Oleh: Supadiyanto
Kita patut prihatin atas nasib Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI dan RRI sekarang. Ada tiga persoalan berat menimpa LPP TVRI dan RRI. Pertama, minimnya pemirsa/pendengar yang loyal. Keoknya mutu siaran TVRI dan RRI jika ditandingkan dengan berbagai stasiun televisi dan radio swasta memicu rendahnya audiens mengakses dua lembaga penyiaran plat merah itu.
Kalah bersaingnya LPP TVRI dan RRI dengan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) seiring banyaknya pilihan suguhan acara yang dimiliki. Penonton dan pendengar pun saat ini bebas memilih acara yang disukai cukup dengan menekan tombol atau menggeser kanal. Masalah kedua yaitu masalah regenerasi karyawan TVRI dan RRI. Hal ini menjadi masalah besar sejak 19 tahun terakhir (1998-sekarang). Karena sejak Orde Reformasi sampai sekarang, manajemen LPP TVRI dan RRI dilarang melakukan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Akibatnya, proses regenerasi atau peremajaan pegawai LPP TVRI dan RRI menjadi stagnan. Mayoritas pegawai LPP TVRI dan RRI kini telah berusia "sepuh". Sebagai gambaran, jumlah pegawai TVRI saja sudah mencapai 6.000 orang. Tingginya usia pegawai di atas 50 tahun mengakibatkan aspek produktivitas, kreativitas, dan inovasi menjadi rendah. Sebagai contoh TVRI Yogyakarta, saat ini memiliki 245 pegawai terdiri atas 130 pegawai berusia di atas 50 tahun (53,1 persen), 48 pegawai berusia 46-50 tahun (19,6 persen), sisanya berada direntang usia 25-45 tahun.
Tantangan ini menjadi kendala berat bagi pihak manajemen untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja pegawai mengingat faktor usia "senja" tersebut. Jumlah pegawainya yang "gemuk" juga memicu terjadinya pemborosan belanja pegawai. Bandingkan dengan postur manajemen sebuah TV Swasta nasional hanya memiliki 800 pegawai, namun mampu bersiaran selama 24 jam/hari dan memiliki 50 lokasi transmisi/pemancar. Sementara dana operasional yang dihabiskan hanya sebesar Rp 500–600 miliar per tahun. Berbeda dengan manajemen TVRI yang setiap tahunnya menghabiskan dana lebih dari Rp 1 triliun.
Tentunya perkara ini menjadi masalah kronis yang harus segera ditanggulangi oleh manajemen TVRI. Problematika serupa juga menimpa RRI, karena memiliki pegawai yang sebagian besar berusia "senja". Ketiga, persoalan serius yang dihadapi LPP TVRI dan RRI adalah pemborosan anggaran operasional. Anggaran operasional TVRI selama tahun 2016 tercatat Rp 1.065.527.291.000. Sementara RRI menelan Rp 945.702.910.000. Itupun LPP TVRI masih berutang sebesar Rp Rp 140.688.690.813. Jika dianalisis, sebagian besar anggaran operasional TVRI dan RRI tersebut habis digunakan untuk biaya belanja pegawai. Ingat, karyawan TVRI dan RRI secara nasional berjumlah sangat besar, wajar harus dirampingkan.
Rencana penggabungan manajemen TVRI dan RRI (RTRI) melalui pelahiran Rancangan Undang-Undang Radio dan Televisi Republik Indonesia (RTRI) yang saat ini tengah digodok oleh Komisi I DPR RI berbarengan dengan RUU Penyiaran baru, menjadi langkah strategis untuk melakukan efisiensi dan perampingan pegawai LPP TVRI dan RRI. Terakhir, persoalan serius yang dihadapi TVRI dan RRI adalah merebut pasar iklan.
Berdasarkan data Nielsen 2016, belanja iklan televisi nasional masih didominasi kelompok MNC Group yaitu RCTI memperoleh pendapatan iklan sebesar Rp 9,9 triliun, MNCTV Rp 7,9 triliun, Global TV Rp 5,4 triliun. Sementara Indosiar memperoleh Rp 7 triliun, SCTV Rp 8,8 triliun, Trans TV Rp 4,525 triliun, Trans 7 Rp 4,525 triliun, ANTV Rp 6,6 triliun, Kompas TV Rp 1,3 triliun, NET Rp 1 triliun, dan TVRI Rp 44,4 miliar.
Ternyata perolehan pendapatan iklan TVRI jauh tertinggal dari pendapatan iklan milik NET yang terbilang pemain baru. Memang besar atau kecilnya pendapatan iklan dari sebuah stasiun televisi maupun radio sangat bergantung berapa banyak jumlah pemirsa atau pendengar yang loyal kepada program-program yang ditayangkan/disiarkan oleh stasiun televisi maupun radio. Kemampuan para pekerja media dalam memproduksi dan menyiarkan program-program yang mampu memenuhi kebutuhan akan hiburan, informasi, dan pendidikan, serta kontrol sosial menjadi kunci bagi manajemen televisi maupun radio untuk memikat hati pemirsa maupun pendengar. Lantas berefek pada besarnya pemasang iklan yang memasang di media bersangkutan.
Saat ini Badan Legislatif DPR RI tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dipersiapkan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Saat bersamaan, Komisi 1 DPR RI juga tengah mempersiapkan RUU Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI). Dua jenis RUU ini diharapkan bisa menata arsitektur media penyiaran menjadi lebih pro publik. Harapannya, posisi TVRI dan juga RRI sebagai media milik publik (rakyat) dapat semakin lebih kokoh lagi.
Namun idealnya, era konvergensi multimedia massa di mana sudah menyatukan berbagai teknologi, konten, kepemilikan, dan juga pemasarannya; juga harus diimbangi dengan penyatuan regulasi dan regulatornya. Seharusnya spirit perevisian UU Penyiaran tersebut disinergisasikan dengan perevisian UU Pers (Nomor 40 Tahun 1999), UU Telekomunikasi (Nomor 36 Tahun 1999), UU Informasi dan Transaksi Elektronik (Nomor 11 Tahun 2008), dan UU Keterbukaan Informasi Publik (Nomor 14 Tahun 2008). Bangsa ini membutuhkan Undang-Undang Konvergensi Multimedia Massa, maupun Telematika.
Faktanya sekarang, lanskap industri media massa cetak maupun elektronik hanya dikuasai oleh 13 korporasi swasta nasional (yang memiliki jaringan di berbagai kota/daerah) menjadi “ancaman besar” bagi terjaganya prinsip keberagaman konten (diversity of content), keberagaman kepemilikan (diversity of ownership). Adapun korporasi raksasa yang menguasai peta industri media massa (cetak maupun elektronik) di Indonesia adalah MNC Group; Kompas Gramedia Group; Elang Mahkota Teknologi Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings/Lippo Group, Media Group; Visi Media Asia (Bakrie & Brothers); Jawa Pos Group; MRA Media; Femina Group; Tempo Inti Media; Media Bali Post Group (Nugroho, Yanuar. dkk. 2012 dan Lim, M. 2012).
Dampak dari hegemoni korporasi media raksasa ini, mengakibatkan nasib media penyiaran publik (TVRI dan RRI), komunitas, dan lokal menjadi keok bersaing dengan “para gajah-raksasa” di atas yang didukung penuh oleh kekuatan modal yang "tanpa batas", kekuatan sumber daya manusia yang tinggi, serta teknologi telekomunikasi, media, dan informatika (Telematika) yang unggul, dan koneksi atau jaringan perusahaan media lintas negara. Adanya dominasi kepemilikan saham berbagai perusahaan media penyiaran oleh segelintir pengusaha media, berdampak pada “keseragaman” isi siaran sekaligus “keseragaman” pelanggaran yang dilakukan.
Apalagi para pemilik media penyiaran tersebut menggunakan jaringan medianya untuk menggolkan ambisi politiknya. Manajemen TVRI dan RRI harus berani bersaing dengan Lembaga Penyiaran Swasta dan Berlangganan. Kalau tidak, nasib mereka akan tertelindas oleh perubahan zaman yang sangat cepat. Di luar negeri, pengelolaan lembaga penyiaran publik sebagaian besar dengan mengandalkan iuran penyiaran dan memiliki pangsa pasar cukup tinggi.
Radio BBC di Inggris didanai dari iuaran penyiaran dan memiliki market share sebesar 57,7 persen. Sama halnya pengelolaan ARD&ZDF di Jerman, RAI di Italia, Swedish Radio/TV di Swedia. Australia memiliki ABC&SBS, MTV/MR di Hungaria, NPO di Belanda, dan ERR di Estonia mengandalkan pajak dan APBN sebagai sumber pembiayaan operasionalnya. Pertanyaannya, TVRI dan RRI ke depan (quo vadis) mau didesain dengan model pengelolaan manajemen lembaga penyiaran publik seperti apakah agar dapat lebih dicintai oleh pemirsa dan pendengar di Nusantara?
Supadiyanto, S.Sos.I,. M.I.Kom., Dosen Jurusan KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga dan AKINDO Yogyakarta
Sumber: Harian Bernas, 21 Juli 2017.