak menghasilkan apa pun yang bermanfaat. Masih banyak yang lebih tertarik untuk menggunakannya sebagai media hiburan misal game online dan sosial media.


Kesenjangan juga terjadi karena kondisi ekonomi. Ketika orang hanya memiliki penghasilan yang hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, maka mereka tidak akan memikirkan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.


Sebagai penutup dari tulisan ini, bagaimana pun caranya siswa harus tetap belajar walau mereka tetap berada di rumah dan guru juga tetap berada di rumah selama wabah COVID 19 ini belum berakhir. 


Bagi guru yang termasuk generasi digital immigrant tetap semangat meningkatkan kompetensi dibidang teknologi informasi dan jangan segan untuk terus berkembang. Begitu pun guru generasi digital native tetap meningkatkan pelayanan kepada para siswa dan terus berinovasi.


Semoga bermanfaat.