Oleh: Pungkit Wijaya, Penulis Lepas.
Kemunculan komunitas begitu membludak. Seperti halnya perkembangan manusia yang tak henti-hentinya. Setiap sudut-sudut kota maupun kampus yang berlatar akamedik akan ditemui berbagai komunitas.
Belum lagi ditambah dengan para penggemar artis atau penyuka makanan kuliner, para penikmat musik dari berbagai genre dan masih banyak lagi. Ketika ada suatu kelompok yang memiliki visi sama mereka dengan mudah mendirikan suatu perkumpulan yang disebut komunitas.
Kini, kata komunitas sudah tidak asing lagi. Ruang realitas semakin terbelah, menjadi puing-puing yang berserak. Setiap orang sepertinya akan tergerak pada ruang komunitas itu tersendiri, sebab ini saya rasa efek dari demokratisasi Negara kita yang selalu menjungjung slogan tersebut.
Maka tak pelaknya, komunitas itu selalu bergerak di luar sistem agar biasanya mereka bebas melakukan sesuatu yang mereka inginkan, tanpa melanggar aturan yang ditetapkan Negara. Akan tetapi setiap komunitas biasanya diawali dari kecintaan atau pengembangan kreativitas yang tak terbatas.
Dalam dunia nyata kita akan menemukan ruang-ruang intelektual; diskusi di tempat ngopi atau di mana pun, mereka segera menamainya dengan satu julukan yaitu komunitas pecinta kopi, misalnya.
Kini, kata komunitas sudah tidak asing lagi. Ruang realitas semakin terbelah, menjadi puing-puing yang berserak. Setiap orang sepertinya akan tergerak pada ruang komunitas itu tersendiri, sebab ini saya rasa efek dari demokratisasi Negara kita yang selalu menjungjung slogan tersebut.
Maka tak pelaknya, komunitas itu selalu bergerak di luar sistem agar biasanya mereka bebas melakukan sesuatu yang mereka inginkan, tanpa melanggar aturan yang ditetapkan Negara. Akan tetapi setiap komunitas biasanya diawali dari kecintaan atau pengembangan kreativitas yang tak terbatas.
Dalam dunia nyata kita akan menemukan ruang-ruang intelektual; diskusi di tempat ngopi atau di mana pun, mereka segera menamainya dengan satu julukan yaitu komunitas pecinta kopi, misalnya.
Lalu seiring perkembanganya komunitas itu bergerak-kebanyakaan ke arah yang positif, semisal komunitas pecinta sungai atau pohon mereka akan peduli terhadap kedua hal tersebut. Seterusnya komunitas pecinta sepeda ontel, misalnya, mereka rela menyimpan sepeda tua itu sebagai kesukaan dan sering dipakai pada waktu tertentu.
Komunitas pun seakan hadir menjadi dunia yang lain, bagi orang-orang yang sedang hidup pada abad ini. Apalagi seiring perkembangan internet, sebagai ruang yang bebas, kemunculan komunitas pun menjadi lebih agresif dan massif.
Lihatlah di dalam situs jejaring sosial facebook, ada apllikasi terkait komunitas itu, semisal tersedianya ruang group yang sangat mudah didirikan seorang individu lalu mengundang orang lain, semisal teman dan langsung mengundang meng-add kita untuk bergabung dan langsung dalam pemberitahuan kita akan otomatis terkirim update-an perkembangan grup tersebut.
Uniknya di media online sosial; facebook, twiter, dan blog disediakan ruang untuk membuat komunitas tersebut dan kita tinggal membuatnya. Semisal, komunitas pecinta warung kopi, komunitas pecinta warung internet (warnet), komunitas pecinta facebook, komunitas pecinta twitter dan komunitas blogger, maka tinggal membuatnya dalam waktu sekejap.
Komunitas pun seakan hadir menjadi dunia yang lain, bagi orang-orang yang sedang hidup pada abad ini. Apalagi seiring perkembangan internet, sebagai ruang yang bebas, kemunculan komunitas pun menjadi lebih agresif dan massif.
Lihatlah di dalam situs jejaring sosial facebook, ada apllikasi terkait komunitas itu, semisal tersedianya ruang group yang sangat mudah didirikan seorang individu lalu mengundang orang lain, semisal teman dan langsung mengundang meng-add kita untuk bergabung dan langsung dalam pemberitahuan kita akan otomatis terkirim update-an perkembangan grup tersebut.
Uniknya di media online sosial; facebook, twiter, dan blog disediakan ruang untuk membuat komunitas tersebut dan kita tinggal membuatnya. Semisal, komunitas pecinta warung kopi, komunitas pecinta warung internet (warnet), komunitas pecinta facebook, komunitas pecinta twitter dan komunitas blogger, maka tinggal membuatnya dalam waktu sekejap.
Dengan kegiatan yang mereka lakukan biasanya seputar tukar informasi atau pemberitaan melalui tulisan atau catatan harian dan itu ketika di dunia online tidak puas, mereka mencetaknya dalam bentuk buku. Biasanya mereka terdiri dari mana pun, dengan kesamaaan minat; bisa dari lokal, nasional maupun internasional.
Satu hal yang perlu diperhatikan dari melubernya kebiasaan membuat group di media sosial. Pada perkembangannya, internet memang mengundang perasaan berlebihan (sense) yakni menumbuhkan apa yang disebut Yasraf Amir Piliang, perasaan mengkomunitas (sense of the community).
Satu hal yang perlu diperhatikan dari melubernya kebiasaan membuat group di media sosial. Pada perkembangannya, internet memang mengundang perasaan berlebihan (sense) yakni menumbuhkan apa yang disebut Yasraf Amir Piliang, perasaan mengkomunitas (sense of the community).
Cyberspace dapat menciptakan sebuah komunitas, ketika seribu bahkan sejuta orang di seluruh dunia berhubungan dan berinteraksi di dalam jaringan internet, yang oleh Howard Rheingold disebut sebagai komunitas virtual (virtual community). Komunitas virtual adalah sebuah komunitas yang hidup dari sebuah tempat yang imajiner, yang sebenarnya ada di dalam bit-bit komputer, bukan sebuah tempat yang konkret (Yaraf Amir Pilliang: 2004).Dengan demikian, realitas seakan tiada bedanya dengan dunia imajinasi atau virtual itu sendiri.
Oleh sebab itulah ia disebut juga komunitas imajiner (imagenary community). Di dalam komunitas imajener tersebut, setiap orang tidak saja dapat mengekpresikan alter ego-nya masing-masing, tetapi juga dapat berpartisipasi dalam sebuah perjalanan fantasi kolektif (collective fantasi) (Margaret Wertheim; The Pearly Gate Cyberspase). Dalam bahasa lain, dunia digital membuat kita memiliki perasaan mengkomunitas tersebut. Apalagi dalam media sosial online. Maka siapa pun, di mana pun berada sah-sah saja mengikuti komunitas itu dan itu pula yang ditegaskan atau disebutkan sebagai komunitas imajiner. Komunitas yang melayang-layang di dunia yang “bukan nyata”.
Akan tetapi perasan mengkomunitas tersebut kini menjadi nyata juga, coba lihat beberapa komunitas tersebut sudah mulai bertatap muka di dunia nyata (kopi darat). Semisal seorang teman di dalam group komunitas facebook bikin janjian, lalu mereka bertemu untuk silaturahmi, sekadar mengenal lebih dekat. Dari pertemuan itulah terhimpun sebuah ide gerakan aksi sosial yang memiliki kekuatan pengubah atau disebut dengan aksi sosial (Sukron Abdilah, jejaringku.com, 2011).
Di sisi lain, imajiner itu seperti fiksi, kenapa fiksi? Sejalan dengan apa yang dikatakan Paul Ricoeur, ia mengatakan untuk menjelaskan semacam karya naratif yang melukiskan sesuatu yang bersifat imajiner atau tak nyata, yang meskipun demikian berpotensi – pada sesuatu waktu – menjadi kenyataan. Karena itu, seyogyanya komunitas imajiner itu tidak bisa ditolak, sebab di dunia internet, ruang begitu terbuka, siapa pun bisa berkreasi, membuka diri untuk menjadi berkembang dan menjadi sesuatu yang penuh arti. Tapi perlu diingat, komunitas imajiner itu harus mampu menciptakan manfaat bagi pegiat komunitasnya dan masyarakat. Agar kita bertambah ilmu dan pengalaman.
Filosofi disediakannya fitur pembuatan group di jejaring sosial facebook, agar komunitas imajiner dapat mengkomunitas; berkumpul bersama untuk melakukan sesuatu yang memiliki efek samping transformatif. Jadi selama kita berniat baik ketika membuat group facebook; selama itu pula kita telah menjadi individu terberdayakan. Individu yang tidak terlena dengan realitas semu, yang kadang menciptakan kemalasan di dalam diri. Dunia maya laiknya selimut di pagi hari di tengah udara dingin yang membuat kita malas untuk bangun. Seandainya kita mampu bangun dan menyingsingkan selimut itu, selamat menjadi pegiat komunitas imajiner yang berpijak pada realitas!***
Oleh sebab itulah ia disebut juga komunitas imajiner (imagenary community). Di dalam komunitas imajener tersebut, setiap orang tidak saja dapat mengekpresikan alter ego-nya masing-masing, tetapi juga dapat berpartisipasi dalam sebuah perjalanan fantasi kolektif (collective fantasi) (Margaret Wertheim; The Pearly Gate Cyberspase). Dalam bahasa lain, dunia digital membuat kita memiliki perasaan mengkomunitas tersebut. Apalagi dalam media sosial online. Maka siapa pun, di mana pun berada sah-sah saja mengikuti komunitas itu dan itu pula yang ditegaskan atau disebutkan sebagai komunitas imajiner. Komunitas yang melayang-layang di dunia yang “bukan nyata”.
Akan tetapi perasan mengkomunitas tersebut kini menjadi nyata juga, coba lihat beberapa komunitas tersebut sudah mulai bertatap muka di dunia nyata (kopi darat). Semisal seorang teman di dalam group komunitas facebook bikin janjian, lalu mereka bertemu untuk silaturahmi, sekadar mengenal lebih dekat. Dari pertemuan itulah terhimpun sebuah ide gerakan aksi sosial yang memiliki kekuatan pengubah atau disebut dengan aksi sosial (Sukron Abdilah, jejaringku.com, 2011).
Di sisi lain, imajiner itu seperti fiksi, kenapa fiksi? Sejalan dengan apa yang dikatakan Paul Ricoeur, ia mengatakan untuk menjelaskan semacam karya naratif yang melukiskan sesuatu yang bersifat imajiner atau tak nyata, yang meskipun demikian berpotensi – pada sesuatu waktu – menjadi kenyataan. Karena itu, seyogyanya komunitas imajiner itu tidak bisa ditolak, sebab di dunia internet, ruang begitu terbuka, siapa pun bisa berkreasi, membuka diri untuk menjadi berkembang dan menjadi sesuatu yang penuh arti. Tapi perlu diingat, komunitas imajiner itu harus mampu menciptakan manfaat bagi pegiat komunitasnya dan masyarakat. Agar kita bertambah ilmu dan pengalaman.
Filosofi disediakannya fitur pembuatan group di jejaring sosial facebook, agar komunitas imajiner dapat mengkomunitas; berkumpul bersama untuk melakukan sesuatu yang memiliki efek samping transformatif. Jadi selama kita berniat baik ketika membuat group facebook; selama itu pula kita telah menjadi individu terberdayakan. Individu yang tidak terlena dengan realitas semu, yang kadang menciptakan kemalasan di dalam diri. Dunia maya laiknya selimut di pagi hari di tengah udara dingin yang membuat kita malas untuk bangun. Seandainya kita mampu bangun dan menyingsingkan selimut itu, selamat menjadi pegiat komunitas imajiner yang berpijak pada realitas!***